Site icon Jernih.co

Menelusuri Nenek Moyang Ondel-ondel

JERNIH — Saat iseng menelusuri masa lalu Batavia lewat koleksi foto digitalcollections.universiteitleiden.nl, saya menemukan dua foto menarik. Pertama, foto dengan judul Barongandans te Batavia, yang artinya Tari Barongan di Batavia.

Foto dibuat CM Pleyte tahun 1900. Tidak ada informasi di mana tepatnya foto itu dibuat. Yang juga tidak ada adalah pada acara apa Tari Barongan ditampilkan di depan masyarakat.

Kedua, foto dengan judul Ondel-Ondel. (Poppen om geesten te verjagen). Artinya, Ondel-ondel. (Boneka untuk menakut-nakuti hantu). Foto dibuat G. Kolff & Co, sebuah perusahaan percetakan dan fotografi di Weltevreden, Batavia, tahun 1910. Namun, tempat foto dibuat tak disebut.

Selain kedua foto itu, terdapat beberapa foto yang memperlihatkan karakter ondel-ondel. Salah satunya foto tahun 1923, saat Ondel-ondel ditampilkan dalam peresmian bagian sayap Hotel Des Indes.

Ketika melihat foto pertama, saya segera teringat pada asumsi bahwa nenek moyang Ondel-ondel adalah barongan. Foto kedua dan ketiga membuat saya bertanya-tanya kapan barongan bertransformasi menjadi ondel-ondel dan mengalami perubahan karakter.

Asal-muasal

Catatan paling tua tentang sepasang boneka seukuran manusia ditampilkan di tengah masyarakat, menurut sejarawan JJ Rizal, dibuat Edmund Scott, seorang pedagang Inggris yang berada di Banten antara 1603-1605.

Th Peageud, dalam Javaanse Volkvertoningen (1934), menyebutkan boneka raksasa yang disebut Scott sebagai een reuse en een moster yang tampil dalam pesta khitanan Pangeran Abdul Mufakhir itu lazim ditemukan di daerah berkebudayaan agraris. Boneka itu adalah manifestasi kekuatan pelindung kampung dan penolak bala.

W Fruin Mees dalam Geschiedenis van Java, ed II mengkonfirmasi tulisan Th Peageud dengan merinci prosesi khitanan itu. Disebutkan, khitanan Pangeran Abdul Mufakhir, yang saat itu berusia 10 tahun, diramaikan arak-arakan 300 penjaga istana, 300 wanita pembawa banyak hadiah seperti emas, uang, dan kain sutra, plus sepasang boneka raksasa. Namun Fruin Mees tidak menyebut nama boneka itu.

Pertanyaannya, apakah boneka raksasa di Banten itu nenek moyang ondel-ondel? Mungkin tidak. Sebab, Scott tidak merinci bentuk boneka dan karakteristik wajah. Peageud dan Fruin Mees juga tidak.

Di sisi lain, masyarakat Batavia pada masa VOC mengenal barongan — sepasang boneka raksasa, seukuran manusia dan tanpa leher — sebagai penolak bala dan pelindung kampung. Barongan, menurut tulisan di situs Voice of Indonesia, populer di Batavia dan sekujur Pulau Jawa bersamaan dengan kehadiran orang Tionghoa. Maklum orang Tionghoa juga punya tradisi mengarak boneka.

Surat kabar Batavia tahun 1800-an, misalnya, sering memberitakan tradisi tersebut dengan kalimat ‘pengoesir iblis, iaitoe satoe bonnekka tjina amat besar, jang diseboet Kai-losin.

Mita Purbasari Wahidiyat, dalam Ondel-ondel Sebagai Ruang Negosiasi Kultural Masyarakat Betawi, mengatakan barongan berasal dari tradisi kesenian Bali. Asumsi yang mungkin tak keliru karena orang Bali dalam jumlah besar mulai memasuki Batavia pada abad pertama kekuasaan VOC.

Orang Bali datang sebagai budak, diberdayakan sebagai prajurit, dan dimukimkan di sejumlah kampung yang jejaknya — dalam bentuk nama Kampung Bali — masih terjaga sampai saat ini. Orang Bali berkembang, kawin-mawin dengan penduduk lokal, dan berbaur dengan penduduk mayoritas.

Hampir di semua tempat di Batavia, orang Bali menanggalkan agama nenek moyang dan menjadi Muslim. Banyak literatur yang mengungkap bahwa kapten masyarakat Bali dan Angke beragama Islam, mendirikan masjid, dan lainnya. Namun, pengaruh budaya Hindu Bali relatif masih bertahan sampai sekian lama.

Dari Barongan ke Ondel-ondel

Dalam tradisi Bali, barongan adalah perwujudan danyang atau roh halus pelindung desa dan kampung. Barongan akan keluar, diarak keliling kampung sebagai penolak bala, atau ketika desa dilanda wabah penyakit. Sebelum diarak, barongan diasapi kemenyan, disediakan sesajen kembang tujuh rupa, dan lainnya, agar prosesi berjalan lancar.

Seiring waktu, ketika pembauran etnis Bali dan masyarakat lokal sedemikian sempurna, barongan menjadi ‘milik’ atau ‘diwariskan’ ke masyarakat Betawi (pinggiran). Menariknya, barongan tidak pernah menjadi budaya populer masyarakat Betawi; pinggiran dan tengah.

Penyebabnya sederhana, yaitu barongan tidak muncul setiap saat, dalam acara-acara tradisional, atau dimainkan untuk memeriahkan khitanan, perkawinan, dan lainnya. Barongan masih diperlakukan seperti danyang dalam masyarakat Bali, keluar saat kampung atau desa dilanda wabah, dan berfungsi sebagai penolak bala.

Susan Blackburn — dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011) — menulis boneka raksasa itu sempat sangat populer di Batavia ketika terjadi wajah kolera. Salah satu surat kabar berbahasa Melayu tahun 1888, misalnya, sempat bercerita tentang para tokoh kampung yang mengadakan arak-arakan ke sekujur kampung sambil memanjatkan doa.

Muncul pertanyaan, sejak kapan barongan menjadi ondel-ondel?

Semula ada anggapan barongan menjadi ondel-ondel sekitar tahun 1970-an, atau setelah lagu ‘Ondel-ondel’ yang dinyanyikan Benjamin Suaeb populer. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan karakter dari barongan ke ondel-ondel.

Barongan berwajah menyeramkan, dengan mata melotot keluar kelopak, dan mengandung unsur magis. Ondel-ondel sebaliknya; berwajah ramah, lucu, dan menggemaskan.

Asumsi itu terpatahkan ketika melihat foto Ondel-ondel tahun 1910-an dan tahun 1923. Dalam foto tahun 1910-an, Ondel-ondel berwajah ramah, lucu, dan menggemaskan. Namun Ondel-ondel tahun 1923 berwajah menyeramkan, dengan dua taring panjang ke atas di kiri dan kanan mulutnya.

Menurut saya, proses barongan menjadi ondel-ondel — dengan semua perubahan karakter wajah, pakaian, dan lainnya — tidak terjadi serta-merta, tapi melalui proses evolusi. Di sisi lain, jika mengacu pada judul foto Ondel-Ondel. (Poppen om geesten te verjagen), masyarakat Betawi masih memperlakukan Ondel-ondel seperti barongan, yaitu pengusir hantu, penolak bala, dan pelindung kampung.

Yang juga tidak diketahui adalah apakah saat masih bernama barongan, boneka raksasa ini diarak dengan iringan musik. Pertanyaan sama juga berlaku untuk Ondel-ondel, yaitu sejak kapan arak-arakan boneka ini diiringi musik. Jika mengacu pada sejumlah gambar, iringan musik tampaknya belum ada saat boneka itu masih bernama barongan dan setelah menjadi Ondel-ondel.

Penggunaan musik pengiring dalam arakan Ondel-ondel kemungkinan akibat pengaruh Cina. Dalam masyarakat Tionghoa, iring-iringan Barongsai dimeriahkan tetabuhan dan perkusi.

Ikon Wisata

Paramitha Rahayu Abdurachman, dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, punya pendapat lain soal asal-muasal Ondel-ondel. Menurutnya, arak-arakan boneka raksasa yang kita sebut Ondel-ondel serupa dengan tradisi dalam salah satu perayaan keagamaan di Portugal.

Pengaruh Portugis yang masih melekat adalah musik pengiring Ondel-ondel, yaitu tangedores (baca: tanjidor) — kelompok musik yang membawa tambur Turki, tambur sedang (pandore), seruling, dan beragam terompet dan trombone.

Pendapat ini menjadi kuat karena musik pertama yang mengiringi Ondel-ondel adalah tanjidor, yang kemudian dicampur dengan alat musik Tionghoa; tehyan, kongahyan, dan sukong. Soal lagu yang dibawakan kemungkinan yang populer saat itu.

Pakaian Ondel-ondel juga berkembang sedemikian rupa. Saat masih bernama barongan, pakaian yang dikenakan boneka raksasa ini cenderung berwna gelap untuk memberikan kesan menyeramkan. Setelah kemasukan unsur Tionghoa, pakaian Ondel-ondel menjadi warna-warni.

Tidak diketahui sampai kapan Ondel-ondel berfungsi sebagai pengusir hantu, penolak bala, dan pelindung kampung. Kemungkinannya adalah sampai 1950-an, dan terhenti saat Walikota Jakarta Sudiro pada 1954 melarang Ondel-ondel.

Alasan Sudiro, arak-arakan Ondel-ondel adalah tradisi yang tak pantas dilestarikan karena merendahkan kaum pribumi. Bersama tanjidor, arak-arakan Ondel-ondel saat itu dianggap sebagai cara pribumi mengemis.

Dari alasan ini kita bisa tahu fungsi Ondel-ondel pasca Kemerdekaan RI 1945 bukan lagi sebagai pengusir roh jahat dan pelindung kampung. Namun, informasi lain menyebutkan — seperti tertera di situs indonesiakaya.com — ritual bakar kemenyan dan nyajen kembang tujuh rupa dalam pembuatan Ondel-ondel masih bertahan sampai 1980-an.

Selama dua dekade Jakarta kehilangan Ondel-ondel. Di pinggir Jakarta, Ondel-ondel kemungkinan masih ada meski bukan sebagai budaya populer. Fungsi boneka raksasa itu juga masih bertahan, yaitu sebagai penolak bala meski mungkin terpelihara di segelintir orang yang mewariskannya.

Tahun 1970-an, ketika Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, Ondel-ondel muncul lagi dan menjalankan fungsi barunya, yaitu ikon pariwisata ibu kota. Wajah Ondel-ondel berubah, ya seperti yang kita lihat saat ini, terpasang di depan kantor Gubernur Ali Sadikin dan digunakan memeriahkan acara-acara resmi.

Kini, Ondel-ondel mudah dijumpai. Menggunakan musik digital sebagai pengiring, Ondel-ondel masuk dan keluar kampung di Jakarta sebagai alat mencari duit. Pemilik Ondel-ondel menyewakan boneka itu untuk digunakan sebagai alat mengemis.

Exit mobile version