Para peneliti menyatakan bahwa hasil survey ini bisa jadi merupakan efek dari kehadiran Presiden Halimah Yacob yang menghilangkan prasangka bahwa seorang Melayu tidak cocok untuk jabatan tertinggi di negeri ini.
JERNIH – Warga Singapura menjadi lebih terbuka terhadap gagasan untuk memilih pemimpin tertinggi non-China, berdasarkan survei yang dilakukan oleh CNA dan Institute of Policy Studies (IPS).
Dalam edisi kedua survei CNA-IPS tentang hubungan ras, yang dilakukan tahun lalu, sebagian besar responden mengatakan mereka dapat menerima orang Singapura-Melayu (69,6 persen) atau Singapura-India (70,5 persen) sebagai yang perdana menteri.
Para peneliti mengatakan angka tersebut mengalami peningkatan yang signifikan dari studi sebelumnya pada 2016, di mana 60,8 persen mengatakan mereka nyaman dengan seorang Melayu menjadi perdana menteri dan 64,3 persen jika orang India menjadi perdana menteri.
Hampir semua responden, atau 96,8 persen, dapat menerima seorang Singapura-Cina sebagai perdana menteri, sedikit lebih tinggi dari 95,6 persen pada 2016.
Peneliti juga menemukan bahwa responden dari tiga ras utama menunjukkan preferensi tertinggi untuk seseorang dari ras mereka sendiri sebagai perdana menteri.
Di antara responden Cina, hampir semua mengatakan mereka nyaman dengan orang Singapura-Cina sebagai perdana menteri (98,9 persen), sementara 63,9 persen mengatakan mereka akan menerima perdana menteri Melayu dan 65,8 persen orang India.
Relatif, 92,6 persen responden Melayu mengatakan mereka akan menerima perdana menteri Singapura-Melayu, tetapi 87,5 persen akan merasa nyaman dengan yang Cina dan 80,4 persen dengan yang India.
Di antara responden India, 91,9 persen akan menerima orang Singapura-India sebagai perdana menteri tetapi 90,3 persen akan merasa nyaman dengan yang Cina dan 80,8 persen dengan yang Melayu.
Untuk sosok presiden, persentase responden yang mengatakan mereka bisa menerima non-Cina juga meningkat. Sekitar 82,2 persen mengatakan mereka merasa nyaman dengan orang Singapura-Melayu sebagai presiden, melonjak dari 65,5 persen dalam penelitian sebelumnya, dan 82 persen dapat menerima orang Singapura-India atau naik dari 70,6 persen pada 2016.
Dalam laporan setebal 255 halaman itu, para peneliti menyatakan bahwa kenaikan yang lebih besar bisa jadi merupakan efek dari kehadiran Presiden Halimah Yacob, yang juga orang Melayu, menghilangkan prasangka sebelumnya bahwa seorang Melayu tidak cocok untuk jabatan tertinggi di negeri ini.
Namun, sebagian besar responden “sangat tidak nyaman” dengan gagasan warga baru dari negara mana pun mengambil peran ini. Hanya kurang dari 10 persen yang mengatakan bahwa mereka akan merasa nyaman dengan warga negara baru sebagai presiden atau perdana menteri.
Survei tersebut mengumpulkan tanggapan dari lebih dari 2.000 warga dan penduduk tetap berusia 21 tahun ke atas, dengan sampel yang mencerminkan populasi Singapura dalam hal usia, ras, jenis kelamin, dan tipe perumahan mereka. Ada 350 atau lebih responden Melayu dan India yang disurvei sehingga pandangan mereka terwakili dengan baik. [CNA]