- Presiden Volodymyr Zelensky kini mengkritik negara Barat yang takut memberi dukungan militer.
- Pengguna media sosial menjuluki Zelensky sebagai pemimpin kesepian tapi terhormat.
- Rusia menginvasi Ukraina hanya untuk mengganti rezim, dan menjamin tidak tetangganya yang jadi anggota NATO.
JERNIH — Jika sempat menonton video komedi yang dibintangi Volodymyr Zelensky, Anda mungkin akan bertanya-tanya mengapa wajah lucu ini ditakdirkan memimpin Ukraina dalam keadaan krisis.
Volodymyr Zelensky bukan politisi. Atau, meminjam istilah Al Jazzera, politisi pemula.
Ia lahir di kota industri Kryvyi Rih, yang sebagian besar penduduknya adalah penutur Bahasa Rusia. Ia meniti karier sebagai aktor komedi situasi dan komedian, sampai seorang kritikus menuduhnya boneka oligarki Ihor Kolomoisky dan sutradara memecatnya.
Tahun 2019, Zelensky mengambil alih kursi presiden Ukraina dengan meraih 73 persen suara dalam pemilihan umum. Tentu saja bukan kemampuannya melucu yang membuatnya menjadi presiden, tapi janji politiknya; menyeimbangkan pertahanan Ukraina dari agresi Rusia dengan melindungi penutur Bahasa Rusia di negaranya.
Ayah dua anak ini dianggap sukses ketika langkah diplomasinya membuat Moskwa bersedia bertukar tawanan perang. Namun niat baik Presiden Rusia Vladimir Putin tidak mengubah kebijakan Zelensky untuk tetap pro-Barat dengan mendekat ke NATO.
Putin pantas marah. Zelensky, dengan dukungan rakyatnya, juga merasa pantas memilih arah politik luar negerinya. Sejak tahun lalu, Putin mulai menumpuk pasukannya di perbatasan Ukraina untuk menekan Zelensky.
Alih-alih merayu Moskwa, Zelensky justru berkeliling Eropa untuk meminta dukungan politik, senjata, dan dana, ke negara-negara NATO dan AS. Sejak 24 Februari, setelah Rusia menginvasi Ukraina, Zelensky menjadi kepala negara paling rentan.
Mengubah Rezim
Zelensky menyebut diri sebagai target nomor satu Rusia, tapi dia tidak akan lari dari Ukraina. Ia tahu invasi Rusia ke Ukraina hanya untuk satu hal; mengubah rezim.
“Mereka ingin menghancurkan Ukraina secara politik dengan menjatuhkan kepala negara,” kata Zelensky.
Fabrice Pothier, kepala petugas strategi di konsultan politik Rasmussen Global dan mantan direktur perencanaan kebijakan NATO, mengatakan tujuan Putin menyerbu Ukraina hanya untuk memaksa Zelensky melakukan penyerahan politik.
Artinya, Moskwa ingin memperlakukan Zelensky seperi Mikheil Saakashvili — presiden Georgia yang dipaksa Rusia turun takhta lewat invasi dan perang lima hari pada Agustus 2008. Seperti Zelensky, Saakashvili juga memunggungi Rusia dan menatap NATO.
“Atau, Ukraina memilih cara Finlandia,” kata Pothier. “Yaitu, menghindari permusuhan dengan Rusia dengan tidak bergabung dengan NATO.”
Perang Dunia III?
Mungkin terlalu berlebihan jika menyebut serbuan Rusia ke Ukraina akan mengawali Perang Dunia III.
Ukraina bukan anggota NATO. Upaya Zelensky menjadikan Ukraina anggota NATO dan Uni Eropa relatif gagal karena agresivias politik luar negeri Rusia.
Diplomasi Zelensky mendapatkan dukungan militer negara-negara NATO juga gagal. Ini disadari Zelensky ketika dia mengkritik negara-negara Barat yang membatasi diri pada dukungan verbal, finansial dan diplomatik.
“Kami ditinggalkan sendirian,” kata Zelensky dalam pesan video kepada pemimpin negara-negara Barat. “Siapa yang siap bertarung bersama kami? Saya melihat tidak siapa pun. Siapa yang memberi Ukraina jaminan keanggotaan NATO. Semua orang takut.”
Pengguna media sosial mengenai kerentanannya, dan menjulukinya pria kesepian tapi terhormat. Pertanyaannya, mungkinkah Putin sedang memicu Perang Dunia III dengan menyerbu Ukraina?
Perang Dunia III hanya mungkin terjadi jika Putin terlalu percaya diri dengan kekuatannya, dan melanjutkan agresinya ke Polandia dan tiga negara Baltik; Lithuania, Estonia, dan Latvia.
Polandia, Lithuania, Estonia, dan Latvia, adalah anggota NATO. Salah satu diserang akan membuat 14 anggota lainnya mengirim pasukan ke Baltik dan Polandia, dan Perang Dunia III meletus.