“Cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaianmu dan gantilah dengan cawat bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap yang menampar kepalaku…
JERNIH– Abu Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya.”
“Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apa pun yang telah kulakukan, hanya karena kemaha kuasaan-Nya. Apa pun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.”
“Hiasilah diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta mata, bukan diriku ini. Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “Temuilah hamba-hamba-Ku itu.”
“Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama. Aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.”
“Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku, bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?”
“Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah SAW. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad Rasulullah SAW. “
Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?”
Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad SAW. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.”
“Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad Rasululah SAW. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad Rasulullah SAW.”
“Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata,”Aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak beliau SAW.”
**
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja di antara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”
Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian, sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik?” Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya”.
**
Ada seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai banyak pengikut dan pengagum. Tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran yang diberikan Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “Pada hari ini genap tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.”
“Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikit pun dari ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati,” kata Abu Yazid.
“Mengapa demikian?”tanya pertapa itu.
“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang harus kulakukan?”tanya pertapa.
“Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya,”jawab Abu Yazid.
“Akan kuterima. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan.” “Baiklah,”jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku. Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat di mana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.”
“Maha besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah!” ujar Sang Pertapa setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Mengapa begitu?” tanya Pertapa.
“Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah?”
“Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain,” kata Pertapa, keberatan.
“Hanya itu yang dapat kusarankan,”Abu Yazid menegaskan.
“Aku tak sanggup melaksanakannya,” Si Pertapa mengulangi kata-katanya.
“Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku,” kata Abu Yazid.
**
“Engkau dapat berjalan di atas air,” orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu,”jawab Abu Yazid.
“Engkau dapat terbang di angkasa”.
“Seekor burung dapat melakukan itu.”
“Engkau dapat pergi ke Kakbah dalam satu malam.”
”Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian, apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?” tanya mereka kepada Abu Yazid.
Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah SWT.”
**
Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur murid yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya,”Anakku, siapakah namamu?”
Suatu ketika murid tersebut berkata pada Abu Yazid,” Guru, apakah engkau memper-olok-olokkanku? Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi setiap hari engkau menanyakan namaku.”
“Anakku,” Abu Yazid menjawab,”Aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku.”
**
Abu Yazid bercerita,”Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah syeikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku pun bangkit dan berangkat ke Khurazan.”
“Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari keempat kulihat seseorang bermata satu dengan menunggang seekor unta datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya.”
“Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti. Unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ini engkau memanggilku,” katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”
“Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Darimanakah engkau datang?”
“Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”Berhati-hatilah Abu Yazid! Jagalah hatimu!”
Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.
**
Menurut Abu Yazid, ajaran tentang fana, baqa dan Ittihad merupakan tiga aspek dari pengalaman spritual yang terjadi setelah tingkat tertinggi yang dicapai oleh seorang sufi, yaitu Makrifat (mengenal Allah).
Yang dimaksud dengan Fana ialah lenyapnya kesadaran tentang alam, termasuk tentang diri sendiri. Kemanapun ia menghadap, yang ada di mata hatinya hanyalah Allah. Hanya yang berada dalam kesadaran. Selain Allah lenyap dari kesadaran. Karena Fana itulah, terjadilah Baqa, kesadaran tentang selain Allah Fana atau sirna, lenyap, tetapi kesadaran tentang Allah menjadi Baqa alias abadi, terus berlangsung. Sedangkan Ittihad ialah keadaan ketika seorang sufi tenggelam dalam lautan sifat-sifat ketuhanan.
Meski begitu ajaran tasawufnya sangat memperhatikan syariat dan keteladanan Rasulullah SAW. Hal itu tampak misalnya ketika ia menyampaikan salah satu nasehatnya. “Kalau engkau lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat seperti duduk bersila di udara, janganlah terpedaya olehnya. Perhatikan apakah ia melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan menjaga batas-batas syariat.”
Dengarkan pula komentarnya ketika ia menyaksikan orang yang meludah ke arah kiblat di masjid (yang berarti melanggar sunah Rasul), padahal ia dikenal sebagai zahid, yaitu orang yang lebih mementingkan kehidupan akherat. Katanya, “Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab Rasulullah. Kalau ia berbuat seperti itu, bagaimana dakwahnya dapat dipercaya?” Abu Yazid memang mengutamakan akhlak, yang niscaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan rohaniah seseorang.
Ketika ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang terbaik bagi manusia dalam kehidupan ini?”
“Watak qana’ah,” jawabnya.
“Kalau itu tidak ada?”
“Tubuh yang kuat.”
“Dan kalau itu pun tidak ada?”
“Telinga yang penuh perhatian.”
“Dan tanpa itu?”
“Hati yang mengetahui.”
“Dan tanpa itu?”
“Mata yang melihat.”
“Dan tanpa itu?”
“Kematian mendadak.”
**
Abu Yazid membutuhkan waktu 12 tahun penuh untuk tiba di Mekkah. Itu karena di setiap tempat ibadah yang ia lalui, ia selalu membentangkan sajadahnya untuk mendirikan shalat sunnah dua rakaat.
Akhirnya ia sampai di Ka’bah. Tapi tahun itu ia tidak pergi ke Madinah. “Tidaklah pantas menjadikan kunjungan ke Madinah sebagai sekedar bagian dari kunjunganku kali ini,” Ia menjelaskan. “Aku akan mengenakan pakaian haji tersendiri, bukan yang kupakai saat ini, untuk kunjunganku ke Madinah.”
Tahun berikutnya ia kembali mengenakan pakaian haji tersendiri. Di suatu kota ia berpapasan dengan sekelompok besar orang yang kemudian menjadi muridnya. Ketika ia pergi, orang-orang itu mengikutinya.
“Siapa mereka?” tanyanya sambil menengok ke belakang.
Terdengar jawaban, “Mereka ingin menemanimu.”
“Ya Allah,” pekik Abu Yazid. “Aku mohon pada-Mu, jangan jadikan aku selubung antara para hamba-Mu dan diri-Mu.”
Lalu, dengan tujuan menghapus kecintaan orang-orang itu padanya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang di jalan mereka menuju Allah, Abu Yazid pun memikirkan sesuatu. Setelah shalat subuh, Abu Yazid memandang mereka dan berkata. “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”
“Dia sudah gila!” pekik orang-orang itu, dan mereka pun pergi meninggalkan Abu Yazid.
Abu Yazid meneruskan perjalanan, dan ia menemukan tendkorak yang bertuliskan: “Tuli, Bisu, dan Buta, maka mereka tidak mengerti.”
Ia memungut tengkorak itu, sambil menangis ia menciuminya. “Tampaknya ini kepala seseorang yang dibinasakan Allah, karena ia tidak memiliki telinga untuk mendengar suara abadi, tidak memiliki mata untuk melihat keindahan abadi, tidak memiliki lidah untuk mengagungkan kebesaran Allah, tidak memiliki akal untuk memahami sedikit saja pengetahuan hakekat Allah. Ayat ini berbicara tentangnya.” [ ]