Site icon Jernih.co

Omnibus Law, yang Pro, yang Kontra

Omnibus Law juga dinilai merusak solidaritas pekerja. Ada yang dengan tegas menolaknya dan ada pula yang masih terbuka untuk berkompromi. Meski fragmentasi kelas pekerja bukanlah hal baru, keberadaan Omnibus Law justru semakin memperburuk keadaan

JERNIH—Tampaknya 8 Oktober 2020 menjadi puncak gelombang protes elemen masyarakat, pekerja, mahasiswa, akademisi, dan para aktivis terhadap pengesahan ‘UU Omnibus Law Cipta Kerja’. Paling tidak, demo itu tak hanya berkobar di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di seluruh negeri.

Massa di seluruh daerah menyatakan kekecewaannya. Mereka menilai pemerintah mengkhianati rakyat dengan mengeluarkan peraturan yang lebih menguntungkan pengusaha dan investor, tetapi tidak masyarakat, khususnya kelas pekerja.

Siapa yang diuntungkan dan dirugikan undang-undang baru yang ternyata sampai saat ini berbagai pihak terkait saling tunjuk tentang draf finalnya itu? Mengapa RUU Cipta Kerja yang menurut pemerintah diproyeksikan untuk pengembangan mata pencaharian masyarakat itu justru menimbulkan protes besar-besaran? Di bawah ini analisis dari situs Modern Diplomacy yang berbasis di Eropa.

Kelompok Pro:

Bagi kelompok pro, undang-undang tersebut bertujuan untuk melonggarkan jaringan hukum bisnis, tenaga kerja, dan lingkungan Indonesia yang kompleks dalam upaya menarik investasi dan meningkatkan perekonomian. Dalam sebuah wawancara, Presiden Joko Widodo mengatakan kepada BBC, undang-undang tersebut bertujuan membuka ekonomi untuk lebih banyak investasi asing.

“Kami ingin mempermudah [proses] perizinan dan birokrasi, kami ingin kecepatan, sehingga perlu harmonisasi hukum untuk menciptakan pelayanan yang cepat, pembuatan kebijakan yang cepat, agar Indonesia lebih cepat merespon setiap perubahan dunia,” ujar Joko.

Ekonomi Indonesia menyusut 5,3 persen pada kuartal kedua tahun ini. Sementara, Vietnam yang mencatat pertumbuhan ekonomi selama April-Juni 2020 sebesar 0,36 persen.

UU tersebut membuat perubahan signifikan pada peraturan ketenagakerjaan Indonesia. Ini menghapus upah minimum sektoral, mendukung minimum yang ditetapkan oleh gubernur daerah. Ini akan mengurangi pesangon hingga maksimal 19 bulan gaji, tergantung pada berapa lama karyawan tersebut bekerja. Sebelumnya, gaji maksimal 32 bulan.

Namun, dana pemerintah yang baru akan memberikan tambahan upah enam bulan bagi para pengangguran baru. Lembur yang diizinkan akan ditambah maksimal empat jam dalam satu hari dan 18 jam seminggu. Bisnis hanya akan diharuskan memberi pekerja satu hari libur dalam seminggu, bukan dua hari.

Pembatasan outsourcing juga telah dikurangi, seperti halnya pembatasan pekerjaan di mana ekspatriat dapat bekerja. Undang-undang juga melonggarkan standard lingkungan, hanya memaksa bisnis untuk menyerahkan penilaian dampak lingkungan jika proyek mereka dianggap berisiko tinggi.

UU tersebut diharapkan dapat menciptakan hampir tiga juta pekerjaan bagi kaum muda yang telah mulai mencari pekerjaan dan enam juta orang menganggur karena pandemi COVID-19. Meskipun peringkat Indonesia dalam indeks Kemudahan Berbisnis Bank Dunia telah meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir, peringkat Indonesia tetap stagnan di peringkat 73 pada 2019, tertinggal dari Vietnam yang berada di peringkat ke-70.

Kelompok Kontra:

Omnibus Law disusun dan dibahas secara terburu-buru, drafnya “dirahasiakan”, dan dipaksa masuk dalam program prioritas legislasi nasional (Prolegnas) dan rapat paripurna DPR. Aparat seolah tak mampu menghentikan bunga modal yang difasilitasi Omnibus Law. Dalih untuk menyederhanakan, merampingkan, dan menghapus peraturan yang tumpang tindih serta mengatasi kendala investasi merupakan cerminan dari kepatuhan pemerintah terhadap kekuatan pasar bebas atau neoliberalisme.

Karena kebijakan Keynesian tidak mampu mengatasi kebuntuan ekonomi. Lantas, neoliberalisme diperkenalkan sebagai alternatif menjawab tantangan resesi 1980-an, dan hingga kini menjadi ide dan gerakan ekonomi politik yang dominan. Ada beberapa usulan yang akan diajukan, seperti mengamankan intervensi negara di pasar, melindungi dan menjamin hak milik pribadi, pertahanan dan keamanan nasional, penegakan hukum berbasis kontrak agar pasar dapat memanfaatkan akumulasi.

Pandangan ini dengan jelas memperlihatkan sebuah paradoks. Di satu sisi, janji kesejahteraan berbanding terbalik dengan kebijakan neoliberal yang memfasilitasi kerangka kelembagaan demi akumulasi. Realitas melebarnya jurang antara “kaya” dan “miskin” merupakan implikasi logis dari biadab akumulasi yang memungkinkan konsentrasi kapital terjadi di tangan segelintir orang. Terlepas dari pasar sebagai entitas yang paling efektif dan efisien, pasar tidak memiliki komitmen terhadap masalah sosio-ekologis.

Rencana untuk menetapkan upah per jam dan upah minimum menyisakan setidaknya dua masalah. Pertama, pekerja berpotensi mendapat pengurangan upah jika bekerja tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan perusahaan.

Komoditas dalam jumlah tertentu dalam kurun waktu tertentu terhimpit dengan hilangnya beberapa izin cuti yang berpotensi menurunkan produktivitas tenaga kerja. Kedua, upah minimum dalam regulasi global tidak menjangkau pekerja di sektor informal. Masalah ini mencerminkan cara penguasa meniadakan kepentingan kelas pekerja.

Omnibus Law ini secara sistematis melemahkan kelas pekerja. Tidak ada ruang bagi pekerja untuk menaikkan posisi tawar mereka. Hal ini diperparah dengan masih adanya tenaga kerja yang belum terserap oleh industri, mengantre untuk bekerja pada saat industri membutuhkannya. Kondisi yang memprihatinkan ini diabaikan oleh pemerintah dengan mengorbankan kepentingan kelas pekerja melalui upah murah dan jam kerja yang panjang, semata-mata untuk memuaskan selera para investor dan oligarki.

Saat ini masih ada satu persen orang Indonesia yang menguasai 50 persen kekayaan nasional atau jika ditingkatkan masih ada 10 persen orang Indonesia yang menguasai 70 persen kekayaan nasional, sehingga 30 persen sisanya direbut oleh 90 persen kekayaan nasional orang Indonesia. Sejarah masyarakat manusia membuktikan hal ini. Kebebasan tanpa persamaan bagi mereka yang cinta dan persamaan tanpa kebebasan adalah hal yang mustahil, sekaligus menjadi pembenaran untuk perbudakan.

Janji-janji kesejahteraan yang digaungkan oleh neoliberalisme hampir tidak pernah terwujud. Kebalikannya adalah benar: ketimpangan yang semakin parah antara “kaya” dan “miskin”. Sejak eksperimen neoliberalisme pertama kali dilakukan oleh pemerintahan Soeharto pada masa rezim Orde Baru dan dilanjutkan pada Orde Reformasi, kesejahteraan hanya menjadi “utopia neoliberal”.

Hal yang harus digarisbawahi adalah Omnibus Law juga merusak solidaritas kolektif kelas pekerja. Seperti yang tercermin dari sikap kelas pekerja dalam menyikapi kebijakan ini, ada pihak yang dengan tegas menolaknya dan ada pula yang masih terbuka untuk berkompromi. Meski fragmentasi kelas pekerja bukanlah hal baru, keberadaan Omnibus Law justru semakin memperburuk keadaan.

Ambisi pemerintah untuk memuluskan investasi dengan mengorbankan manusia dan lingkungan. Penindasan berlapis yang dialami oleh kelas pekerja diperparah dengan membiarkan korporasi mengeksploitasi alam sedemikian rupa hanya untuk mencari keuntungan dengan harapan dapat memperbaiki statistik pertumbuhan ekonomi nasional. Utopia pasar bebas yang diyakini oleh mereka yang diuntungkan secara material maupun yang keberadaannya dilegitimasi oleh pemahaman ini telah memaksa mereka menjadi budak yang selalu mengabdi pada kekuatan pasar bebas yang menjanjikan keuntungan.

Terakhir, Omnibus Law merupakan irasionalitas keadilan modal yang coba dirasionalkan oleh para politisi dan pejabat negara sedemikian rupa sehingga situasi abnormal (penindasan) yang dialami pekerja, akibat kebijakan tersebut dinetralkan menjadi sesuatu yang normal. [modern diplomacy.eu]

Exit mobile version