Lelaki tua yang sederhana itu bernama Amandus Kaize. Ia adalah Kepala Suku Esam di Kampung Kaisa, Distrik Animha Merauke. Sebagaimana leluhurnya dulu, kepeduliannya terhadap alam dan lingkungan adalah tanggungjawabnya lahir batin. Gayung bersambut, Tahun 2004 pemerintah mengganjar kalpataru atas perjuangannya
Agustinus Mahuze, tokoh muda pelestari bahasa lokal Merauke, merasa perlu untuk mendengar kabar sang ketua adat dan belajar tentang prinsip. Di rumah sederhana Amandus, Agustinus mendengarkan suara hati Amandus. Dan pemerintah rupanya masih berhutang janji kepada tokoh Kaize ini.
Amandus Kaize telah menjaga hutan ulayat seluas 150.000 ha yang membentang dari muara hingga hulu Sungai Kumb di Kampung Kaiza Distrik Muting. Ia bersama komunitas Adat Kaize melakukan penanam kembali tumbuhan langka di hutan konservasi milik masyarakat adat. Tumbuhan tersebut diantaranya tanaman wati.
Wati merupakan sejenis sirih-sirihan Piper methysticum dari suku Piperaceae. Namun tampilannya berbeda dengan sirih, daunnya lebih lebar dan tumbuh tegak, tidak menjalar. Bagi masyarakat Merauke, tumbuhan ini simbol perdamaian karena cairan dalam batangnya bila diminum menimbulkan rasa tenang sehingga ketegangan akibat perselisihan menjadi hilang.
Hal itu disebabkan wati mengandung metistisin dan dihidrometistisin, dua zat yang bersifat menenangkan dan membuat otot jadi rileks bahkan bisa membuat orang tidur nyenyak. Selain itu, wati menjadi simbol status dan ekonomi yang hanya bisa dinikmati oleh tetua dan tokoh adat serta tamu kehormatan saja.
Amandus Kaize dan komunitas Adat Kaize juga melestarikan jenis tanaman puring dan berbagai jenis pohon untuk makanan burung. Ia juga menanam berbagai jenis sagu, pinang dan tumbuhan bernilai ekonomis. Untuk mengawasi hutan konservasi, Amandus berpartoli dengan perahu motor di sepanjang Sungai Kumb.
Kepeduliannya kepada alam tidak main main. Amandus membentuk kelompok jaga (Bevak) untuk mengawasi kegiatan pengelolaan hutan di wilayah adat Malind Ezam.Termasuk melakukan sosialisasi ke masyarakat adat mengenai pentingnya pelestarian hutan.
Hal urgen lainnya yang dikerjakan Amandus adalah menjaga kelestarian populasi burung Cendrawasih yang semakin berkurang karena perburuan liar. Untuk melestarikan Cendrawasih, Amandus menjaga hutan adat sebagai habitat Cendrawasih. Maka tak heran bila rekam jejak nyatanya itu berbuah kalpataru.
“Pengetahuah tentang alam saya dapat dari kepala suku dan ketrangan orang-orang tua. Saya catat dan gambar. Dan Saya, tidak menyangka akan mendapat kalpataru” Katanya kepada Agustinus.
Amandus melaporkan hasil kegiatannya. Ia menulis buku tentang nama-nama air, tanah, binatang dan tumbuhan. Kemudian buku itu ia perlihatkan kepada tim dari kantor kebudayaan Merauke yang datang ke kampung Kaisa untuk mendaftarkannya dalam seleksi penerima kalpataru.
“Saya berpikir bahwa dunia ini tidak akan lama bertahan karena pembangunan semakin maju dan alampun akan punah. Sehingga saya catat-catat.” Paparnya.
Di tingkat kabupaten, Amandus kemudian lolos bersama 22 orang lainnya, sampai kemudian mengerucut jadi 12 orang. Akhirnya ia menjadi satu-satunya orang yang mewakili Papua dan menjadi pringkat dua dalam katagori perintis. Singkat kisah, kiprahnya akhirnya mengantarkannya menerima kalpataru.
Dengan pakaian adat ia membawa martabat Merauke ke Istana Negara dan berjabat tangan dengan orang nomor satu Indonesia saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Waktu saya dapat kalpataru, presiden bilang jika Indonesia mau mengurangi pemanasan global, menurut para ahli, kita harus kembalikan tanaman khas daerah dari Sabang sampe Merauke.” Katanya, mengenang saat di Jakarta.
“Presiden juga bilang bahwa untuk mengembalikan tanaman-tanaman khas daerah harus memperhatikan pembiayaannya. Waktu itu presideng mengatakan : Khusus saudara Amandus Kaize merupakan tanggungjawab Pemda dan DPR. tolong dianggarkan pembiayaannya.” Ujarnya.
“Saya ketemu mentri Kaban M.Si, dia bilang kita wajib menanam satu miliar pohon untuk mengurangi pemanasan global. Tapi saya bertanya : kita yang disuruh tanam tidak dapat dana, tetapi yang menebang mendapat dana.”
Agustinus lantas menanyakan bagaimana perhatian pemerintah sejak Amandus mendapat kalpataru tahun 2007.
“Sejak tanggal 6 juni sampai hari ini saya belum dapat apa yang presiden katakan.” Jawabnya. Sesaat kemudian terdiam seolah meredam kekecewaan hatinya.
Amandus melanjutkan perkataannya “Anda lihat rumah yang saya tempati, saya sewa rumah diatas tanah Marind yang dikuasai orang lain. saya tidak bisa bilang [pemerintah] perhatian lagi kalau saya masih ditempat ini. Kecuali saya ditempat yang layak.”
“Kita mau menanam 1 miliar pohon, tapi berapakah dalam satu tahun Indonesia menebang pohon dari sabang sampai merauke? ” tanyanya.
Agustinus terdiam. Ia sebagai generasi muda yang bergelut dibidang pelestarian budaya dan lingkungan, merasa bahwa Amandus sebagai sepuh yang telah purna tugas karena usia dan layak hidup tenang, seolah melimpahkan tanggungjawabnya di pundaknya, untuk meneruskan perjuangannya.
“Saya sudah bikin permohonan, bahkan sampai bupati berganti tiga kali. Saya bicara apa yang saya dapat. Kalau uang cicilan rumah memang bupati bisa kasih. Tapi untuk menjawab sesuai dengan instruksi presiden, saya tidak pernah dapat sampai sekarang. Sudah 12 tahun.” Ujarnya.
Ketika Presiden Indonesia Joko Widodo berkunjung ke Merauke, Amandus bertemu dengannya. Ia pun menyampaikan laporan pertanggungjawaban dari kegiatannya melestarikan alam Merauke.
“Permohonan itu saya berikan langsung ke Jokowi sendiri di hotel. Dan sebagai laporan, ada buku tanda bukti pertanggungjawaban saya. Jokowi ambil langsung dari saya.” Ujarnya sambil memperlihatkan buku laporan kepada Agustinus.
“Tuh ada fotonya” sambung Amandus sambil menunjukan foto di dinding rumahnya, memperlihatkan dirinya sedang berdiri berdampiangan dengan Jokowi. Ada kebanggaan, harapan, juga ragu-ragu.
“Saya masih tunggu Jokowi punya jawaban. Selama dia jadi presiden apa yang diminta pasti dikasih. Kecuali jangan minta merdeka” imbuhnya.
Amandus Kaize mengabdikan nyaris seluruh hidupnya untuk melihat hal-hal yang hari ini luput dari penglihatan dan kesadaran manusia yang alpa, yaitu alam dan segala isinya. Namun pemerintah sebagai pemangku negara rupanya lupa menghargai jejak karyanya.
Tahun 2004, Amandus pernah berkeras untuk mengembalikan kalpataru kepada Presiden Bambang Yudoyono, karena waktu itu janji pemerintah untuk membantu memberikan ribuan bibit pohon waktu itu tidak pernah terlaksana.
Kekecewaan Amandus bukan semata-mata karena dirinya tidak dihargai. Namun dengan segala keterbatasannya, kini dia merasa khawatir bahwa apa yang sudah dikerjakannya, merawat dan menjaga tanah Malind akan sia-sia. Luas hutan Merauke semakin hari tampak semakin berkurang.
Daratan yang rimbun dan subur, kini menjadi tanah gahar nan tandus. Alam somber (teduh) sebagai rumah masyarakat Merauke, kini menggurita menjadi perkebunan kelapa sawit. Bukan mustahil tanah orang-orang Malind sebentar lagi akan hilang menjadi kenangan.
Diakhir perbincangan, ruang tamu sederhana itu terasa kian sempit dan menjepit. Amandus segera menyusut setitik air matanya. (Pandu Radea)