Site icon Jernih.co

Cerita Pendek: Anjing yang Merindukan Adzan

Tatkala merespons suara adzan, Si Timu tampak sangat khusyuk. Menghadap ke arah suara. Jika adzan selesai, beberapa jenak Si Timu duduk tegak. Bagai ikut mengucapkan do’a setelah adzan.

Oleh  :  Usep Romli H.M.

Anjing kepunyaan Mang Kandi, hanya anjing kampung biasa. Bukan anjing ras keturunan hebat. Cuma temuan tak sengaja. Terjepit pada tanaman pagar batas kebun. Tampak kesakitan dan lelah. Mungkin semalam anak anjing itu di sana. Suaranya merengek pelan.

Hati-hati Mang Kandi mengambilnya. Dibawa ke gubuk. Diletakkan di tanah. Tergolek lemah. Mang Kandi  teringat pada kisah yang dituturkan Mama Ajengan Babakan Cibantar, waktu pengajian majlis ta’lim Jumat lalu. Tentang seorang lelaki menolong seekor  anjing kelaparan. Entah karena Mama Ajengan Babakan Cibantar pandai berkisah, entah karena kisahnya menarik, Mang Kandi ingat terus.  Begini kata Mama Ajengan  Cibantar :   

“Seorang lelaki berjalan jauh. Merasa sangat kehausan. Kebetulan menemukan sumur. Sayang, tak bertimba. Terpaksa harus berusah payah turun. Hingga berhasil menyauk air dengan sepatunya. Minum beberapa teguk. Ketika tiba lagi ke atas, ada seekor anjing. Menjilat-jilat pinggiran lubang sumur. Sekedar melepas dahaga. Badannya telingkup tanpa daya. Napasnya putus-putus. Nyaris sekarat.

“Wah, anjing ini bernasib seperti aku tadi. Wajib kutolong, sebelum direnggut maut,“kata lelaki itu. Buru-buru ia turun lagi ke lubang sumur. Menyauk air de-ngan sepatunya, dan penuh susah payah naik lagi ke atas. Mendapat air cukup banyak, anjing segera meminumnya pelan-pelan. Lelaki itu turun lagi. Mengambil  air dengan sebelah sepatunya, agar anjing itu dapat minum sekenyangnya. 

Setelah minum air empat sepatu, anjing itu tampak mulai segar bugar. Sudah dapat berdiri. Matanya bening. Menatap lelaki itu. Mungkin mengucapkan terima kasih, telah ditolong.

Para sahabat Kangjeng Nabi yang menyimak kisah itu dari  Abu Hurairah, bertanya : “Apalah kita mendapat ganjaran, dari menolong hewan seperti anjing, ya Rasulullah?”

Jawab Kangjeng Nabi: “Setiap perbuatan baik kepada mahluk bernyawa, mendapat ganjaran besar dari Allah SWT.”

Mang Kandi tak memikirkan  ganjaran besar. Yang penting menyelamatkan dulu anak anjing yang merana itu. Ia membuat lipatan daun pisang berbentuk mangkuk. Lalu diisi air teh  dari teko. Anak anjing itu minum penuh nafsu. Mungkin seperti  anjing yang minum air sumur dari sepatu lelaki pengembara dalam kisah Mama Ajengan  Cibantar itu.   

“Lapar juga? Nah ini nasi dan tulang ikan asin, makanlah!”

Bungkusan daun berisi dua kepal nasi dan bubuk tulang ikan asin, diangsurkan ke depan anak anjing yang baru selesai minum. Setelah dibaui, anak anjing itu langsung melahapnya.  Benar-benat anak anjing itu kelaparan. Setelah makan, anak anjing berlari-lari kecil di sekitar gubuk. Kemudian meringkuk dekat tungku api unggun.

Ketika Mang Kandi membereskan peralatan, siap-siap pulang, anak anjing itu bangkit. Berputar-putar dekat kaki Mang Kandi. Ingin menjilat-jilatkan lidahnya sebagai tanda terimakasih. Tapi Mang Kandi mengusirnya. Ia tahu, mulut anjing berliur itu najis mugholadoh. Untuk membersihkannya, harus “diseretu”. Dicuci dengan air tujuh kali dan diolesi tanah satu kali.

Hari amat panas. Tengah-tengah musim kemarau panjang. Langit tanpa awan. Ada suara burung Ungkut-ungkut di kejauhan. Bersahutan dengan suara burung Bultok. Diselingi  jeritan Elang, samar-samar. Ketiga hewan itu sama-sama merindukan tetes-tetes air.

Keluar dari  kebun, Mang Kandi merasakan panas menyengat. Tapi anak anjing yang mengikutinya acuh tak acuh saja. Lari lari ke sana ke mari. Sebentar-sebentar meninggalkan diri di belakang. Sebentar-sebentar jauh mendahului. Menciumi segala yang menarik perhatiannya. Sambil mempermainkan ekornya, dan menatap kepada Mang Kandi. Seperti ingin berkata-kata. Meminta izin untuk ikut serta.

“Akan kucoba pelihara. Ya, hitung-hitung menolong. Kasihan, jika tak ada yang mengurus, nanti mati terlantar,” hati Mang Kandi berbisik. Anak anjing itu, seperti mafhum. Ia menggonggong kecil. Mungkin mengucapkan terima kasih. Beberapa kali berputar mengelilingi kaki Mang Kandi. Tapi tak lagi mencoba menjilat-jilat lagi. Takut diusir seperti tadi.

Tiba ke rumah, Mang Kandi menjatuhkan badan ke atas emper balai-balai. Kemudian berteriak kepada istrinya yang sedang sibuk di dapur  : “Icih, masih ada air minum? Aku haus!” .

“Air bekal tadi habis?” Bi Icih muncul. Membawa niru berisi beras yang akan ditampi. “Ih…ih… ada anak anjing…si! si!”              

“Biarkan…akan kupelihara… Mana air minum…..”

“Anak anjing dari mana?”

“Dari kebun. Kunamai Si Timu. Lumayan, untuk mengusir musang pencuri ayam yang banyak berkeliaran di sini…” 

“Anjing itu najis…,” Bi Icih melangkah ke belakang. Mengambil air minum.

“Najis kalau dielus-elus. Asal jangan kena air liurnya saja,” kata  Mang Kandi.

Bi Icih datang lagi. Mengangsurkan air minum. Mang Kandi meneguknya. Kemudian mencurahkan sisanya ke atas tempurung. Diberikan kepada Si Timu, yang segera meminumnya penuh nafsu.

“Nah, nanti kamu tidur di kolong emper ini, ya. Tapi harus selalu siaga!” kata Mang Kandi. Si Timu menggonggong kecil. Menjawab omongan Mang Kandi.

Hingga  dua tahun kemudian, tubuh Si Timu sehat, besar dan kekar. Tak kalah dengan tampilan anjing herder, yang suka dipamerkan dalam acara tv. Lincah dan  trengginas. Cepat menggonggong jika ada sesuatu yang mencurigakan. Pohon jambu di sudut halaman rumah Mang Kandi, tak pernah lagi diranjah anak-anak. Kini buahnya sempat matang menjadi buah-buah besar dan masak. Banyak yang berserakan di tanah, sisa gigitan kelelawar. Malah anak-anak sering menemukan buah jambu ranum tergeletak. Belum sempat dibawa terbang kalong yang kabur ketakutan digonggong Si Timu.

Sering mengikuti Mang Kandi ke kebun. Atau Bi Icih ke sawah. Malah, jika Mang Kandi ke masjid juga, suka ikut. Tapi suka diusir, disuruh pulang. Malu sama orang lain.

Akhir-akhir ini, Si Timu suka berulah jika mendengar suara adzan. Ia suka menggonggong keras dan panjang. Bagai ingin menyaingi suara sepiker Toa. Gonggongannya itu, bersamaan dengan suara muadzin. Mang Kandi sangat heran. Tatkala merespons suara adzan, Si Timu tampak sangat khusyuk. Menghadap ke arah suara. Jika adzan selesai, beberapa jenak Si Timu duduk tegak. Bagai ikut mengucapkan do’a setelah adzan.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Si Timu ketika mendengar adzan, berseloroh. Mungkin Si Timu titisan Kitmir. Anjing yang setia menyertai tujuh pemuda Ashabul Kahfi.

“Wuah, titisan anjing Ashabul Kahfi apa!” Mang Kandi suka membentak orang yag berseloroh itu. Namun kadang-kadang, ingin juga ia mengiyakan.

Apalagi menyaksikan kelakuan Si Timu sehari-hari. Beda dengan anjing-anjing lain. Makan tidak sembarangan. Hanya mau memakan rangsum yang diberikan Mang Kandi atau Bi Icih saja. Tak pernah memakan bangkai temuan atau menang-kap hewan lain. Kepada musang yang akan mencuri ayam juga, cuma menggonggong saja. Menakut-nakuti. Tak pernah mengejar atau menangkapnya.

“Aneh, anjing tahu halal-haram…”Mang Kandi sering menepis pikiran tak karuan soal Si Timu. Apalagi membanding-bandingkannya dengan Kitmir , anjing Ashabul Kahfi yang suci itu. Jauh sekali. “Memang suka  khusyuk menyimak adzan, karena sering mendengar saja. Dan ia menyukai iramanya. Apalagi jika yang  adzan Ceng Imron, santri  Kudang, kalau kebetulan pulang kampung. Bahkan suara adzan Aki Amud, yang tak merdu dan kurang mantap ucapannya, tetap disimak khusyu oleh Si Timu.”

Soal Si Timu suka menggonggong panjang mengikuti suara adzan, oleh seseorang, pernah diadukan  kepada Ustaz Burhan. Dianggap menggganggu dan melecehkan.  Ustad Burhan menjawab sambil tertawa-tawa : “Biarlah. Anggap saja menyindir kita sendiri, yang suka mengabaikan suara adzan. Padahal suara adzan bergaung dari mana-mana.”

Ketika merebak wabah Corona, masjid ditutup. Segala kegiatan di situ dihentikan, Termasuk adzan, karena tak ada lagi salat berjamaah. Si Timu murung. Lesu tak bersemangat pada waktu-waktu seharusnya adzan.  Si Timu re-sah gelisah. Ia sering berputar-putar tak karuan sambil mengeluarkan suara nelangsa   Badannya mengurus. Geraknya lamban.  Gonggongannya lenyap.

“Ah Timu…Timu….. kau mabuk kepayang suara adzan dari sepiker Toa,”Mang Kandi geleng-geleng kepala, ketika suatu pagi menemukan jasad Si Timu membangkai di kolong emper. Ia yakin, Si Timu mati bukan karena Covid 19.

Bi Icih rebak air mata. Penuh duka menatap piarannya sudah terbujur kaku.

 “Mari Icih, bantu menggali lubang di belakang. Cepat kita kubur Si Timu sebelum dikerubungi lalat.” Mang Kandi yang sudah membawa pacul dan besi penggali mengajak istrinya yang masih termangu-mangu menahan isak .[  ]               

Exit mobile version