“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad SAW, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu,”jawab Abu Yazid.
JERNIH– Setelah Abu Yazid Al-Busthami mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan orang, ia pun berangkat menuju Bustham.
Berita kedatangan Abu Yazid segera tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuatnya terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Karena itu ketika penduduk kota telah hampir sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu berpaling darinya.
“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada sahabat-sahabatnya, “Betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.”
Dengan sabar Abu Yazid menunggu sampai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu shalat.
“Ya Allah, peliharalah dia yang terbuang,”terdengar ibunya berdoa. “Cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis. Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam.
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur.
“Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini? Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”
**
Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid Al-Busthami,“Apa menurutmu mengenai seseorang yang biasa mereguk secawan arak dan mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang ku ketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk samudera luas yang tiada bertepi, namun masih merasa haus dan dahaga.”
Yahya bin Mu’adz menyurati lagi, “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.”
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan,” Anda harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zamzam.”
Di dalam jawabannya, Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya bin Mu’adz itu. “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba. Tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.”
Karena itulah Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu shalat ‘Isa. Yahya bin Mu’adz berkisah sebagai berikut :
“Aku tidak mau mengganggu Syeikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti yang dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang shalat Isa.”
“Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di dalam doanya : “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.”
Setelah sadar , Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab,“Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.”
“Guru mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di Antara Sekalian Raja dan pernah berkata,”Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?”
“Diamlah,” Abu Yazid menyela. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku? Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”
“Demi keagungan Allah,”kata Yahya memohon,“Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad SAW, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu,”jawab Abu Yazid. “Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itu yang akan membutakan matamu.”
**
Abu Yazid berkata,“Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Kulemparkan diriku sendiri ke dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian kutaruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu kupukul dengan martil pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah kutempa sebuah cermin diriku sendiri, dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian dan kepatuhan kepada Allah.”
“Setelah itu setahun lamanya aku menatapi bayanganku sendiri di dalam cermin itu, dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh orang-orang kafir. Hal itu karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku dan memuji perbuatan-perbuatanku tersebut.”
“Lima tahun lamanya aku bersusah payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang Muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa mereka semua mati. Empat kali kuucapkan “Allahu Akbar” di atas jasad-jasad mereka, dan setelah dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa menyeretnyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.”
**
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan ke Hijaz, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi.
“Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan,”jawab Abu Yazid, “Terlihatlah olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata,“Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumahnya.”
**
Abu Yazid mengisahkan,”Di tengah jalan aku bertemu dengan seorang lelaki. Ia bertanya kepadaku,”Hendak kemanakah engkau?”
“Ke Tanah Suci” jawabku.
“Berapa banyakkah uang yang engkau bawa?”
“Dua ratus dirham.”
“Berikanlah uang itu kepadaku,” lelaki itu mendesak. “Aku adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah diriku sebanyak tujuh kali, maka selesailah ibadah hajimu itu.”
Aku menuruti kata-katanya kemudian kembali ke rumah.
**
Pir Umar meriwayatkan bahwa apabila Abu Yazid Al-Busthami ingin menyendiri, baik untuk beribadah maupun utuk menerungi Allah, ia akan masuk ke dalam kamarnya dan dengan cermat menutupi setiap celah dan lobang di dinding kamar itu.
Mengenai tingkah lakunya ini Abu Yazid menjelaskan,”Aku kuatir kalau ada suara atau kebisingan yang akan mengganggu.”
Sudah pasti yang dikatakannya itu hanya sebuah dalih semata-mata.
**
Isa al-Busthami meriwayatkan,”Selama 13 tahun bergaul dengan Syeikh Abu Yazid Al-Busthami, tak pernah terdengar olehku ia mengucapkan sepatah kata pun. Demi-kianlah kebiasaannya, senantiasa menekurkan kepala ke atas kedua lututnya, kadang menengadahkan, mengeluh dan kembali ke dalam perenungannya.
Mengenai hal ini Sahlagi mengomentari, memang demikianlah tingkah laku Abu Yazid apabila berada dalam keadaan “gundah”. Tetapi apabila berada dalam keadaan “lapang” setiap orang akan mendapatkan manfaat dari ceramah-ceramahnya.
“Pada suatu ketika,”Sahlagi bercerita,“Ketika Abu Yazid sedang berkhalwat, terdengarlah ia mengucapkan kata-kata,” Maha besar aku, betapa mulia diriku ini.” Ketika ia sadar, murid-muridnya menyampaikan kata-kata yang diucapkan lidahnya tadi kepadanya. Maka, Abu Yazid menjawab, “Memusuhi Allah adalah sama dengan memusuhi Abu Yazid. Jika aku mengucapkan kata-kata seperti itu sekali lagi, cincanglah tubuhku ini.”
Kemudian kepada setiap muridnya diberikannya sebuah pisau dengan pesan,“Jika kata-kata tadi kuucapkan lagi, bunuhlah aku dengan pisau ini.”
“Tetapi tak nyana, untuk kedua kalinya Abu Yazid mengucapkan kata-kata yang sama. Murid-muridnya hendak membunuhnya. Tetapi seketika itu juga tubuh Abu Yazid menggelembung dan memenuhi seluruh ruangan. Para sahabat melepaskan bata-bata dari dinding ruangan itu sambil menghujamkan pisau ke tubuh Abu Yazid. Tetapi pisau-pisau itu bagai menikam air dan pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak berakibat apa-apa. Beberapa saat kemudian tubuh yang menggelembung tadi menciut kembali dan terlihatlah Abu Yazid yang bertubuh kecil seperti seekor burung pipit sedang duduk di sajadah. Sahabat-sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang telah terjadi.”
“Abu Yazid berkata,”Yang kalian saksikan sekarang inilah Abu Yazid, yang tadi bukan Abu Yazid.”
**
Suatu ketika Abu Yazid memegang sebuah apel merah di tangannya dan memandanginya. “Satu buah apel yang indah,” kata Abu Yazid. Di saat itu juga sebuah suara berkata di dalam batinnya,”Abu Yazid, tidakkah engkau mempunyai malu untuk memberikan nama-Ku kepada sebuah apel?”
Maka empat puluh hari lamanya lupalah Abu Yazid akan segala sesuatu kecuali nama Allah.
“Aku telah bersumpah,”kata Abu Yazid,”Aku tidak akan memakan buah-buahan dari Bustham selama hidupku.”
**
Wali sufi Dzun Nun Al-Mishri mengirimkan sebuah sajadah kepada Abu Yazid. Tetapi Abu Yazid mengembalikannya sambil berpesan,“Apakah perluku dengan sebuah sajadah?” Kirimkanlah sebuah bantal sebagai tempatku bersandar!” Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan bahwa ia telah berhasil mencapai tujuan.
Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah bantal yang empuk. Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid karena pada saat itu ia telah bertaubat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Mengenai perbuatannya ini Abu Yazid mengatakan,“Manusia yang berbantalkan karunia dan kasih Allah tidak membutuhkan bantal dari salah seorang di antara hamba-Nya.”
**
Abu Yazid berkisah,”Suatu ketika aku bermalam di padang pasir. Kututupi kepalaku dengan pakaian dan aku pun tertidur. Tanpa disangka-sangka aku mengalami sesuatu (yang dimaksudkan adalah mimpi berahi) sehingga aku harus mandi. Tetapi malam itu terlampau dingin, dan ketika terjaga aku merasa enggan sekali untuk bersuci dengan air dingin. “Tunggulah sampai matahari tinggi,”batinku berkata.”
“Setelah menyadari betapa diriku enggan dan tidak mempedulikan kewajiban-kewajiban agama, aku segera bangkit. Kulumerkan salju dengan jubahku lalu aku mandi. Jubah yang basah itu kukenakan kembali sehingga aku jatuh pingsan kedinginan. Beberapa saat kemudian aku siuman, ternyata jubahku telah kering.”
**
Abu Yazid sering berjalan-jalan ke pekuburan. Pada suatu malam ketika ia pulang dari pekuburan itu ia berpapasan dengan seorang pemuda bangsawan yang memainkan sebuah kecapi.
“Semoga Allah melindungi kita!” seru Abu Yazid.
Mendengar seruan itu si pemuda menyerang Abu Yazid dan memukulkan kecapi itu ke kepala Abu Yazid sehingga berdarah. Kecapi itu sendiri pecah. Ternyata si pemuda dalam keadaan mabuk dan tidak menyadari siapakah yang diserangnya itu.
Abu Yazid terus pulang dan ketika hari telah siang, dipanggilnyalah salah seorang di antara murid-muridnya.
“Berapakah harga sebuah kecapi?”tanya Abu Yazid.
Si murid memberitahu harganya. Dengan secarik kain dibungkusnya uang seharga kecapi ditambah dengan makanan yang manis-manis, lalu dikirimkannya kepada si pemuda.
“Sampaikan kepada si pemuda itu bahwa Abu Yazid meminta maaf kepadanya. Katakan kepadanya bahwa tadi malam ia menyerang Abu Yazid dengan kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai gantinya terimalah uang ini dan belilah kecapi yang baru. Sedangkan makanan-makanan yang manis ini adalah untuk menawarkan kedukaan hatimu karena kecapi milikmu itu telah pecah.”
Ketika si pemuda bangsawan itu menyadari perbuatan yang telah dilakukannya, ia pun mendatangi Abu Yazid untuk memohon maaf. Ia bertaubat. Begitu pula banyak pemuda-pemuda lain yang menyertainya.
**
Setelah pertemuan dengan seekor anjing yang menasihati dirinya, Abu Yazid Al-Busthami merenung dalam kekecewaan.
“Aku tidak pantas berjalan bersama seekor anjing, bagaimana aku dapat berjalan bersama Dia Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuanya.”
Kemudian Abu Yazid meneruskan kisahnya: “Aku sangat berduka, bagaimana aku dapat menjadi hamba Allah yang patuh? Aku berkata pada diriku sendiri : “Aku akan pergi ke pasar untuk membeli ikat pinggang (yang dikenakan oleh orang-orang bukan Muslim), dan ikat pinggang itu akan kupakai sehingga namaku menjadi hina di dalam pandangan orang!”
“Maka pergilah aku ke pasar hendak membeli ikat pinggang. Di dalam sebuah toko terlihat olehku ikat pinggang yang sedang terpajang. “Harganya paling-paling satu dirham,”kataku dalam hati.”
“Kemudian aku bertanya kepada pelayan toko itu,”Berapa harga ikat pinggang ini?” “Seribu dinar,”jawabnya. Aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Pada saat itu terdengar olehku sebuah seruan dari atas langit,“Tidak tahukah engkau bahwa dengan harga di bawah seribu dinar orang-orang tidak akan menjual sebuah sabuk untuk diikatkan ke pinggang seorang manusia seperti engkau?”
“Mendengar seruan itu hatiku bersorak girang karena tahulah aku bahwa Allah masih memperhatikan hamba-Nya ini.”
**
Suatu malam Abu Yazid bermimpi malaikat-malaikat dari langit pertama turun ke bumi. Kepada Abu Yazid mereka berseru : “Bangkitlah dan marilah berzikir kepada Allah!.”
Abu Yazid menjawab : “Aku tidak mempunyai lidah untuk berzikir kepada-Nya.”
Malaikat-malaikat dari langit yang kedua turun pula ke bumi. Mereka menyerukan kata-kata yang sama, dan Abu Yazid memberikan jawaban yang sama. Begitulah seterusnya sehingga malaikat –malaikat dari langit yang ke tujuh turun. Namun kepada mereka ini pun Abu Yazid memberikan jawaban yang itu-itu juga.
Maka malaikat-malaikat itu bertanya kepada Abu Yazid, “Kapankah engkau akan memiliki lidah untuk berzikir kepada Allah?”
“Apabila penduduk neraka telah tetap di neraka dan penduduk surga telah tetap di dalam surge, dan hari berbangkit telah lewat, maka Abu Yazid akan mengelilingi tahta Allah sambil berseru, “Allah! Allah!”
**
Di dekat rumah Abu Yazid tinggal seorang penganut Majusi atau Zoroaster. Ia mempunyai seorang anak yang selalu menangis karena rumah mereka gelap tidak berlampu. Abu Yazid sendiri membawakan sebuah pelita untuk mereka. Si anak segera reda dari tangisnya.
Keluarga Majusi itu berkata,”Karena cahaya Abu Yazid telah memasuki rumah ini, maka sangat disayangkan apabila kita tetap berada di dalam kegelapan.”
Mereka segera memeluk agama Islam. [ ]