- Pengadilan Kejahatan Perang PBB hanya menyeret lima pemimpin senior Khmer Merah.
- Penuntutan tidak boleh diperluas. Jika itu dilakukan PM Hun Sen juga harus diadili karena dia Khmer Merah.
JERNIH — Pengadilan Kejahatan Perang yang didukung PBB pekan ini akan memutuskan hukuman Khieu Samphan — tokoh Khmer Merah terakhir dan pembantai dua juta rakyat Kamboja — dan mengakhiri 16 tahun tugasnya.
Samphan, satu-satunya pendiri dan pemimpin Khmer Merah yang tersisa, kini berusia 91 tahun. Tahun 2018 ia dinyatakan bersalah melakukan genosida dua etnis di Kamboja; Muslim Champa dan Khmer-Viet atau Khmer Krom.
Lewat pengacaranya, Khieu Samphan mengajukan banding. Setelah empat tahun, Pengadilan PBB akan memutuskan hukuman bagi Samphan pekan ini.
Putusan ini akan menjadi akhir dari penngdilan kejahatan perang Kamboja yang menelan biaya 330 juta dolar AS, atau Rp 4,9 triliun, selama 16 tahun.
Selama 16 tahun Pengadilan PBB kebanjiran kritik tentang lambannya proses, dan serangkaian tuduhan campur tangan partai berkuasa di bawah PM Hun Sen
Chum Mei, satu dari sedikit rakyat Kamboja yang selamat dari pembantaian, mengatakan tidak ada yang bisa menghapus trauma Khmer Merah yang membantai istri dan anaknya.
“Hanya kematian yang membuat saya melupakan segalanya,” kata Chum Mei kepada AFP saat ditemui di S-21 — sekolah menengah yang diubah menjadi rumah jagal manusia oleh Khmer Merah.
Samphan dan Tahun Nol
Khieu Samphan adalah satu dari tiga pendiri Khmer Merah. Dua lainnya adalah Hu Youn dan Nu Nim. Keduanya terbantai dalam konflik internal Khmer Merah.
Samphan adalah satu-satuya intelektual di Khmer Merah. Ia mengusung gagasan Tahun Nol, atau Year Zero. Bahwa, Kamboja harus dibangun dari awal, dari masyarakat petani, buta huruf, dengan kesetiaan tunggal pada Angka.
Angka adalah jajaran petinggi Khmer Merah, terdiri dari Saloth Sar — lebih dikenal dengan sebutan Pol Pot — sebagai Brother Number One — Nuon Chea, Ieng Sary, Ieng Thirith, dan Samphan.
Year Zero dijalankan dengan ruralisasi paksa. Penduduk kota ddorong ke pedesaan. Intelektual dibasmi. Tidak boleh ada orang berpendidikan setingkat SMA sekalipun di dalam masyarakat yang akan dibangun dari awal.
Yang terjadi adalah dua juta, atau seperempat rakyat Kamboja, mati kelaparan, penyiksaan, dan eksekusi massal antara 1975-1979 atau selama Khmer Merah berkuasa.
Pengadilan yang Sulit
Tidak mudah mengadili pemimpin Khmer Merah. Tahun 1997, pemerintah Kamboja meminta bantuan PBB semua pemimpi rezim pembantai itu ke meja hijau, tapi menolak gagasan Pengadikan Kriminal Internasional seperti dijalankan di bekas Yugoslavia dan Rawanda.
Kamboja berkeras pengadilan yang dibentuk harus berdaulat dan dipimpin hakim Kamboja dan internasional. Tahun 2003 kesepakatan tercapai saat harus menyeret Kaing Guek Eav alias Duch, kepala rumah jagal manusia S-21.
Totalnya, lima pemimpin senior Khmer Merah diadili. Dua pembantai; suami-istri Ieng Sary dan Ieng Ieng Thirith, meninggal dalam proses. Nuon Chea dan Duch meninggal setelah divonis penjara seumur hidup.
Pol Pot meninggal tahun 1998, sebelum pengadilan dibentuk. Ta Mok meninggal kemudian.
Samphan menjadi satu-satunya tokoh Khmer Merah yang tersisa. Ia bukan sekedar petinggi tapi founding father, arsitek ruralisasi paksa yang menyebabkan kelaparan hebat, dan salah satu penggagas pembantaian kaum intelektual.
Sebagai penyintas, Chu Mei mengikuti proses pengadilan. Tahun 2009, menurutnya, pengadilan hanya memberi 70 persen keadilan kepada para penyintas.
“Poin terpenting pengadilan itu adalah orang tahu apa yang dilakukan rezim Pol Pot. Sehingga setiap orang tidak akan membiarkan peristiwa seperti itu terjadi lagi,” kata pria usia 91 tahun itu.
Kontroversi lainnya adalah kewenangan pengadilan yang terbatas. Akibatnya, hanya pemimpin senior Khmer Merah yang diadili, lainnya tidak.
Sam Rainsy, pemimpin oposisi Kamboja di pengasingan, mengatakan kewenangan terbatas itu — dan hanya pemimpin Khmer Merah lapis atas yang diadili — membuat Hun Sen terlindungi.
Hun Sen adalah komandan pasukan Khmer Merah yang mungkin terlibat dalam pembantaian. Hun Sen berkuasa di Kamboja sejak 1985, dan tak pernah tergantikan.
Hun Sen yang kuat dan tangan besi berulang kali mengatakan agar pengadilan tidak memperluas penuntutan. Jika itu dilakukan stabilitas nasional Kamboja terancam.
Mengecewakan
Craig Etcheson, penulis sejumlah buku tentang Kamboja, mengatakan Pengadilan PBB meninggalkan warisan campur aduk; pencapaian yang solid dan kegagalan mengecewakan.
“Namun, pengadilan mempercepat proses rekonsiliasi nasional,” katanya.
Menurut Etcheson, saat ini orang tua bebas berbicara kepada anak-anak mereka tentang apa yang terjadi pada mereka. Sekolah memasukan materi baru tentang Pol Pot ke dalam kurikulum pelajaran sejarah. Tetangga saling berbicara tentang pengalaman mereka.”
Hampir 250 ribu orang Kamboja menghadiri sidang, dengan 300 saksi — sipil, ahli, dan penyintas — didengar kesaksiannya. Pengadilan ini, kata Etcheson, relatif murah dibanding pengadilan kriminal internasional lainnya.
“Pengadilan kriminal internasional selalu tertunda berkali-kali karena para donor terlalu pelit,” katanya.
Youk Chhang, direktur Pusat Dokumentasi Kamboja yang melakukan penelitian tentang Khmer Merah, percaya fokus pada masalah keuangan pengadilan adalah satu kesalahan.
“Ini menegaskan kami dapat hidup setelah genosida. Kita dapat melanjutkan dan membangun kembali, serta mengambalikan yang telah hilang,” katanya.
Mengingat Segala
Bou Meng, kini berusia 85 tahun, masih menanggung luka fisik dan mental akibat penyiksaan di S-21. Ia beruntung keluar dari S-21 dalam keadaan bernyawa sehingga bisa bercerita kepada generasi saat ini tentang kekejaman Khmer Merah
“Saya akan mengingat semuanya sepanjang hidup,” katanya. “Mereka memukuli saya, menyiksa saya, dan saya tidak bisa melupakannya. Ingatan itu hidup selama saya masih hidup.”