Dalam aksinya warga memprotes secara langsung dugaan penyelewengan dana untuk proyek infrastruktur.
JERNIH-Puluhan ribu warga tetangga RI, Filipina, melakukan aksi unjukrasa menuntut pengunduran diri Presiden Ferdinand Marcos Jr. dan Wakil Presiden Sara Duterte, menyusul skandal korupsi besar yang dikenal sebagai “Skandal Triliun Peso”, terkait penanganan banjir.
Warga membanjiri ibu kota Manila, pada Minggu (30/11/2025) bertepatan dengan Hari Bonifacio (Hari Bapak Revolusi Filipina). Pengunjukrasa diorganisir oleh Kilusang Bayan Kontra-Kurakot (KBKK) ini dimulai dari Luneta National Park dan bergerak menuju istana kepresidenan Malacanang
Dalam aksinya warga memprotes secara langsung dugaan penyelewengan dana untuk proyek infrastruktur. Para pengunjuk rasa juga membawa patung besar Marcos dan Sara Duterte yang digambarkan sebagai buaya korup (corrupt-codile). Ini simbol yang menggambarkan kekayaan haram mereka, sebagaimana dilansir Al Jazeera.
Para pengunjuk rasa merobek patung buaya korup di depan barikade, meneriakkan slogan “Jail all the corrupt!” dan menuntut kedua pemimpin tertinggi mundur.
Penyebab unjukrasa massal ini dipicu pada proyek pengendalian banjir senilai lebih dari 545 miliar peso(Rp150,59 triliun) yang kini diselidiki. Kerugian yang hilang akibat korupsi diperkirakan mencapai 118,5 miliar peso (Rp33,47 triliun) sejak tahun 2023.
Jika kelompok KBKK menuntut keduanya mundur, maka kelompok oposisi utama yang didukung Gereja Katolik Roma menyelenggarakan Trillion Peso March terpisah hanya menuntut Sara Duterte mundur. Oposisi mengaku menunggu bukti konkret terhadap Marcos.
Presiden Marcos sendiri dituduh mengarahkan penambahan 100 miliar peso (Rp28,45 triliun) ke dalam anggaran untuk proyek fiktif (ghost projects) tahun 2025. Tudingan tersebut disampaikan mantan anggota parlemen, Zaldy Co yang kini buron. Namun Co juga mengklaim bahwa Marcos menerima suap hingga 50 miliar peso (Rp14,26 triliun) dan secara pribadi menyerahkan koper berisi 1 miliar peso (Rp284,46 miliar) tunai ke kediaman Marcos pada tahun 2024.
Namun Presiden Marcos membantah keras semua tuduhan tersebut. Ia menuntut agar Co kembali ke Filipina untuk membuktikan klaimnya.
Kemarahan publik makin memuncak saat sejumlah topan dan badai melanda Filipina namun proyek pengendalian bencana tidak berjalan semestinya, yang akhirnya menimbulkan kerusakan yang besar. Untuk mencegah massa mendekati istana kepresidenan, polisi melakukan barikade semua akses menuju istana dengan kawat berduri dan container serta mengerahkan lebih dari 12.000 petugas. (tvl)
