Site icon Jernih.co

Tumbal Vaksin

Seharusnya, uji coba itu terlebih dulu dilakukan pada hewan. Namun melalui tangan Mochtar, Jepang malah memilih menyuntikkannya pada manusia dan berujung pada kegagalan.

JENRIH- Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, boleh saja berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler, setelah dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional. Namun jangan lupakan nama Achmad Mochtar yang punya peran besar pada lembaga ini, hingga dia jadi kambing hitam kejahatan perang.

Nama Mochtar, mungkin agak sulit dan kurang populer dalam catatan sesjara. Namun bagi ilmu pengetahuan di Tanah Air, dia merupakan Ilmuwan sekaligus dokter pribumi pertama yang menempati jabatan tinggi.

Mochtar lahir pad 10 November 1890, di Bonjol. Pa 1915, dia mendapat gelar Dokter Hindia dari Stovia, sekolah dokter zaman pendudukan Belanda. Otaknya cukup encer hingga dia mendapat kesempatan melanjutkan sutdi ke Universitara Amsterdam, Belanda.

Dalam persiapan disertasi doktoralnya, dia memilih fokus pada laboratorium. Kemudian, lulus pada 1927 setelah mematahkan hipotesis Noguchi, ahli bakteriologi Jepang tentang leptospira sebagai pemicu penyakit kuninig.

Mochtar memang bukan orang pertama yang memilih berkiprah di dunia kedokteran sekembalinya ke Tanah Air. Pada 1937, dia bergabung dengan Laboratorium Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat atau Geneeskunding Laboratorium. Satu tahun berikutnya, badan ini kemudian berganti nama menjadi Lembaga Eijkman.

Di tahun 1942, Mochtar ditunjuk guna menempati pucuk pimpinan Lembaga Eijkman menggantikan W.K Matens yang waktu itu tewas lantaran sakit beri-bero dalam penyekapan militer Jepang. Hingga akhirnya, jabatan tersebut menjadikan Mochtar sebagai orang Indonesia pertama yang duduk di leel tertinggi Eijkman.

Berdasar arsip kompas tahun 2015, ketika sebanyak 900 romusha atau pekerja paksa tewas tahun 1944 dengan gejala tetanus, Mochtar dikorbankan. Sebab, beberapa hari sebelumnya, Eijkman atas peritah Jepang, memberikan vaksin Tifus, Kolera dan Disentri.

Tentu saja, Kenpetai atau Polisi Jepang, menuduh Mochtar yang melakukan sabotase yakni, mengganti vaksin dengan kuman tetanus agar para romusha tewas. Pasca itu, Mochtar dan stafnya ditangkap kemudian dieksekusi mati.

Melihat rekan-rekannya disiksa bahkan dieksekusi mati, Mochtar lantas bernegosiasi dengan Jepang. Dia sepakat mengakui tuduhan sabotase agar para stafnya dibebasnkan, Dia pun dihukum pancung pada 3 Juli 1945.

Pada 2015, makam Mochtar diketemukan di daeral Evereld, Ancol, Jakarta Utara. Jurnal Science pada 2010 memuat penemuan dan dugaan pembunuhan Mochgtar.

Banyak yang menduga kalau Mochtar sengaja dikambinghitamkan untuk menutupi kejahatan perang Jepang. pada 1944 hingga 1945 situasi memanas, kekuasaan Jepang di Indonesia sudah diujung tanduk.

Tentara Jepang, harus menghadapi tentara sekutu plus perlawanan rakyat Indonesia sekaligus.

Jepang panik, mereka butuh banyak sekali vaksin sebab waktu itu, tetanus merupakan penyakit mematikan. Penulis Buku War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine, mendugam Jepang sendirilah yang bereksperimen terkait vaksin tetanus tersebut. Namun lataran tak mau ambil resiko, Mochtar-lah yang diperintahkan melakukan penyuntikan.

Seharusnya, uji coba itu terlebih dulu dilakukan pada hewan. Namun melalui tangan Mochtar, Jepang malah memilih menyuntikkannya pada manusia dan berujung pada kegagalan.

pada 2020, pemeritah Provinsi Sumatera Barat, membangun monumen Achmad Mochtar sekaligu penerbitan biografi berjudul Tumbal Vaksin Maut.[Kompas]

Exit mobile version