Keterwakilan perempuan juga bakal berdampak pada peningkatan partisipasi di institusi politik lainnya. Dengan begitu, keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu akan menginspirasi perempuan lain untuk ikut berpartisipasi mengisi posisi strategis di institusi politik yang lain.
JAKARTA – Terwujudnya keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam lembaga penyelenggara Pemilu 2024 mampu membawa sejumlah dampak positif, bahkan bakal mampu menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang lebih inklusif.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk “Catatan Publik untuk Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Anggota KPU dan Bawaslu” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Puskapol FISIP UI, Jakarta, Minggu (6/2).
Khoirunnisa menjelaskan, dampak positif yang dimaksud, pertama, perempuan anggota KPU dan Bawaslu dapat mengawal suara pemilih perempuan, sehingga dapat memastikan suara perempuan dalam pemilu tidak dicurangi.
Kedua, keterwakilan perempuan juga bakal berdampak pada peningkatan partisipasi di institusi politik lainnya. Dengan begitu, keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu akan menginspirasi perempuan lain untuk ikut berpartisipasi mengisi posisi strategis di institusi politik yang lain.
“Ketika perempuan hadir di posisi itu, dia akan menginspirasi perempuan-perempuan lainnya,” kata dia.
Menurut dia, Pemilu yang inklusif dimaksud yakni penyelenggaraan pemilu yang mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara yang berhak memilih. Kesempatan yang sangat luas tersebut berarti tidak memandang suku, agama, ras, jenis kelamin, penyandang disabilitas, bahkan status sosial dan ekonomi dari masing-masing warga negara Indonesia.
Saran JPPR: DPR RI Jangan Berikan Pertanyaan Bias Gender
Atas hal tersebut, Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menyarankan agar Komisi II DPR RI tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat bias gender, dalam uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU serta Bawaslu.
“Terkait materi dalam uji kelayakan dan kepatutan, pertanyaannya tidak bias gender. Itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dan tidak baik,” katanya.
Ia mencontohkan beberapa pertanyaan yang tidak bersifat bias gender, di antaranya tidak menanyakan kesiapan calon anggota perempuan untuk pulang larut malam dengan alasan rapat, pengganti yang mengasuh anak mereka, dan izin dari suami apabila ada rapat yang mengharuskan anggota KPU dan Bawaslu pergi ke hotel-hotel.
Selain itu, menyarankan agar uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR RI terhadap para calon anggota KPU serta Bawaslu memuat pertanyaan seputar tujuan ataupun potensi kompleksitas Pemilu.
“Para calon anggota KPU dan Bawaslu sudah sepatutnya mendapatkan pertanyaan seputar inovasi dan terobosan yang efisien, sederhana, dan mudah pada saat Pemilu 2024 berdasarkan pengalaman di Pemilu 2019,” kata dia.
Ia menambahkan, uji kelayakan dan kepatutan memerlukan pertanyaan yang mampu menggambarkan kapasitas para calon anggota KPU dan Bawaslu sebagai pemimpin. Misalnya, bagaimana mengelola suatu organisasi, solusi untuk meningkatkan sumber daya manusia di lembaga penyelenggara Pemilu.
“Sampai hari ini kelembagaan KPU dan Bawaslu membutuhkan penguatan, dan cara menyelesaikan problematika yang mewadahi banyak kepentingan,” katanya.