Jernih.co

Ambisi Besar Xiaomi Menjadi Raksasa Manufaktur Dunia

Dari sekadar perakit ponsel murah menjadi inovator otomotif dan pionir teknologi chip, transformasi Xiaomi mencerminkan ambisi besar China untuk berdiri sejajar—bahkan menyalip—para raksasa global.

JERNIH – Pabrik kendaraan listrik milik Xiaomi, produsen ponsel pintar terbesar di China, kini menjadi salah satu destinasi wisata teknologi di Beijing. Setiap harinya, penggemar setia Xiaomi—dikenal dengan sebutan mi fen—memadati area pabrik untuk menyaksikan kecanggihan lini produksi yang mampu merakit satu mobil hanya dalam 76 detik.

Tingginya animo membuat kunjungan harus dipesan jauh-jauh hari, bahkan tiket pada jam sibuk sering kali ditentukan melalui undian. Para pemandu wisata dengan bangga membandingkan pabrik ini dengan Tesla, menegaskan ambisi Xiaomi untuk menyaingi sekaligus melampaui pesaing Amerika tersebut melalui otomatisasi penuh dan penguasaan komponen inti kendaraan listrik (EV).

Dari “Millet” ke Raksasa Teknologi

Didirikan pada tahun 2010, Xiaomi awalnya hanya dikenal sebagai perusahaan perakit dengan jaringan pemasok yang luas. Nama “Xiaomi”—berarti “millet” dalam bahasa Mandarin—menggambarkan kesederhanaan awal, dengan pendirinya Lei Jun menyebut filosofi “millet plus senapan,” terinspirasi dari keterbatasan sumber daya Partai Komunis di era perang saudara.

Namun, hanya dalam tiga tahun, Xiaomi melejit menjadi vendor ponsel terbesar ketiga di dunia. Perusahaan memperluas lini produknya ke berbagai perangkat rumah tangga, dari penanak nasi hingga penyedot debu robotik. Meski sukses, kritik terus muncul: Xiaomi dianggap terlalu bergantung pada pemasok dan minim teknologi inti.

Lei Jun tak tinggal diam. Ia bertekad menghapus stigma “bengkel perakitan” dengan membangun fasilitas manufaktur sendiri dan menghadirkan produk premium.

Langkah besar dimulai pada 2020, saat Xiaomi membuka pabrik senilai RMB600 juta di pinggiran Beijing untuk memproduksi ponsel lipat pertama dalam jumlah terbatas. Pada awal 2024, perusahaan memindahkan produksi ponsel premiumnya ke fasilitas internal.

Hasilnya nyata: pengiriman ponsel premium Xiaomi melonjak 81 persen dalam satu tahun, jauh di atas pertumbuhan pasar global yang hanya 3 persen.

“Pabrik canggih adalah simbol nyata dari sebuah merek teknologi premium,” ujar Xiaomi.

Dari Smartphone ke Mobil Pintar

Kesuksesan strategi manufaktur kemudian dibawa ke dunia otomotif. Hanya butuh tiga tahun sejak Xiaomi mengumumkan ambisinya hingga meluncurkan Speed Ultra 7 (SU7) pada Maret 2024. Sedan sport ini langsung menjadi salah satu mobil terlaris di China, hanya kalah dari Tesla Model Y.

Tak berhenti di situ, YU7, SUV terbaru Xiaomi yang dirancang untuk menantang Tesla Model Y, mencetak rekor 200.000 unit pre-order dalam waktu tiga menit saat peluncuran. “Sebuah keajaiban,” ujar Lei Jun dengan bangga, sembari menyebut dirinya “Direktur Pabrik Lei” dalam unggahan media sosial.

Kesuksesan ini mendongkrak saham Xiaomi hampir 200 persen dalam setahun terakhir.

Obsesi Lei Jun pada Produksi

Lei kini menjadikan manufaktur sebagai inti strategi pertumbuhan Xiaomi. Perusahaan tengah membangun tahap kedua pabrik kendaraan listrik yang akan menggandakan kapasitas produksi hingga 350.000 unit per tahun. Selain itu, sebuah pabrik pendingin udara baru juga sedang dikerjakan di Wuhan.

Langkah ini sejalan dengan seruan pemerintah China agar perusahaan domestik menciptakan “kekuatan produksi baru yang berkualitas.” Media resmi Partai Komunis, People’s Daily, bahkan membandingkan pencapaian Xiaomi dengan perjuangan insinyur China di tahun 1950-an, yang harus membongkar baja impor untuk menemukan suku cadang mobil.

Tak hanya di otomotif, Xiaomi juga mengikuti jejak Apple dengan mengembangkan chip sendiri. Awal tahun ini, perusahaan memperkenalkan Xring O1, sistem pada chip berbasis proses 3 nanometer yang diproduksi oleh TSMC. Chip ini mendukung ponsel dan tablet terbaru Xiaomi, sekaligus menempatkan perusahaan di jajaran elite bersama Apple, Samsung, dan Huawei.

“Chip yang dirancang sendiri memungkinkan ekosistem produk yang lebih terintegrasi,” kata Ivan Lam dari Counterpoint Research, meski ia mengingatkan adanya risiko sanksi AS.

Xiaomi berencana menginvestasikan setidaknya RMB50 miliar dalam satu dekade untuk pengembangan chip, ditambah RMB200 miliar lainnya dalam lima tahun untuk teknologi “hardcore” seperti sistem operasi dan kecerdasan buatan.

Menurut Presiden Xiaomi, Lu Weibing, kemampuan memproduksi chip internal akan menjadi pembeda besar, “Di masa depan, hanya akan ada dua jenis perusahaan: yang mengembangkan chip sendiri, dan yang tidak. Akan muncul kesenjangan generasi dalam daya saing inti di antara mereka.” (*)

BACA JUGA: Raksasa Smartphone Xiaomi Luncurkan Mobil Listrik Pertamanya

Exit mobile version