Site icon Jernih.co

Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Dihukum? Kejagung: Itu Hanya Wacana

Ilustrasi

“Untuk perkara yang model inilah Jaksa Agung RI, ST Burhanudin wacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani, dengan menggunakan instrumen lain, selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi”

JERNIH – Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya mengklarifikasi pernyataan soal korupsi di bawah Rp50 juta bisa diselesaikan dengan pengembalian uang kerugian negara.

Pernyataan itu diketahui disampaikan Jaksa Agung, ST Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada Kamis (27/1/2022).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer, mengatakan pernyataan itu masih merupakan wacana yang dibuka untuk dibahas ke publik.

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain, selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (29/1).

Pernyataan Jaksa Agung, lanjut Leonard Eben, bukan bentuk impunitas atau pembebasan dari hukuman. “Imbauan Bapak Jaksa Agung RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil,”kata dia.

Hal itu dimaksudkan agar penindakan tindak pidana korupsi bisa berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula.

Pihaknya bakal mengapresiasi jika terduga pelaku telah mengembalikan kerugian negara tersebut secara sukarela ketika kasus korupsi masih ditangani oleh tim inspektorat.

Menurut dia, ada sejumlah kasus yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan, dimana nilai kerugian keuangan negaranya cukup kecil.

Ia mencontohkan, seorang kepala desa yang tidak memiliki pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian mengelola dana desa senilai Rp1 miliar untuk pembangunan desanya.

Karena itu, penindakan korupsi terhadap kepala desa tersebut tentu akan melukai keadilan masyarakat. Padahal bisa jadi hanya bersifat kesalahan administrasi. Misalnya kelebihan membayar upah tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desa tersebut.

“Nilainya relatif kecil serta kepala desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut,” ujar dia.

Contoh lainnya, seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah.

“Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.

Exit mobile version