Site icon Jernih.co

Polemik RUU ‘Cilaka’, dari Pemerintah Enggak Ada Otak hingga DPR Diminta Libatkan Rakyat

JAKARTA – Proses penyusunan Racangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang tertutup, membuat sejumlah pihak terus melontarkan kritik. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menjelaskan pemerintah tak memikirkan pekerja (buruh) dalam penyusunan RUU ‘cilaka’ tersebut.

“Enggak ada otak itu, pemerintah dan pengusaha,” ujarnya di Jakarta, Minggu (16/2/2020).

Sejumlah alasan buruh mengapa melakukan penolakan seperti yang tertuang dalam Bab IV draf RUU Cipta Kerja. Di antaranya hilangnya upah minimum, jaminan sosial, berkurangnya pesangon PHK, jam kerja yang eksplotatif, dan ketidakjelasan nasib pekerja kontrak dan outsourcing.

Tak hanya itu, ancaman banjir tenaga kerja asing yang tak berkeahlian (unskilled labour), kemudahan PHK oleh perusahaan, upaya penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan, dan aturan diskriminatif bagi perempuan seperti cuti haid dan melahirkan yang dalam RUU tersebut dihilangkan.

Sementara BPJS Watch mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera melibatkan buruh dan masyarakat membahas RUU tersebut. Menginggat peran masyarakat luas penting guna memastikan produk RUU Cipta Kerja tak mudah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi.

“Secara formil, pembuatan RUU ini dilakukan dengan tidak transparan. Peran masyarakat tidak terakomodasi,” ujar Ketua Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar.

Ia menegaskan, masyarakat wajib tahu kualitas produk undang-undang tersebut. Juga berhak menyatakan argumen untuk pasal per pasal, khususnya pasal dalam undang-undang sensitif seperti Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Jaminan Sosial Nasional.

“Kita bisa melihat langsung apakah anggota DPR konsisten berjuang untuk rakyat atau takut dengan ketua umum parpol,” kata dia.

Seandainya pembahasan RUU Cipta Kerja bersifat tertutup, dirinya khawatir, DPR bakal dibanjiri kritik dan prasangka buruk oleh masyarakat. Sebab akan mempertanyakan kualitas undang-undang yang nantinya akan terbit.

“Dengan pasal yang akan dibahas berjumlah seribuan, untuk memastikan efektivitas dan kualitas, seluruh komisi dan masyarakat harus dilibatkan, tidak hanya di baleg (badan legislasi),” katanya.

Beberapa waktu lalu, kritik Omnibus Law juga disampaikan Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan RUU Cipta Kerja melenceng dari tujuan awalnya. 

“Judulnya saja Cipta Lapangan Kerja, tapi sejatinya tidak untuk membuka lapangan kerja, melainkan investasi dan kepentingan pemodal yang diberikan seluas-luasnya,” katanya.

Dalam rancangan aturan yang baru itu hendak menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam Pasal 93 huruf a.

Selain itu, izin atau cuti khusus menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b), diusulkan dihapus.

Oleh karena itu, bila hal tersebut disahkan maka, buruh perempuan bakal tak mendapatkan kesehatan reproduksi. “Buruh perempuan semakin jauh dari mendapatkan hak kesehatan reproduksinya,” kata Nining. [Fan]

Exit mobile version