Jika Sumatera barat memeiliki Maek sebagai Lembah Seribu Menhir, maka Kabupaten Poso Sulawesi Tengah mempunyai Lore Lindu yang fantastis tiada habis. Betapa tidak, Lore Lindu yang sudah menjadi taman nasional ini disinyalir sebagai pusat peradaban megalitik terluas di Indonesia.
Potensi peninggalan megalitikum di Sulawesi Tengah saat ini terdapat 432 objek situs megalit yang tersebar di Lore Utara dan Lore Selatan, Poso sebanyak 404 situs dan di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs. Sebagian besar berupa patung batu, jambangan besar (Kalamba), piringan (Tutu’na), batu-batu rata/cembung (Batu Dakon), mortir batu dan tiang penyangga rumah. Semuanya tersebar di Lembah Bada, Lembah Napu, Lembah Basoa dan Lembah Baso.
Dari keragamannya. maka yang menjadi ikon dari Lore Lindu adalah patung-patung batu dengan ukuran besar. Patung neolitik dengan figur manusia ini merupakan sesuatu yang langka di Indonesia, bahkan di dunia. Sebaran patung di Lore Lindu disetarakan dengan patung-patung Moai di Easter Island (Pulau Paskah) yang termasuk wilayah kepulauan Polinesia. Pulau Paskah memendam 1000 patung berukuran besar dengan tinggi mencapai 10 meter.
Walau Patung-patung di Lore Lindu tidak sebesar dan setinggi Patung Moai, namun potensi megalitiknya lebih beragam dan diduga lebih tua dibanding di Pulau Paskah. Usia patung-patung di Lore Lindu tersebut diperkirakan dibuat sejak 3000 SM – 1500 SM dan diduga masih berkelanjutan sampai abad 20 M.
Hal tersebut berdasarkan catatan A.C. Kruyt, pendiri kota Poso bahwa tahun 1908 di Lore, masih berlaku orang membuat kubur dari batu dan masih ada tempat pembuatan Kalamba untuk penguburan. Hal tersebut menggambarkan adanya budaya berkelanjutan yang tidak putus sejak jaman megalitikum, Neolotik dan modern.
Budaya Neolitik merupakan pengembangan dari budaya megalitik. Ciri megalitik batunya masih alami tanpa pahatan manusia dengan periode 3000 SM- 1000 SM. Sedangkan ciri neolitikum (1000-100 SM) ditandai dengan batu-batu yang sudah mengalami proses penghalusan atau sentuhan berupa pahatan sederhana, baik berupa ukiran sulur maupun symbol nenek moyang. Namun dikarenakan nyaris semua produk budaya berbahan batu tersebut berukuran besar, maka lebih disebut tinggalan megalitik.
Dari pemahaman masyarakat lokal patung-patung batu-batu tersebut merupakan sarana pemujaan terhadap nenek moyang. Sama halnya dengan fungsi Menhir di Maek. Sepertinya bentuk purba dari patung-patung di Lore Lindu ini adalah menhir alami yang kemudian menjadi penggambaran nenek moyang dengan memahatnya menyerupai manusia.
Ciri seperti ini juga berkembang di jawa. Misalnya di situs Sokoliman, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta terdapat menhir yang dipahat diserupakan dengan manusia sebagai figur nenek moyang. Di Sunda juga terdapat arca-arca tipe polinesia sebagai perwujudan karuhun. yang membedakannya adalah religi, corak budaya dan faktor lingkungannya.
Pahatan pada megalit tersebut juga dideskripsikan minimalis. Tokoh tersebut biasanya digambarkan memiliki kepala besar dengan tubuh tanpa lekukan serta tanpa kaki. Pada bagian wajah biasanya digambarkan dengan mata bulat dengan garis tunggal yang merepresentasikan, alis, pipi dan dagu. Sebagian besar patung tampak berdiri sendiri namun ada beberapa yang ditempatkan secara berkelompok (wikipedia)
Dari sekian banyak patung-patung di Kawasan Lindu Lore umumnya memiliki ciri jenis kelamin dan sebagian diberi nama oleh masyarakat termasuk cerita yang menyertainya. Diantaranya patung Tokala’ea yang dulunya adalah manusia namun dikutuk jadi batu karena memperkosa. Patung Oba memiliki raut jenaka dengan tinggi 70 cm dianggap kera, namun bisa juga diangap figur anak-anak.
Patung Langka Bulawa merupakan patung wanita, Langka Bulawa bermakna ratu bergelang kaki emas. Demikian juga Patung Tadulako asalnya seorang penjaga desa namun dikutuk menjadi batu karena mencuri beras. Namun cerita paling terkenal tentang Tadaluko terdapat dalam kisah tutur adat Besoa, bahwa Tadulako adalah panglima perang yang tersisa dari sebuah perang suku di zaman sekitar 3.000 Sebelum Masehi. Ia dikutuk menjadi batu setelah dipukul kepalanya oleh seorang perempuan musuh dengan batang alu.
Patung Palindo termasuk patung terkenal diantara kawan-kawannya, Dialah ikon megalit di lembah Sepe. Bahkan popularitasnya sudah mendunia karena posisinya yang miring 30 derajat menjadi ciri khas yang dikenal luas. Patung ini terdapat di padang Sepe, sehingga disebut juga Patung Sepe.
Palindo memiliki raut wajah yang ceria dan ramah. Mulutnya dipahat membentuk senyum manis tingginya 4 meter. Palindo bermakna penghibur, sesuai dengan figurnya. Konon Palindo adalah perwujudan nenek moyang yang bernama Tasologi yang mampu mengangkat rakyat Bada melawan suku Musamba. Nama-nama patung lainnya selain yang diatas diatas adalah Torompana, Meturu, Tarae Roe, dan Loga.
Batuan-batuan megalitik lainnya yang mencolok perhatian dan terhampar di kawasan lembah adalah Kalamba. Megalitik ini merupakan adalah bejana berbentuk silindrik dan berukuran besar; digunakan sebagai tempat penguburan ganda (lebih dari satu mayat), khusus ditemukan di Sulawesi Tengah. Jika Patung-Patung Lore Lindu mencoba bersepadan dengan Patung Moai, maka Kalamba bersepadan dengan Plain Of Jars di Laos Vietnam
Dwi Yani Yuniwanti, ketua tim peneliti Megalitik di Lembah Bada dari Puslitbang Arkenas menyatakan bahwa bentuk kalamba memang seperti tempat air padahal dulunya digunakan untuk menempatkan tulang-belulang orang mati. Ukuran kalamba bermacam-macam. Satu kalamba ada yang berkapasitas untuk 1 sampai dengan 12 orang. Tutup kalamba ada yang berhias dengan motif hewan seperti monyet, binatang melata, dan juga muka manusia. Ada juga yang polos, tidak bermotif.
Munculnya kebudayaan megalitik di Lore Lindu terkait dengan migrasi bangsa Austronesia dari kawasan Taiwan dan China. Sofwan Noerwidi menuliskan dalam Strategi Adaptasi Austronesia di Kepulauan Indonesi bahwa teori persebaran Austronesia ”Out of Taiwan” yang diajukan Peter Bellwood (1995) cocok dengan hasil penelitian terbaru bahwa awal kolonisasi Austronesia di Kepulauan Indonesia adalah sekitar 3.600 BP, yang diperoleh dari pertanggalan Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat.
Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa Sulawesi merupakan lokasi koloni tertua, yang kemudian secara gradual semakin lebih muda ke barat menuju Sumatera dan Jawa, ke selatan menuju Kepulauan Sunda Kecil dan ke timur menuju Maluku dan Pasifik
Namun kehidupan yang sudah berlangsung di kawasan Lore Lindu perlahan-lahan senyap denyutnya, meninggalkan jejak peradabannya yang tinggi. Padahal masyarakat purba saat itu telah memiliki kemampuan bercocok tanam dan memelihara ternak termasuk mengolah batu sekis atau granit yang dikenal keras. Beberapa dugaan menyebutkan bahwa hal itu disebabkan lembah ini merupakan daerah yang kerap dilanda gempa. Sesar Palu-Koro merupakan salah satu sesar teraktif di Indonesia setelah sesar Sumatera.
Namun Tanwir La Maming, arkeolog Sulawesi Tengah menyatakan kepada Ahmad Arif dan Aswin Rizal Haraha ,Kompas, bahwa perkiraan terputusnya khidupan megalitik di Lore Lindu disebabkan oleh penyakit schistosomiasis dari cacing pipih trematoda dari spesies Schistosoma japonicum. Tanwir menduga, migrasi manusia ke Sulawesi dari Taiwan dan China selatan juga membawa penyakit mematikan yang hingga sekarang bisa ditemukan di sekitar Lore Lindu.