Site icon Jernih.co

Kaum Hippies ‘San Francisco of Java’

Aacara Human Be-In di Golden Gate Park pada 14 Januari 1967; membuka jalan bagi Summer of Love 1967 San Francisco

Akibat virus dari haya hidup hippies, banyak kaum muda b yang menjadi “pelacur tanggung” atau dalam istilah kaula muda Bandung saat itu disebut gongli, singkatan dari bagong lieur.

Seorang seniman dan tokoh budaya dianggap punya pandangan yang tak lazim dari galibnya pikiran orang-orang. Hal itu menggambarkan daya kreativitas seniman kadang memang sukar dipahami namun terdapat kebenaran di dalamnya. Hal itu pula yang diungkapkan Godi Suwarna, seorang sastrawan, seniman, dan tokoh budaya asal Tatar Sunda.

Dalam statusnya Facebook-nya berjudul “Gubernur & Anjing Goblog” yang diunggahnya pada hari Minggu (20/9/2020) dalam bahasa Sunda, seniman asal Panawangan, Ciamis, Jawa Barat (Jabar), ini mengusulkan ide agar dalam sepekan warga Jabar diwajibkan “unjang-anjing, gublag-goblog” alias mengumpat.

Hal ini, kata Godi, bertujuan agar warga Jabar bisa sejenak melepas stres dan keluh-kesah akibat situasi pandemi COVID-19 yang mendera dan tak kunjung surut. Usul yang terdengar mahiwal bin aneh ini ia kaitkan dengan viralnya Mang Ade Londok, seorang YouTuber asal Jabar yang viral gara-gara mempromosikan jajanan Odading Mang Oleh dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos dan kerap disertai dengan kata “anjing goblog”.

Dikabarkan detik.com, saking viralnya, ia sampai “ditantang” Gubernur Jabar Ridwan Kamil menjadi “Duta Kuliner” yang bertugas mempromosikan jajanan lokal dengan cara yang kreatif dan unik namun tetap “santun”.

Godi mengaitkan ceplas-ceplosnya Mang Ade Londok seperti pengalaman masa mudanya ketika di Indonesia, terutama Bandung, “Generasi Bunga” sedang menjamur. Dijelaskan Godi, Generasi Bunga merupakan sebutan lain untuk kaum muda hippies. Nama tersebut disematkan lantaran kegemaran mereka mengenakan pakaian bercorak bunga.

Artikel berjudul “Virus Kaum Hippies” karya Fandy Hutari yang dimuat Historia menyebut,  gerakan budaya hippies mulai berkembang di Amerika Serikat (AS) pada pertengahan 1960. Kala itu, banyak warga AS yang mendemo pemerintahan mereka terkait kebijakan invasi militer AS pada saat Perang Vietnam (1955-1975).

Demo tersebut berkembang menjadi sebuah gerakan budaya yang menetang kemapanan serta hal-hal lama yang dianggap kolot, kaku, dan membelenggu. Ciri yang melekat pada Generasi Bunga, selain menggunakan bunga sebagai simbol gerakan mereka, juga adalah kegemaran mereka berpesta, melakukan seks bebas, menggunakan narkoba, serta menenggak alkohol. Sebagian dari mereka bahkan tinggal secara nomaden atau berpindah-pindah.

Menurut W.J. Rorabaugh dalam American Hippies, sebagaimana dikutip Fandy, salah satu puncak gerakan budaya ini terjadi pada tahun 1967. Kala itu, ribuan hippies turun ke jalan, berkumpul di Height Ashbury, San Francisco, AS. Mereka mendengarkan musik, mengonsumsi narkoba, dan melakukan seks bebas. Fenomena ini umum disebut The Summer of Love

Momen lain yang dianggap sebagai “ritual akbar” kaum hippies AS adalah festival musik Woodstock di Middlefield, Connecticut, AS, pada tahun 1969.

Majalah Ekspres edisi 7 Juni 1971, yang dikutip  Fandy, menyebut bahwa budaya hippies dengan cepat “mewabah” di Indonesia, terutama Bandung, tempat Godi Suwarna mengabiskan masa mudanya.

Awalnya, anak-anak muda itu hanya meniru modenya saja. Namun, lambat laun mereka mencaplok seluruh identitas hippies termasuk rambut gondrong, dandanan nyentrik, pesta, dansa telanjang, seks bebas, narkoba dan alkohol.

Bahkan, Japi Tambajong, tulis Fandy, dalam Ensiklopedi Musik menyebut bahwa “virus” ini juga menjanggkiti gadis-gadis sekolahan. Akibat gaya hidup yang demikian itu, banyak dari mereka yang menjadi “pelacur tanggung” atau dalam istilah kaula muda Bandung saat itu disebut gongli, singkatan dari bagong lieur, yang berarti babi pening dalam bahasa Indonesia.

“Bandung di kalangan anak muda waktu itu tidak lagi disebut Paris van Java, tapi San Francisco of Java,” tulis Japi.

Pemerintah Orde Baru menanggapi serius pengaruh hippies di kalangan anak muda. Awal tahun 1970-an, pemerintah melarang laki-laki memiliki rambut gondrong karena dianggap tidak sesuai dengan “kepribadian bangsa”. Artis-artis pria berambut gondrong dilarang tampil di TVRI. Sementara, ABRI, dengan bersenjatakan gunting, turun ke jalan, merazia rambut gondrong. Hukumannya jelas: potong di tempat.  

Hippies juga merasuk ke bidang musik. Fandy menulis, pengamat musik Fariz RM dalam otobiogafinya, Living in Harmony, mencatat grup band The Prophecy asal Bandung, yang beranggotakan orang-orang dari berbagai bangsa, sebagai grup musik hippies. Sementara, Japi menyebut, grup musik hippies lainya, Flower Power, sebagai “propagandis” yang meresahkan para  orang tua di awal tahun 1970-an.

Jakarta tak mau ketinggalan. Kaum muda Ibu Kota ingin menyelenggarakan konser musik mirip Woodstock. Pada Minggu, 16 Agustus 1973 bertempat di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dihelatlah sebuh konser musik bertajuk Summer-28.

Istilah ini merupakan kependekan dari Suasana Menjelang Kemerdekaan ke-28. Konser ini tadinya dijadwalkan berlangsung selama 12 jam, sejak pukul 17.00 hingga 05.00 WIB. Lebih kurang 20 grup band menghibur generasi bunga di Jakarta. Namun, karena sebuah insiden keributan yang terjadi sekitar pukul 03.00 dini hari, konser berakhir lebih awal.

“Inspirasi dari gerakan Generasi Bunga Summer of Love kemudian dicampurbaurkan dengan semangat kebebasan dalam bermain musik,” tulis pengamat musik Denny Sakrie dalam sebuah artikel, yang berjudul “40 Tahun Summer-28”, sebagaimana dikutip Fandy.

Hal ihwal kebebasan yang jadi “ideologi” kaum hippies juga disinggug Godi dalam statusnya. Ketika Godi muda mukim di Kota Kembang, tempat Generasi Bunga menjamur begitu rupa, ia bisa dengan leluasa bercakap “anjing goblog” dengan kawan sebaya. Ia merasa bebas dari segala kungkungan undak usuk bahasa Sunda yang sejak kecil ditanamkan kedua orang tuanya di kampong.

Selain sebagai simbol kebebasan, penggunaan “anjing goblog” dalam bahasa Sunda juga merupakan ciri keakraban atau loma dalam istilah Sunda. Meski terkesan kasar dan baragajul alias “nakal”, penutur bahasa Sunda dengan gaya seperti ini, pada waktu itu, tetap mempunyai sopan santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

Menurut Godi dalam statusnya yang lain, generasi bunga San Francisco of Java pada masa itu, hanya menggunakan “anjing goblog” sebagai bahasa keakraban antar sebaya. Bilamana di antara mereka ada orang yang jauh lebih tua, sopan santun masih tetap dapat mereka tegakan.

Exit mobile version