- Siapa yang diuntungkan dari korban-korban perang melawan narkoba? “Aktivis hak asasi manusia,” kata Duterte.
- Siapa yang akan menanggung masalah semua ini? “Saya. Karena ada orang yang ingin balas dendam,” lanjut Duterte.
JERNIH — Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan tidak akan tunduk pada penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam perang melawan narkoba yang dikobarkannya.
“Saya lebih baik mati daripada tunduk pada ICC,” kata Presiden Duterte. “Jika mereka benar-benar menginginkan saya, langkai dulu mayat saya.”
Menurut Duterte, ICC bisa membawa mayat saya ke Den Haag, dan mengadilinya. “Saya tidak akan pergi ke Den Haag hidup-hidup.”
ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda. Presiden Duterte didesak menghadiri sidang pengadilan hak asasi manusia, berkaitan dengan perang melawan narkoba, di Den Haag.
Juni lalu, Fatou Bansouda — jaksa Pengadilan Kriminal Internasional saat itu — meminta penyelidikan penuh atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang melawan narkoba yang dipimpin Presiden Duterte.
Jika diijinkan, penyelidikan akan dilakukan Karim Khan, penerus Bansouda.
Data pemerintah Filipina menyebutkan lebih 6.000 orang tewas dalam operasi antinarkoba yang dijalankan sejak Juli 2016. Kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlahnya lebih besar, yaitu tiga kali lipat dari angka yang disebut pemerintah.
Tahun 2019, Presiden Duterte mengeluarkan Filipina dari ICC setelah penyelidikan awal digelar. Presiden Duterte mengecam pengkritik perang melawan narkoba dengan mengatakan; “Orang dan bangsa Filipina mendapat manfaat dari para pengkritik seraya membahayakan nyawa sendiri dan keluarganya.”
Dalam pidato publiknya, Presiden Duterte mengungkap serangan yang dilakukan Polisi Nasional Filipina dan Badan Penegakan Narkoba Filipina, termasuk penggrebekan narkoba senilai 500 juta peso, atau Rp 144 miliar, di Bulacan, Minggu lalu.
“Katakalah kelompok hak asasi itu benar, siapa yang diuntungkan dari pembunuhan di luar proses hukum?” tanya Presiden Duterte. “Saya? Keluarga saya? Tidak. Kelompok hak asasi manusia itu mengambil keuntungan dari orang-orang mati.”
Presiden Duterte melanjutkan; “Siapa yang sekarang mendapat masalah? Saya. Keluarga saya. Tidak. Saya yang dalam masalah saat ini. Saya bukan jutawan yang memiliki pasukan. Para bandar itu akan membalas dendam kepasa saya.”
Pernyataan Presiden Duterte muncul ketika sebelas senator AS mendesak Presiden AS Joe Biden mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Filipina
Presiden Duterte juga memperingatkan Departemen Luar Negeri AS untuk tidak mengambil langkah yang memusuhi Filipina, sebagai tanggapan atas desakan senatornya.
Ancaman yang Mungkin
Senator Panfilo Lacson, mantan kepala kepolisian Filipina (PNP), mengatakan mungkin ada orang yang ingin membalas dendam terhadap Presiden Duterte, tapi hanya pengecualian dari semua yang dipenjara atau terbunuhd alam perang melawan narkoba.
“Ketakutan presiden mungkin sah, meski pengalaman saya megnatakan pelaku kriminal yang kami tangkap dan kirim penjata, atau kerabatnya yang kami bunuh, sebagian besar menerima nasib sebagai risiko,” kata Lacson.
Senator Ronald Dela Rosa, yang juga pernah menjabat kepala PNP, membenarkan pernyataan Presiden Duterte bahwa yang diuntungkan dalam perang melawan narkoba adalah rakyat Filipina.
Ketua Senat Vicente Sotto III mengatakan pendekatan holistik diperlukan dalam perang melawan narkoba. Tidak hanya menargetkan pengedar jalanan, tapi mengurangi permintaan.