Site icon Jernih.co

Mengekang Euforia Korsel 2(10) vs 2(11) Indonesia

JERNIH — Beberapa hari lalu saya mengajukan pertanyaan kepada kawan-kawan; mengapa Qatar vs Indonesia, Australia vs Indonesia, Yordania vs Indonesia, dan Korsel vs Indonesia, bukan sebaliknya; Indonesia vs Qatar, dan seterusnya.

Nggak ada yang (bisa) jawab, termasuk seorang kawan yang sering melototin sepak bola nasional dan internasional. Padahal, itu sesuatu yang biasa terjadi.

Dalam turnamen, tim unggulan selalu ditempatkan di depan. Misal, Korsel vs Indonesia. Artinya, Korsel lebih diunggulkan. Beda dengan sepak bola kompetisi panjang dengan sistem home and away, yang menyebut tim tuan rumah di depan. Arsenal-Manchester United, itu artinya Arsenal bermain kandang.

Di Piala Asia U23 kali ini, Indonesia diletakan di belakang lawan di empat laga. Artinya, Indonesia tak pernah menjadi unggulan, atau diunggulkan.

Menjadikan tim itu unggulan atau diunggulkan bukan persoalan suka atau tidak suka panitia, yang dalam hal ini Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), tapi posisi di rangking FIFA. Di empat laga, posisi lawan-lawan berada di atas Indonesia.

Pertanyaannya, apakah Indonesia akan menjadi unggulan — atau diletakan di depan lawan — pada laga semifinal Piala Asia U23?

Menurut saya belum. Setelah turnamen ini, dan FIFA mengeluarkan rangking terbarunya, mungkin Indonesia akan menjadi unggulan atau diunggulkan di turnamen berikut.

Jadi, kerja belum selesai. Hentikan euforia sukses Indonesia mencapai semifinal Piala Asia U23, sebab kerja besar kita adalah menempatkan sepak bola Indonesia di posisi terhormat di level Asia dan menjamin keberlanjutan.

Artinya, pastikan setelah turnamen ini timnas Indonesia tidak berisi orang-orang yang kalah. Sebagai penggemar, kita juga tidak boleh memperlihatkan diri sebagai orang yang kalah, dengan selalu menggunakan kata ‘berhasil’ untuk pencapaian kecil.

Saya setuju dengan komika Ernest Prakasa, yang memperingatkan Erick Thohir untuk tidak menggeruduk ruang ganti timnas Indonesia di turnamen dan larut dalam suka cita. Saya juga berharap presiden nggak latah ikutan ke Qatar dan nonton pertandingan langsung, atau bikin acara nobar di Istana yang diramaikan buzzer dan media online.

Euforia itu seharusnya di ujung. Timnas U23 Indonesia dalam proses menuju ke sana dan jangan dulu disanjung.

Jadi, bicarakan saja gol indah Witan Sulaiman dan Rafael Struick, gol sontekan berkelas Marselino Ferdinand, kelahiran libero baru Indonesia dalam diri Rizki Ridho dan kontribusi pemain naturalisasi yang membuat Indonesia mampu bermain level Eropa.

Exit mobile version