Jakarta – Hoaks alias berita bohong tentang Covid-19 di Tanah Air makin subur. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat ada 1.028 hoaks atau berita bohong terkait virus mematikan ini hingga 8 Agustus 2020.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo) menyebut bahwa ada sebanyak 1.028 hoaks atau berita bohong terkait virus corona (COVID-19) hingga 8 Agustus 2020.
“Ditemukan 1.028 hoaks di Indonesia terkait COVID-19 hingga 8 Agustus. Bulan Maret adalah waktu dimana hoaks paling banyak ditemukan, menyusul mulai ramainya pemberitaan kasus COVID-19,” kata Widodo Muktiyo Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo) melalui siaran virtual bertajuk ‘Budaya Baru, Agar Pandemi Berlalu’, kemarin.
Kementerian Kominfo, lanjut Widodo telah menyikapi hal itu dengan berupaya mencegah dampak buruk dari melimpahnya pemberitaan seputar pandemi yang memunculkan kecemasan, frustasi, kecenderungan memunculkan sensasi, ketakutan tanpa landas, dan kecenderungan disinformasi.
“Salah satunya adalah dengan melakukan take down (berita hoaks), agar masyarakat mendapatkan informasi yang clear dan terus tetap bisa menaati protokol kesehatan,” kata Widodo yang juga merupakan Ketua Dewan Pengawas LKBN ANTARA.
Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa pengontrolan hoaks di internet sendiri juga memerlukan partisipasi masyarakat, terlepas dari adanya tim Kominfo yang juga melakukan monitoring pengelolaan data dan informasi, khususnya di sosial media.
Menurutnya, di era keterbukaan ini, semua orang bisa bersuara, namun tentu harus dibarengi dengan tanggung jawab untuk membuktikan bahwa informasi yang disebarkan itu valid.
“Jika data bisa dibuktikan, tentu bisa di-sounding-kan (disuarakan). Di era keterbukaan ini, perlu adanya validasi datanya, bukan hoaks atau adu domba, dan ini perlu dengan adanya umpan balik dari masyarakat,” kata Widodo.
Lebih lanjut, dia mendorong masyarakat untuk bijak bermedia sosial, khususnya penyebaran ‘pesan berantai’ di aplikasi WhatsApp. “Masyarakat diharapkan bisa self regulation di grup WhatsApp yang mereka gabung. Kalau memang masyarakat bergabung dan ada sesuatu yang tidak logis, janggal, dan minta sebarkan, itu harus kita bersihkan,” ujar Widodo.
“Masyarakat secara partisipasif untuk memberikan ‘sapu’ untuk membersihkan pesan-pesan dengan bahasa provokatif, mengolok-olok, dan adanya sisi narasi yang dimainkan,” katanya. [*]