“Potensi radikalisme dari hasil penelitian ini banyak yang perempuan, kalangan urban, generasi Z dan milenial, serta aktif di internet”
JAKARTA – Perempuan memiliki potensi terpapar paham radikal lebih tinggi dibandingkan laki-laki, meski perbandingannya tipis. Dimana persentase perempuan yang terpapar paham radikalisme mencapai 12,3 persen sedangkan laki-laki 12,1 persen. Hal tersebut didapat dari riset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sepanjang 2020 lalu.
Demikian diungkapkan eks DIrektur Pencegahan BNPT, Hamli, pada diskusi webinar dari The Center for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), Minggu (14/2/2021).
“Potensi radikalisme dari hasil penelitian ini banyak yang perempuan, kalangan urban, generasi Z dan milenial, serta aktif di internet. Ini yang menurut penelitian lebih potensi dibandingkan yang lain,” ujarnya.
Perempuan mudah mendapatkan pengaruh dari lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, Hamli meminta seluruh masyarakat, khususnya perempuan senantiasa waspada dengan pihak yang berupaya menyebarkan paham radikal.
“Sekarang ada fenomena ibu-ibu yang nganterin anaknya, itu banyak yang kena di kumpulan ibu-ibu, makanya offline dan online itu juga harus menjadi konsentrasi, karena finishing (penyebaran paham radikalisme) tetap di offline,” kata dia.
Kemudian, potensi generasi Z terpapar radikalisme mencapai 12,7 persen dan generasi millenial 12,4 persen. Dimana generasi Z merupakan penduduk di rentang usia 14-19 tahun, sedangkan generasi milenial berumur 20-39 tahun.
Ia menjelaskan, seseorang menjadi teroris melalui kurang lebih 3 tahapan. Dimulai dari sikap intoleransi beragama, radikalisme, dan terorisme.
Oleh sebab itu, pemerintah bersama masyarakat gencar melawan paham radikalisme. Terutama dengan perkembangan internet saat ini, penyebaran paham radikalisme semakin mudah.
Dari hasil penelitian BNPT 2020, rata-rata durasi masyarakat Indonesia mengakses internet adalah 1-3 jam sehari. Sementara itu, mayoritas netizen atau pengguna internet pernah menerima informasi keagamaan via internet yakni sebanyak 82,8 persen.
Karenanya, Hamli berharap, saluran keagamaan tidak dijadikan sarana penyebaran paham radikalisme oleh kelompok tertentu.
Mereka juga aktif mencari konten keagamaan melalui internet, yakni sebanyak 77 persen.
“Orang yang menerima konten keagamaan setiap hari persentasenya mencapai 16,6 persen. Sedangkan, yang mencari konten keagamaan paling banyak melalui Youtube yakni 77,9 persen dan sosial media 47,3 persen,” ujar dia.