- Mahmoud Bassal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, mengatakan lebih dari 10.000 mayat masih terperangkap di bawah reruntuhan.
- Warga menggunakan peralatan rumah tangga, atau bahkan tangan mereka sendiri, untuk mencari orang-orang terkasih.
JERNIH – Untuk minggu ketiga berturut-turut, mesin berat dan tim penggali telah dikerahkan di seluruh Gaza untuk menemukan jasad tawanan Israel yang terbunuh selama perang. Pencarian ini sesuai dengan perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober.
Kesepakatan yang ditengahi AS, Mesir, dan Qatar menjanjikan gencatan senjata total, pertukaran tahanan dan orang hilang, serta masuknya bantuan kemanusiaan dan logistik. Di antara barang-barang pertama yang masuk ke Gaza adalah buldoser dan ekskavator, bukan untuk membangun kembali lingkungan yang hancur atau menyelamatkan warga Palestina yang masih terjebak di bawah rumah-rumah yang runtuh, tetapi untuk memulihkan sisa-sisa jenazah tawanan Israel di Gaza.
Perjanjian tersebut juga membentuk ruang operasi yang diawasi secara internasional untuk berkoordinasi dalam masalah tahanan dan korban tewas. Dalam praktiknya, klausul ini terutama melayani kepentingan Israel.
Tim teknik Mesir dan beberapa buldoser kini beroperasi di daerah kantong pantai yang dilanda perang di bawah pengawasan pejabat keamanan Israel dan AS. Warga Palestina biasa dilarang mendekati lokasi penggalian, sebagian besarnya berada di zona dengan pemboman terberat.
Bagi banyak orang di Gaza, pemandangan ini sungguh menyakitkan. Setelah lebih dari dua tahun perang tanpa henti yang telah menghancurkan seluruh permukiman, kontrasnya sangat mencolok: dunia sedang bermobilisasi untuk menemukan sisa-sisa jasad segelintir warga Israel, sementara ribuan jasad Palestina tergeletak tak terurus dan tak diakui di bawah reruntuhan rumah mereka.
Seluruh Distrik Musnah
Warga Palestina di Gaza menyaksikan perhatian dan sumber daya internasional mengalir deras untuk satu tujuan, sementara permohonan mereka sendiri untuk membawa peralatan penyelamatan telah diabaikan selama berbulan-bulan. Penyeberangan yang sama yang dibuka dengan cepat untuk memungkinkan buldoser bagi misi pemulihan Israel tetap ditutup bagi kru pertahanan sipil Palestina yang masih bekerja dengan tangan kosong.
Ketimpangan ini telah memunculkan kembali satu pertanyaan yang menghantui di Gaza: Mengapa nyawa orang Israel diperlakukan sebagai sesuatu yang suci sementara kematian orang Palestina hanyalah statistik?
Di lingkungan Gaza yang hancur, upaya penyelamatan masih sangat sederhana. Mahmoud Bassal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, mengatakan kepada The New Arab (TNA) bahwa lebih dari 10.000 jenazah masih terperangkap di bawah reruntuhan.
“Kita berhadapan dengan seluruh distrik yang telah terhapus dari peta. Menara-menara hunian runtuh menimpa penghuninya, dan kita tidak punya mesin, tidak ada bahan bakar, dan tidak cukup personel untuk menggali reruntuhan,” ujarnya.
Tanpa peralatan, keluarga harus menanggung sendiri tugas yang mustahil itu. Mereka menggunakan peralatan rumah tangga, atau bahkan tangan mereka sendiri, untuk mencari orang-orang terkasih.
Bassal menjelaskan bahwa di banyak daerah, para penyintas menandai puing-puing dengan nama keluarga dan jumlah orang hilang di dalamnya, berharap suatu hari seseorang akan kembali untuk mengambilnya.
“Ketika jenazah akhirnya ditemukan,” ujarnya, “seringkali jenazah tersebut tidak dapat dikenali lagi. Keluarga mengenali kerabat mereka melalui jam tangan, cincin, atau pakaian yang familiar. Terkadang, berdasarkan tempat mereka biasa tidur.”
Sejak bulan-bulan awal perang Israel, otoritas Palestina dan kelompok kemanusiaan telah berulang kali meminta Israel untuk mengizinkan masuknya alat berat guna membantu membersihkan puing-puing. Tanggapan Israel konsisten, yaitu penolakan, dengan alasan “kekhawatiran keamanan” dan kekhawatiran peralatan tersebut dapat “dialihkan untuk keperluan militer.”
“Membawa alat berat ke Gaza akan mengubah segalanya,” kata Bassal. “Ini bukan kemewahan, ini kebutuhan kemanusiaan. Setiap hari, keluarga-keluarga menunggu di samping reruntuhan, berharap menemukan jenazah seorang anak.”
Di antara mereka yang menunggu adalah Youssef Abu Nasser, yang setiap hari duduk di tengah reruntuhan rumahnya di kamp pengungsi al-Nuseirat. Tujuh bulan lalu, bangunan itu runtuh akibat serangan Israel, menewaskan istri dan tiga anaknya.
“Setiap pagi, saya datang ke sini dan mulai menggali dengan tangan saya. Terkadang saya berhenti ketika terlalu lelah atau ketika tembok runtuh lagi. Keluarga saya masih di sini, di bawah reruntuhan ini,” ujarnya kepada TNA .
Tim pertahanan sipil pernah mengunjunginya. “Mereka bilang saya butuh ekskavator besar, tapi mereka tidak punya. Mereka pergi, dan saya tetap tinggal,” kata Abu Nasser.
Di Deir al-Balah, Sara Saleh telah mengamati sisa-sisa rumah saudaranya selama hampir 18 bulan. “Ketika rumah Ayman dibom, 65 kerabat saya tewas,” ujarnya. “Kami hanya menemukan tujuh jenazah. Sisanya masih tertimbun reruntuhan.”
“Mereka seharusnya membantu kami menemukan jasad anak-anak kami, bukan mengirim buldoser untuk mencari mereka yang pernah mengebom kami,” tambahnya.
Bagi keluarga-keluarga ini, belas kasih dunia yang selektif memperdalam duka mereka. Setiap hari tanpa tindakan terasa seperti penyangkalan terhadap kemanusiaan orang-orang yang mereka cintai.
Analis politik yang berbasis di Gaza, Ahed Ferwana, mengatakan situasi ini mencerminkan standar ganda yang menjijikkan dalam menangani krisis kemanusiaan. “Ketika tahanan Israel hilang, delegasi internasional bergegas untuk menengahi. Koridor aman terbuka. Media bergerak. Namun ketika sepuluh ribu warga Palestina hilang di bawah reruntuhan, dunia tetap diam, seolah nyawa mereka tak berharga,” ujarnya.
Ia berpendapat bahwa lembaga-lembaga global telah merendahkan martabat warga Palestina, memperlakukan mereka sebagai “korban kolektif” dan bukannya sebagai individu-individu yang memiliki nama dan kisah. “Ini bukan sekadar kemunafikan,” ujarnya, “ini adalah rasisme struktural yang tertanam dalam tatanan politik global.”
Politik di Balik Mayat-mayat Tersebut
Dari Ramallah, analis Esmat Mansour menawarkan perspektif yang berbeda. Ia mengatakan kepada TNA bahwa perjanjian gencatan senjata jelas mewajibkan kedua belah pihak untuk menyerahkan semua jenazah dan orang hilang sebelum melanjutkan ke tahap kedua perundingan, yang akan membahas rekonstruksi Gaza pencabutan blokade, dan pertukaran tahanan yang lebih luas.
“Fase saat ini tidak akan dianggap selesai sampai jenazah dikembalikan. Ini merupakan langkah penting sebelum kemajuan dapat dicapai pada isu lainnya,” ujarnya.
Namun Mansour yakin Israel sengaja mengulur waktu. “Sejak gencatan senjata dimulai, Israel telah menunda penyerahan informasi tentang orang-orang yang hilang, menggunakan isu tersebut sebagai dalih untuk memperlambat masuknya bantuan dan memblokir penyeberangan. Israel ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka masih memiliki pengaruh atas Hamas.”
Baginya, pendekatan Israel bersifat politis, bukan kemanusiaan. “Netanyahu ingin terlihat kuat,” ujarnya, “tetapi kenyataannya, taktik ini hanya memperpanjang penderitaan Gaza. Ia menggunakan sisa-sisa reruntuhan sebagai alat tawar-menawar untuk menunda rekonstruksi dan mempertahankan kondisi ketidakpastian, bukan perang maupun perdamaian.”
Mansour menambahkan bahwa bagi Palestina, penyerahan sisa-sisa jenazah Israel bukanlah sebuah konsesi tetapi sebuah kebutuhan strategis. “Mengambil dan mengembalikan jenazah bukanlah tindakan niat baik terhadap Israel,” ujarnya. “Itu adalah cara untuk menyingkirkan alasan terakhir Netanyahu untuk menghalangi perjanjian dan untuk mendorong masa depan Gaza yang lebih stabil.”
