Langkah ini menandai retaknya hubungan antara dua sekutu utama dalam koalisi anti-Houthi, yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang kini berada di pihak yang berseberangan dalam menangani aspirasi kemerdekaan Yaman Selatan.
JERNIH – Ketua Dewan Kepemimpinan Kepresidenan (PLC) Yaman, Rashad al-Alimi, resmi mengeluarkan dekrit presiden yang memerintahkan penarikan total seluruh pasukan militer Uni Emirat Arab (UEA) dari wilayah Yaman dalam waktu 24 jam. Langkah drastis ini dibarengi dengan pembatalan perjanjian pertahanan bersama antara kedua pihak dan penetapan status darurat nasional selama 90 hari ke depan.
Keputusan berani Al-Alimi ini merupakan respons terhadap eskalasi militer besar-besaran yang dilakukan oleh Dewan Transisi Selatan (STC)—kelompok separatis didukung UEA—yang telah merebut berbagai infrastruktur penting dan ladang minyak di Provinsi Hadhramaut dan Al-Mahra sejak awal Desember lalu.
Situasi kian memanas setelah koalisi pimpinan Arab Saudi meluncurkan serangan udara ke Pelabuhan Mukalla pada fajar Senin (29/12/2025). Serangan tersebut menargetkan dua kapal yang baru tiba dari Pelabuhan Fujairah, UEA, tanpa izin resmi. Kapal-kapal tersebut dilaporkan mengangkut pasokan senjata berat dan menengah untuk memperkuat pasukan separatis STC.
Pihak STC, melalui Wakil Presidennya Hani bin Breik, mengecam keras serangan tersebut dan menyebutnya sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional terhadap infrastruktur sipil. Namun, koalisi bersikeras bahwa pelabuhan tersebut telah digunakan untuk aktivitas militer ilegal yang mengancam kedaulatan pemerintah pusat.
Konflik ini bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan perang memperebutkan akses energi. Awal bulan ini, pasukan STC berhasil merebut paksa ladang minyak PetroMasila setelah bentrokan berdarah dengan aliansi suku lokal. Akibatnya, produksi minyak sebanyak 90.000 barel per hari terhenti total, melumpuhkan urat nadi ekonomi Yaman.
Sejak 2 Desember 2025, STC telah melancarkan serangan militer besar-besaran di seluruh Yaman selatan dan timur, dengan cepat maju ke sebagian besar wilayah Hadramout, menandai salah satu ekspansi paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Baru-baru ini, antara 16 dan 22 Desember 2025, STC menolak seruan dari aktor Yaman dan regional untuk menarik diri dari Hadramout dan al-Mahra, sementara tokoh-tokoh senior membahas langkah-langkah menuju pembentukan struktur administrasi paralel, yang menandakan dorongan yang semakin dalam menuju pemisahan de facto.
Pada 15 Desember 2025, STC mengumumkan operasi militer baru di provinsi Abyan, dengan Pasukan Sabuk Keamanan mereka menyatakan bahwa kampanye tersebut bertujuan untuk mengganggu jalur pasokan militan, yang selanjutnya memperkuat jejak keamanan dan militer kelompok tersebut.
Langkah STC yang mulai membangun struktur administrasi paralel di wilayah timur dipandang sebagai upaya de facto untuk memisahkan diri dari Yaman Utara. Arab Saudi menyebut manuver ini sebagai “eskalasi yang tidak dapat dibenarkan” yang justru melemahkan persatuan rakyat Yaman.
Sebagai tindak lanjut pengusiran pasukan UEA, Al-Alimi telah menginstruksikan unit militer National Shield Forces (Pasukan Perisai Nasional) yang didukung Saudi untuk segera mengambil alih seluruh kamp militer di Hadhramaut dan Al-Mahra. Perintah ini sekaligus menetapkan blokade darat, laut, dan udara selama 72 jam di seluruh perbatasan guna mencegah masuknya bantuan militer asing lebih lanjut.
Langkah ini menandai retaknya hubungan antara dua sekutu utama dalam koalisi anti-Houthi, yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang kini berada di pihak yang berseberangan dalam menangani aspirasi kemerdekaan Yaman Selatan. Kini, dunia menantikan apakah 24 jam ke depan akan menjadi masa penarikan mundur yang damai, atau justru menjadi pemicu perang saudara baru yang lebih menghancurkan di Jazirah Arab.
