Meski menyimpan 18 persen spesies terancam punah di dunia, saat ini Indonesia, Malaysia, Laos dan Kamboja masuk dalam daftar negara dengan laju deforestasi paling tinggi.
JERNIH– Tanpa keterlibatan negara-negara yang kaya keanekaragaman hayati, upaya global melindungi 30 persen wilayah daratan dan laut pada 2030 berpotensi kandas sebelum diluncurkan. Komitmen itu sedang terganjal sikap tidak acuh negara Asia Tenggara, yang kecuali Kamboja, menolak terlibat.
Proposal itu sejauh ini sudah ditandatangani 60 negara dan didukung secara resmi oleh negara-negara G7. Konsep 30×30 itu dikembangkan untuk melindungi flora dan fauna dari dampak perubahan iklim.
Brian O’Donnell, direktur Yayasan Campaign for Nature, menilai keterlibatan negara-negara ASEAN “sangat penting” bagi kelanjutan komitmen tersebut. “Mengingat keanekaragaman hayati yang kaya dan kian terdesak di kawasan ini, dukungan ASEAN menjadi krusial bagi konsep 30×30,” kata O’Donnell kepada Reuters.
Meski wilayahnya hanya mewakili tiga persen dari permukaan Bumi, Asia Tenggara mencakup tiga dari 17 negara dengan keanekaragaman hayati paling kaya di dunia, yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Umumnya, negara “megadiversitas” itu terletak di kawasan tropis, dan mencatat keragaman flora dan fauna tertinggi lantaran dukungan hutan hujan, terumbu karang atau lautan dalam.
Menurut Campaign for Nature, kawasan Asia Tenggara menguasai 35 persen hutan bakau dan 30 persen terumbu karang dunia. Dan dalam dua dekade terakhir, sebanyak 2.000 jenis flora dan fauna baru ditemukan di sana.
Meski menyimpan 18 persen spesies terancam punah di dunia, saat ini Indonesia, Malaysia, Laos dan Kamboja masuk dalam daftar negara dengan laju deforestasi paling tinggi.
Dalih ekonomi
Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD), komitmen 30×30 sedianya akan ditandatangani pada sebuah konferensi di Cina pada 11-24 Oktober mendatang. Salah satu penggalannya memuat pemberdayaan dan pengakuan hak masyarakat adat di wilayah konservasi.
“Salah satu proposal yang dipertimbangkan adalah membayarkan dana konservasi bagi masyarakat adat atas upaya mereka melindungi lingkungannya,” kata Tony La Viña, advokat lingkungan Filipina.
Kelompok konservasi menilai, minimnya insentif ekonomi memupus minat negara ASEAN yang kebanyakan masih bergantung pada industri ekstraktif untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, semisal sektor sawit di Indonesia atau Malaysia yang banyak melumat kawasan hutan atau gambut. “ASEAN sadar setiap kebijakan untuk mengimplementasikan konsep 30×30 akan berdampak pada ekonomi, atau menciptakan biaya operasi,” kata La Viña.
Keengganan ASEAN mendukung komitmen 30×30 boleh jadi hanya taktik untuk mengulur waktu, dan mendesak negara kaya berbagi investasi.
Menurut Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia, sikap itu lumrah karena kemakmuran di negara industri maju dicapai dengan mengorbankan lingkungan, dan sebabnya mereka bertanggung jawab untuk menghadirkan solusinya.
“Kekhawatiran terhadap kerugian ekonomi akan pupus ketika negara-negara ini menyadari keuntungan ekonomi jangka panjang,” kata Arie soal rendahnya minat negara ASEAN. Dia meyakini konsep terebut akan membuka “kesempatan baru dalam konservasi dan lapangan kerja yang berkelanjutan.” [Reuters/AFP]