Site icon Jernih.co

“American Prometheus”, Buku Penuh Pengorbanan di Balik Sukses Film ‘Oppenheimer’

J Robert Oppenheimer, pada sekitar 1950-an. Foto: NYT

Sebuah buku yang ditulis dengan kesungguhan dan sekian banyak pengorbanan, sebelum meraih aneka sukses. Bayangkan bila buku itu diberi judul “Oppie”, sebagaimana judul awal yang diusulkan penulisnya.

JERNIH–Martin Sherwin bukanlah penulis recehan dengan gaya monoton yang membosankan. Ia tak hanya pribadi yang ramah, lucu, dengan perawakan atletis. Dalam profesinya pun Sherwin dikenal kreatif, gudang kata-kata di kepalanya penuh pepak, sesekali menulis dengan caranya yang mengejutkan dan menarik perhatian pembacanya.  

Tetapi pada akhir 1990-an, dia harus mengakui dirinya mandek. Sherwin, seorang profesor sejarah dan penulis satu buku sebelumnya, telah setuju untuk menulis biografi J. Robert Oppenheimer dalam skala penuh, dua dekade sebelumnya. Saat itu ia sampai pada titik tanya apakah dia akan pernah menyelesaikannya? Dia telah melakukan banyak penelitian — jumlah yang luar biasa, sebenarnya, mengumpulkan sekitar 50 ribu halaman wawancara, transkrip, surat, buku harian, dokumen terbuka, dan berkas-berkas FBI. Semua ia simpan dalam kotak-kotak yang berderet Panjang di ruang bawah tanah, loteng, dan kantornya. Tapi dia hampir tidak menulis sepatah kata pun.

Sherwin awalnya mencoba untuk menolak proyek tersebut, kata sang istri yang membuka fakta itu kepada editornya, Angus Cameron. Sherwin merasa dia tidak cukup berpengalaman untuk mengambil subjek penting seperti Oppenheimer, “Bapak Bom Atom”. Tapi Cameron, yang menerbitkan buku pertama Sherwin di Knopf—sebagaimana Oppenheimer yang telah menjadi korban McCarthyisme (penudingan sebagai agen Komunis)—berkeras tegas.

Jadi pada 13 Maret 1980 itu Sherwin menandatangani kontrak senilai 70 ribu dollar AS—saat ini sekitar Rp 1,05 miliar, yang mustahil jadi honor penulis di Indonesia–dengan Knopf untuk proyek tersebut. Dibayar setengah sebagai panjar, dia berharap bisa menyelesaikan buku itu dalam lima tahun. Faktanya, buku itu membutuhkan waktu 25 tahun penulisan, dan Sherwin tidak melakukannya sendirian.

Ketika film Christopher Nolan “Oppenheimer” dirilis pada 21 Juli, praktis hal itu membuatnya menjadi kali pertama bagi banyak anak muda Amerika menemukan kisah J. Robert Oppenheimer. Tetapi sebelum 21 Juli lalu, buku setebal 721 halaman itu pun merupakan pemenang Hadiah Pulitzer, berjudul “American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer” ditulis bersama oleh Sherwin dan Kai Bird.

Knopf menerbitkan karya besar ini pada 2005. Tetapi hanya berkat kolaborasi langka antara dua penulis yang tak kenal Lelah– dengan persahabatan mereka yang mendalam, yang dibangun atas dedikasi bersama pada karya biografi– “American Prometheus” berhasil diselesaikan.

Oppenheimer, subjek yang menakutkan bagi penulis biografi mana pun.

Robert J Oppenheimer adalah seorang intelektual publik dengan bakat dramatis. Dia ditugaskan pemerintah AS mengelola lab rahasia di Los Alamos, New Mexico, menjadikan bom atom dari kemungkinan teoretis menjadi kenyataan yang menakutkan dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dia muncul sebagai semacam raja filsuf era nuklir pascaperang, secara terbuka menentang pengem-bangan bom hidrogen dan menjadi simbol kejeniusan teknologi Amerika dan hati Nurani bangsa itu.

Sikap itu membuat Oppenheimer menjadi sasaran di era McCarthy, memacu musuh-musuhnya untuk melukisnya sebagai simpatisan Komunis. Hak pengamanannya dicopot selama sidang tahun 1954 yang diadakan oleh Komisi Energi Atom. Dia menjalani sisa hidupnya dengan tersia-sia, dan meninggal pada usia 62 di tahun 1967, di Princeton, New Jersey.

Ketika Sherwin mulai mewawancarai orang-orang yang mengenal Oppenheimer, dia terkejut dengan intensitas perasaan orang-orang itu. Para fisikawan dan para janda fisikawan masih marah atas pengabaian biasa yang ditunjukkan Oppenheimer kepada keluarganya.

Namun setelah Sherwin memindahkan keluarganya sendiri ke Boston untuk pekerjaan di Universitas Tufts, dia dan istrinya Susan bertemu dengan para ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Saat itu, mereka mengakui dengan rasa malu bahwa tahun-tahun mereka bekerja di bawah Oppenheimer pada pembuatan bom itu justru merupakan saat-saat paling bahagia dalam hidup mereka.

Di antara banyak orang yang juga diwawancarai Sherwin adalah Haakon Chevalier, mantan sahabat Oppenheimer yang sisi komunisnya menjadi dasar inkuisisi kelompok McCarthy terhadapnya. Ada pula Edward Teller, yang kesaksiannya pada sidang tahun 1954 membantu mengakhiri karier Oppenheimer.

Putra Oppenheimer, Peter, menolak diwawancarai. Jadi Sherwin membawa keluarganya ke hutan Pecos dekat Santa Fe, memasang pelana kuda dan menunggang kuda ke area perdesaan yang dihuni keluarga Oppenheimer. “Marty tidak pernah mengira dia pewawancara yang hebat,” kata Susan Sherwin, yang menemaninya dalam banyak perjalanan penelitian. Tapi Sherwin memang memiliki bakat untuk berhubungan dengan orang-orang.

Deadline Sherwin datang dan pergi. Editornya pensiun, dan dia melakukan yang terbaik untuk menghindari yang baru. Selalu ada orang lain untuk diwawancarai, atau dokumen lain untuk dibaca.

Buku yang belum juga selesai itu lama-lama menjadi lelucon di rumah tangga Sherwin. “Kami memiliki kartun New Yorker ini di lemari es kami sepanjang masa kecil saya,” kenang putranya, Alex. “Gambar seorang pria di depan mesin tik, dikelilingi tumpukan kertas. Istrinya ada di kejauhan, di ambang pintu kantornya. Si istri berkata, “Selesaikan! Emang mau aku yang selesaikan?”

Kai Bird, mantan redaktur di The Nation, saat itu tengah membutuhkan pekerjaan. Itu tahun 1999, dan Bird telah menulis beberapa biografi yang cukup sukses. Sebagai sejarawan berusia 48 tahun tanpa gelar Ph.D, dia kurang memenuhi syarat untuk posisi jalur tetap di universitas, meski terlalu memenuhi syarat untuk hampir semua hal lainnya. Istrinya, Susan Goldmark, yang memiliki pekerjaan penuh cuan di Bank Dunia, mulai lelah menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga.

Bird gagal melamar satu pekerjaan di surat kabar, ketika dia mendengar Sherwin, teman lamanya, tentang peluang menyelesaikan “Oppenheimer”. Saat penjajakan, Sherwin mengajak Bird makan malam, dan meminta bergabung untuk menyelesai-kan buku itu.

Mereka telah saling kenal selama bertahun-tahun, dan persahabatan mereka memadat pada pertengahan 1990-an, ketika Bird memasukkan esai Sherwin dalam medianya tentang kontroversi seputar pameran yang akan diadakan Museum Smithsonian soal Enola Gay, pesawat yang menjatuhkan bom atom pertama.

Tapi ada satu hal yang mengganggu. “Buku pertama saya dimulai sebagai kolaborasi dengan sahabat saya, penulis Max Holland, “kata Bird, “dan delapan tahun kemudian persahabatan kami berakhir rusak.” Pecahnya persahabatan itu, sebagian karena ketidaksepakatan tentang berapa banyak penelitian yang diperlukan.

Episode itu menyakitkan. “Jangan pernah lagi,” istri Bird mengingatkannya.

“Saya memberi tahu Marty, “ kata Bird. “Tidak bisa. Aku terlalu menyukaimu.”

Namun Sherwin bergeming. Apalagi istri Bird, Goldmark, dengan nama depan yang sama dengan istri Sherwin, Susan, justru malah mendorong suaminya. Ia percaya, kali ini akan berbeda. “Saya mengawasi mereka dengan sangat hati-hati. Melihat keduanya berinteraksi dan menyelesaikan kalimat satu sama lain, seperti yang kadang dilakukan pasangan,” kata dia, mengenang. “Mereka berdua sangat cocok.”

Akhirnya, dengan semua yang terlibat di dalamnya, Gail Ross, agen Bird, menegosiasikan kontrak baru dengan Knopf, yang setuju untuk membayar pasangan itu tambahan 290.000 dolar AS (sekitar Rp 4,35 miliar—lebih mustahil lagi di Indonesia, Red.) untuk menyelesaikan buku tersebut.

Sherwin memperingatkan Bird bahwa ada celah dalam penelitiannya. Tapi tak lama kemudian “kotak-kotak yang tak terhitung jumlahnya” mulai muncul di rumah Bird. Ketika Bird mulai menyaring semuanya, dia menyadari betapa detil dan luasnya penelitian Sherwin. “Tidak ada celah,” kata Bird, mengenang.

Sudah waktunya menulis. Bird pun memulai dari awal. “Saya menulis draf tahun-tahun awal masa kanak-kanak,”katanya,“dan Marty mengambilnya dan menulis ulang.” Sherwin mengirimkan revisinya itu kembali kepad Bird, yang terkesan. “Dia tahu persis apa yang hilang dalam anekdot,” kata Bird.

Proses mereka terbentuk: Bird akan mempelajari penelitian, mensintesisnya, dan menghasilkan draf yang akan dia kirim ke Sherwin. Penulis tua itu akan mengenali apa yang hilang, mengedit dan menulis ulang, dan mengembalikan salinannya kepada Bird. Segera Sherwin juga membuat draf. “Kami menulis dengan gila selama empat tahun,” kata Bird.

Sherwin selalu tahu bahwa persidangan yang mencabut izin Oppenheimer akan menjadi “pusat” biografi itu, kata Bird. Mereka berdebat tentang apa yang mungkin ditunjukkan oleh banyak bukti, tetapi tidak pernah tentang gaya, proses, atau bentuk buku itu sendiri. “Itu akhirnya hampir menjadi hal yang ajaib,”kata Susan Sherwin, “

Pada musim gugur 2004, hampir 25 tahun setelah Knopf berkomitmen pada proyek tersebut, manuskripnya hampir siap. Editor Bird dan Sherwin, Ann Close, memveto “Oppie“, judul yang diberikan pasangan kerja tersebut. Terjadi perdebatan, berebut untuk memberi judul. Terus berlarut, hingga datang ilham kepada Goldmark di satu larut malam. “Prometheus. Api. Bomnya adalah api ini. Dan kalia bisa menempatkan kata ‘Amerika’ di sana.”

Bird menolak “American Prometheus” karena tidak terlalu jelas. Sampai Sherwin menelepon keesokan paginya untuk memberi tahu bahwa seorang teman, penulis biografi Ronald Steel, menyarankan judul yang sama saat makan malam sebe-lumnya. Istri Bird suka cita merasa dibenarkan.

Pada 5 April 2005, “American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer” karya Kai Bird dan Martin Sherwin diterbitkan dengan sambutan luar biasa. The Boston Globe ngoceh bahwa buku itu “berdiri sebagai Everest di antara pegunungan buku tentang proyek bom dan Oppenheimer, dan merupakan pencapaian yang tidak mungkin dilampaui atau disamai.”

Di antara banyak penghargaan yang diraih buku itu adalah Hadiah Pulitzer untuk Biografi. Bird selalu yakin buku itu memiliki kesempatan untuk mendapatkan hadiah itu, meski Sherwin skeptis. “Dia selalu mengira saya adalah seorang optimistis yang benar-benar rusak. Jadi dia benar-benar heran,” kata Bird kemudian. “Sebenar-nya, dia sangat gembira.”

Pada September 2021, waktu keduanya mengetahui bahwa Christopher Nolan berencana untuk mengubah “American Prometheus ” menjadi sebuah film, Marty Sherwin sedang sekarat karena kanker. Pasangan kerja itu telah membaca beberapa skrip yang belum dibuat berdasarkan buku mereka selama bertahun-tahun. Jadi Sherwin meragukan peluangnya di Hollywood.

Dia terlalu sakit untuk bergabung, tetapi Bird dan Goldmark bertemu Nolan di sebuah hotel butik di Greenwich Village. Bird melapor langsung kepada Sherwin setelah itu, dengan Nolan sebagai penulis dan sutradara, pekerjaan mereka ditangani dengan baik.

“Kisah Oppenheimer adalah salah satu yang paling dramatis dan kompleks yang pernah saya temui,” kata Nolan. “Kurasa aku tidak akan pernah melakukan ini tanpa buku Kai dan Martin.” (Biografi itu berada di daftar buku terlaris New York Times untuk novel nonfiksi.)

Pada 6 Oktober 2021, Bird menerima kabar bahwa temannya meninggal pada usia 84 tahun.

“Sherwin akan sangat senang dengan akurasi film tersebut,”kata Bird setelah menonton film tersebut. “Saya pikir dia akan menghargai pencapaian artistik yang luar biasa ini.”

Bird ingat hari ketika dia dan istrinya menghabiskan beberapa jam di lokasi syuting film itu di Los Alamos. Para kru membuat film di kabin asli Oppenheimer, yang telah dipugar dengan susah payah. Bird menyaksikan Cillian Murphy, dan heran melihat kemiripan aktor itu dengan subjek yang telah dia pelajari selama bertahun-tahun.

Akhirnya, ada jeda syuting, dan Murphy berjalan mendekat untuk memperkenalkan dirinya. Saat sang aktor mendekat–mengenakan setelan cokelat era 1940-an Oppenheimer dan dasi lebar–Bird tidak bisa menahan diri.

“Dr. Oppenheimer!” dia berteriak. “Aku sudah menunggu puluhan tahun untuk bertemu denganmu!”

Bird berkata Murphy hanya tertawa. “Kami semua telah membaca bukumu,” kata aktor itu kepadanya. “Ini bacaan wajib di sini.” [Andy Kifer/The New York Times]

Exit mobile version