Gerakan Bokator yang variatif dan sangat dekat dengan MMA di masa kini, memungkinkan bela diri itu cepat popular
JERNIH–Jauh sebelum Kekaisaran Khmer menguasai hampir seantero Indocina, para kesatria Kamboja sudah menekuni seni tarung maut yang mengombinasikan teknik tinju, siku, dan lutut.
Mereka mengasah keahlian selama beberapa dekade, kadang hingga akhir hayat. Dibekali kemampuan membunuh cukup dengan sekepal bogem, para kesatria ini jelas disegani. Saat mereka berkeliaran, para musuh akan saling berbisik tentang cabang bela diri mereka yang sangat mematikan—bokator.
Di masa lalu, bokator—secara harfiah berarti “menghajar singa”—menyebar dan diwariskan dari mulut ke mulut. Nyaris punah di masa rezim brutal Khmer Merah, seni bela diri elusif ini kini tengah bersinar. Para kesatria di masa silam mungkin tak pernah membayangkan jurus-jurus ofensif yang mereka tempa bakal memasuki dunia gemerlap ajang bela diri campuran: dilombakan di atas panggung glamor yang menjanjikan kekayaan bagi sang juara, ditonton oleh jutaan pasang mata di depan layar kaca. Tapi, sebagai cabang olahraga profesional, bokator sejatinya masih jauh dari menara gading.
Di kancah internasional, pengakuan dunia baru sayup-sayup terdengar. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan agar bokator berdiri sama tinggi dengan seni bela diri Asia Tenggara lainnya seperti silat dan muay Thai. Tapi, setidaknya di negeri asalnya, angin segar mulai berembus. Sasana terus bermunculan. Para kesatria bokator abad ke-21 juga punya komitmen untuk membawa keterampilan leluhurnya ke jalur yang layak.
Salah seorang petarung Kamboja pertama yang berhasil menembus panggung dunia adalah Tharoth Sam. Dengan mengusung nama panggung “Little Frog,” gadis energik berusia 24 tahun (kini 30 tahun) ini berpartisipasi dalam beberapa laga yang digelar One FC, salah satu promotor ternama khusus turnamen ajang bela diri campuran di Asia.
Di luar negeri, para komentator tak cuma menyoroti kecantikan Tharoth, tapi juga memuji sosoknya sebagai petarung yang piawai dan ditakuti karena menguasai bokator dan kun Khmer. Yang terakhir ini punya akar yang sama dengan bokator, tapi lebih jinak, sehingga bisa dipraktikkan dalam kejuaraan. Tharoth percaya, disiplin yang dikuasainya menjadi kunci sukses dalam mengatasi banyak petarung lainnya.
“Bokator dan kun Khmer telah banyak membantu saya dalam ajang MMA, karena keduanya mencakup banyak teknik serangan sekaligus: gulat, siku, lutut, serta pukulan. Beberapa jurus spesialnya, contohnya lutut terbang atau tusukan siku, berhasil mengejutkan banyak orang,” ujar Tharoth, saat kepalannya sedang dibalut.
Dengan pamor internasional yang mulai bergema, Tharoth dan teman sasananya belum lama ini berkunjung ke sebuah provinsi terpencil di Kamboja—Koh Kong. Ini kawasan yang relatif liar dan belum terjamah modernisasi. Hewan-hewan langka berhabitat di rimba lebat dan jalan aspal masih minim. Warga Koh Kong juga memiliki akses terbatas pada media dan internet. Mungkin itulah sebabnya ketika Tharoth memasuki ring, suasana begitu hening, seolah tak ada yang mengenal reputasinya.
Lampu sorot kemudian dinyalakan, tapi karena listrik di daerah pelosok ini cukup labil, lampu kerap padam mendadak. Di sekitar ring, hanya segelintir orang yang memotret dengan telepon genggam, tak seperti di kota-kota besar di mana penonton berebut sudut terbaik untuk mengambil gambar.
Pertandingan dimulai. Diiringi gendang tradisional Kamboja, kedua petarung menunduk hormat ke arah penonton. Saat lonceng akhirnya dipukul, keduanya berubah ganas dan saling menyerang, dimulai dengan gerakan mengitari lawan dan saling memantau kuda-kuda. Setelah beberapa detik, keduanya saling mengunci kepala, lalu saling menerjang sembari melesakkan lutut ke arah torso.
Dalam sepersekian detik, Tharoth mengangkat lengannya untuk melancarkan tinju, tapi gerakan ini membuat bagian perutnya terbuka. Sebuah tendangan keras pun bersarang dan penonton mengernyit. Di ronde keempat, kedua petarung tampak lemas di sudut ring.
Tapi Tharoth punya stamina yang lebih prima, hingga dia pun keluar sebagai pemenang. Tharoth bangga dengan hasil ini, meski tak sepenuhnya puas. Dia kemudian mengambil hadiah uang dari panitia. Nilainya lebih kecil dari biaya yang digelontorkan guna mencapai Koh Kong.
Tapi jika pertandingan ini dilakoni semata demi mengejar uang, dia barangkali tak akan pernah sudi datang ke tempat jauh ini, sekitar 300 kilometer dari Phnom Penh. Hanya beberapa bulan silam, Tharoth, seperti kebanyakan petarung bokator dan kun Khmer, mesti membanting tulang demi sesuap nasi. Dulu, saban siang, dia menyambi sebagai pengasuh bayi, sehingga cuma punya waktu singkat untuk berlatih. “Beberapa kali sasana hampir ditutup karena kesulitan uang untuk membayar sewa. Tapi kami tak lelah berjuang untuk mempromosikan olahraga kami. Menurut saya, semua ikhtiar ini hanya mungkin karena datang dari hati,” kenangnya.
Dibandingkan zaman dulu, kini lebih mudah bagi petarung bokator untuk mengeruk uang dan kejayaan.
Alasan yang sama melatari keputusan Tharoth berpartisipasi dalam turnamen-turnamen One FC. Niatnya bukan cuma menambal kas, tapi juga memanen pengakuan atas bokator di tingkat Asia, jika mungkin dunia. “Inilah alasan bagi semua kegiatan saya: menunjukkan bokator ke mata dunia dan menyebarkannya di Kamboja. Di arena, saat nama saya dibacakan, mereka selalu mengatakan ‘Little Frog dengan latar disiplin bokator.’ Orang-orang mendengarnya, lalu menggali informasi di internet.”
Internet juga menjadi ruang bagi Tara Vy berkenalan dengan bokator, kemudian melesat menjadi bintang belia. “Saya pertama kali mengetahui bokator dari YouTube, persisnya saat sedang menonton cuplikan video tua,” kenang remaja 20 tahun ini. Di belakangnya, seorang petarung sedang push up, sementara Tara melakukan posisi headstand.
“Setiap orang memiliki kekuatannya sendiri. Kekuatan saya: gigi dan rahang,” kata Tara. Dia nyengir, kemudian menunjukkan maksud kata-katanya. Seorang rekannya membalut sehelai krama (mafela motif kotak-kotak khas Kamboja) di pinggangnya, kemudian tengkurap di atas matras. Tara lalu berdiri di atasnya dan membungkuk dengan kedua lengan membentang layaknya burung yang hendak terbang. Selanjutnya, Tara menggigit kain krama dan mengangkat tubuh rekannya. “Butuh beberapa kali latihan untuk melakukannya. Tak bisa asal mencoba, sebab leher Anda akan patah,” ujarnya dingin.
Untuk urusan pamor dan fulus, Tara senasib dengan Tharoth. Katanya, dibandingkan dulu, uang dan apresiasi di zaman ini memang lebih tinggi, namun bokator dan kun Khmer sebenarnya masih di tahap bayi dalam konstelasi seni bela diri internasional. Status yang disayangkan, sebab riwayat bela diri ini membentang hampir dua milenium.
Mengapa bokator dan kun Khmer hingga kini masih hidup di Kamboja, jawabannya bisa dilacak pada episode kelam dalam perjalanan Kamboja. Menurut Ta Kim, nenek Tara, rezim Khmer Merah hampir membinasakan seni bela diri yang hanya diwariskan secara oral tersebut.
“Banyak master dan petarung tewas atau dibunuh di zaman Khmer Merah,” nenek berusia 77 tahun ini bertutur dengan menekankan setiap kata-katanya.
Memiliki daya ofensif untuk menyerang setiap saat, petarung bokator dan kun Khmer jelas merupakan ancaman bagi para kader Khmer Merah yang mengidap paranoia kronis. Ketika negara tetangga Thailand aktif mempromosikan seni bela dirinya ke penjuru bumi, para kesatria Kamboja justru sibuk mencari cara untuk bertahan hidup. “Menurut saya, setelah perang berakhir, kami harus membangun kembali bokator. Ini identitas nasional kami,” katanya lagi.
Kini pendidikan untuk menjadi atlet bokator sudah dimulai sejak dini.
Sepuluh tahun silam, di Phnom Penh, klub yang mengajarkan bokator dan kun Khmer jumlahnya kurang dari 20 buah. Mayoritas harus memeras keringat untuk sekadar membayar sewa tempat. Tapi kini bokator dan kun Khmer diajarkan di sekitar 100 klub di Kamboja, lebih dari 30 di antaranya bermarkas di Ibu Kota. Meski masih kecil dan pertumbuhannya lambat, Federasi Bokator juga telah didirikan di Eropa. Di tempat-tempat terpencil semacam Koh Kong, kebangkitan bokator dan kun Khmer juga mulai didengungkan. Saat senja hari kedua datang, kini giliran Tara menunjukkan usahanya untuk melambungkan cabang olahraga yang ditekuninya.
Dalam sebuah simulasi pertarungan yang ditata apik, Tara berhadapan dengan tiga orang sekaligus. Kita seolah diajak menonton adegan film kungfu klasik: seorang hero melawan beberapa penjahat.
Di puncak pertarungan, Tara merangsek seorang lawan, lalu hanya beberapa sentimeter sebelum bertabrakan, dia berpindah ke sisi kanan, melibatkan kakinya ke tubuh lawan, lalu menguncinya. Berdiri tegap di atas rival yang telah lumpuh, Tara menghunjamkan sikutnya ke arah kepala. Lebih dari 1.700 tahun silam, serangan fatal ini barangkali akan berbuah batu nisan. Hari ini, hasilnya adalah sorak-sorai meriah dari ratusan penonton. Tapi ini tetap reaksi yang sepadan bagi kerja keras dan latihan rutin Tara.
Tara tak pernah melupakan susahnya hidup para petarung Kamboja. Langkah untuk menjadi petarung pun kerap berliku. Masih basah dalam ingatannya tentang pengalaman pertamanya mengikuti turnamen di Phnom Penh. Keluarganya tegas menentang keputusan itu. Ibunya tak melihat masa depan dari bokator, kecuali hanya mengakibatkan cedera serius yang tak sepadan dengan tepuk tangan dan uang yang diraih anaknya.
Dalam kultur tradisional Kamboja, kata-kata orang tua bagaikan vonis hukum yang tak bisa digugat. Tapi Tara merasa dirinya bagian dari generasi baru Khmer: kaum yang lebih berani mengikuti apa yang mereka yakini. “Saya ingin melakukan apa yang saya cintai, dan saya mencintai bokator. Jadi saya pun bersikukuh,” kenangnya dengan sedikit bumbu pemberontakan dalam suaranya.
Saat Tara memasuki ring tinju di pinggiran Phnom Penh, ibunya berdiam cemas di rumah dan berdoa. Ibunya hingga kini masih mendoakannya, tapi caranya berbeda. Setelah bokator kian populer, begitu pula pamor anaknya, sang ibu gembira memberi dukungan. Dia juga bangga melihat poster anaknya yang tampan terpampang di ring-ring tinju di seantero negeri.
Segala rintangan dan keraguan publik yang dihadapi Tara dan Tharoth di masa lalu kini berpindah ke tangan petarung generasi baru yang menjadikan keduanya panutan. Bahkan di sudut negeri seperti Provinsi Koh Kong, orang-orang terbius sekaligus terpesona oleh keterampilan Tara dan Tharoth. Para remaja mencoba meniru gerakan keduanya di lapangan sepak bola yang tandus. Satu yang pasti, trip melelahkan grup Tara dan Tharoth ke tempat ini telah berbuah manis.
Pada 2023, ketika Kamboja menjadi tuan rumah SEA Games, grandmaster Ta ingin bokator dan kun Khmer ditampilkan di stadion terbesar di negara ini dan ditonton oleh jutaan warga Asia Tenggara melalui layar televisi.
“Itu mimpi besar kami. Rasanya bisa terwujud,” Ta berbisik, seolah tak ingin mendahului takdir. Dengan sorot mata tajam, dia kemudian berpaling mengamati Tara dan rekan-rekannya yang tengah berlatih pukulan-pukulan maut bokator. “Bisa,” katanya sembari mengangguk, “kami pasti bisa mewujudkannya.” [Denise Hruby/Destinasian]