Site icon Jernih.co

Malik: Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Malik selalu menemukan obrolan dengan laut. Suatu saat laut mengajaknya berbicara tentang kemerdekaan, tentang makna kebebasan. Tentang batas yang tak bertepi, seperti laut yang dilihatnya di cakrawala. Kadang dirinya mengajak laut berbicara tentang hidup dan tujuan yang hendak diraihnya

Pengantar :

Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—

Episode 16

Bab 9

Romansa di Tengah Samudera

Bagi orang awam, perjalanan mengarungi lautan luas barangkali benar merupakan pengalaman yang membosankan. Berhari-hari yang terlihat hanya air dan ombak, sejauh mata memandang. Kadang memang terlihat jauh ada daratan yang biru bagai gunung-gunung, terlihat kabur bagai tersaput kabut. Kadang bersua pulau-pulau kecil tak berpenghuni atau sesama kapal yang berlayar berlawanan arah. Semua hanya selingan di antara bagian utama, yakni pemandangan air, air dan semata air tadi.

Tetapi sekali lagi, mungkin itu hanya dirasakan orang awam. Orang-orang kebanyakan yang tak mencoba menafakuri apa yang mereka lihat. Tak punya keinginan untuk meresapi dengan hati dan naluri lembut dalam diri tentang apa yang sejati dari yang terpapar kasat mata di hadapan. Atau kalau tidak, barangkali juga mereka para kebanyakan itu bukan orang yang tengah sedikit merasakan luka hati. Seperti yang masih dirasakan Malik, meski luka akibat kecewa itu sebenarnya pelan-pelan mulai sembuh sejak ia menapak tanah Siantar, bergaul bersama Isa dan mendapatkan kepercayaan kembali akan kasih saying dengan berbagai bantuan dari warga komunitas Minang di Siantar. Orang-orang yang dengan ikhlas menolongnya untuk bisa berziarah haji ke Mekkah yang tengah dijalaninya kini. Orang-orang yang bahkan banyak yang tak ia kenal secara pribadi!

Perjalanan berbelas hari itu, empat belas kira-kira menurut penuturan seorang kelasi yang sempat diajaknya bicara, awalnya banyak diisi Malik berbicara dengan laut yang membentang luas. Ia sering memilih berdiam sendiri di geladak, memperhatikan laut yang kadang tenang, kadang bergelora. Tidak hanya pagi, siang, bahkan malam hari pun kerap ia lebih memilih berada di atas, di geladak, dibanding diam di dalam, berbaur bersama sekitar 1.400 jemaah haji yang berlayar menuju Pelabuhan Jeddah.

Malik selalu menemukan obrolan dengan laut. Suatu saat laut mengajaknya berbicara tentang kemerdekaan, tentang makna kebebasan. Tentang batas yang tak bertepi, seperti laut yang dilihatnya di cakrawala. Kadang dirinya mengajak laut berbicara tentang hidup dan tujuan yang hendak diraihnya. Dia bahkan berpikir, nun jauh di pantai sana, ombak tak pernah lelah mendatangi karang. Mungkin saja, pikir Malik, di awal sejarah, ombak betina yang marah menerjang gusar si karang jantan. Namun berabad-abad disongsong dada terbuka dan ikhlas, hantaman itu berubah sudah. Debur ombak yang menempa karang itu mungkin saja adalah suara mereka berdua yang tengah bercengkerama dalam belai mesra.

Laut juga menyadarkan dirinya bahwa dia dan ribuan orang yang berada di kapal besar itu benar-benar tak punya daya. Benar-benar kecil di hadapan laut maha luas yang membentang di hadapan, yang bisa tiba-tiba bergelora marah, menumpahkan mereka semua. “Benar,” kata Malik membatin. “Angku pernah berkata, luangkan waktumu sesekali untuk melaut, berlayar beberapa hari ke laut luas. Untuk menyadarkan betapa kecil dirimu, betapa rapuh hidup yang sangat kau cintai.”

Namun lama-lama Malik membatasi diri untuk menikmati kesendirian. Ganjil rasanya

menyingkir dari ribuan Jemaah lain, seolah ia memencilkan diri karena merasa diri lain.

Seolah ia khusus, dan orang-orang lainnya yang berebut tempat di kapal itu hanyalah orang kebanyakan. Dengan cepat ia kembali menjadi Malik yang mudah bergaul. Sekejap saja Malik telah menemukan kawan baik, sama-sama orang Sumatra. Ternyata sama-sama berangkat dari Belawan pula, Amir dan Barak.

Suatu subuh, Malik yang besar di surau itu merasa begitu ingin mengumandangkan adzan.

Ia kangen kehidupan di kampungnya, terutama kehidupan saat ia masih kanak-kanak. Mungkin tak ada salahnya, pikirnya, toh dengan begitu ia artinya mengundang orang-orang untuk bisa shalat berjamaah. Dua temannya itulah yang pertama kali menjadi makmumnya.

Itu pun karena keduanya menolak dimintanya menjadi imam shalat. Usai shalat subuh kerinduan Malik belum juga tuntas. Ia pun kemudian mencoba melunaskan rasa rindunya dengan membaca Alquran. Jadilah sampai matahari meletik anak muda itu menuntaskan sekian surat dalam Alquran. Suaranya mengalun merdu, mengundang banyak orang untuk diam-diam mendengarkan dan mengaguminya. Petangnya, ramai-ramai orang mendaulatnya menjadi imam shalat maghrib yang dijamak dengan isya.

Begitu terus setiap hari, tak ada yang mau menggantikannya. Alasannya, mereka suka dengan bacaan shalat Malik.

Saat Magrib itu juga Malik berkenalan dengan para jemaah haji dari tatar Sunda. Yang kemudian lebih akrab, para jemaah haji dari Cianjur, sebuah kota kabupaten kecil di Jawa Barat. Orang-orang Sunda ini gampang dikenali dari kesopanan dan sikap mereka yang  rata-rata baik hati. Karena bacaan Qurannya yang bagus itu Malik dipanggil orang-orang Sunda itu sebagai ‘Ajengan’, ‘Ajengan Abdul Malik’! tentu saja gelar yang ketinggian sebenarnya, karena di Sunda makna ‘ajengan’ itu sangat erat dengan pemilik pesantren.

Penerimaan orang banyak yang begitu baik kepadanya, membuat Malik kian percaya bahwa ia tak boleh memandang manusia dengan pikiran picik seperti di tahun-tahun belakangan.

Jangan hanya berpikir setiap orang itu jahat dan hanya ingin menjahatimu. Pada dasarnya manusia itu baik. Kalau mereka berbuat sesuatu yang tak kau sukai, periksalah, mungkin saja alasannya justru ada pada dirimu, pada kelakuanmu. Demikian ia kini berpikir. Pikiran itu tentu jauh lebih baik dibanding selalu berburuk sangka seperti sebelumnya. Perlakuan baik orang-orang itu pun membuat Malik senantiasa berusaha memperbaiki tindak tanduknya. Tak elok bila imam shalat berbuat yang kurang senonoh, pikirnya.

Tapi mungkin pula keinginan Malik untuk selalu bersikap baik itu juga punya sebab lain.

Pasalnya ternyata di antara para jemaah haji Sunda itu cukup banyak yang membawa serta berhaji putri-putri mereka yang tengah dalam usia mekar-mekarnya! Antara 16 hingga 18 tahun! Banyak gadis cantik yang ikut berhaji bersama kedua orang tua mereka di kapal itu!

“Harga kopi sedang naik, Ajengan,” kata Sukarta, jemaah haji asal Cianjur berusia awal 30-an. Ia menjawab pertanyaan Malik tentang sebab di balik banyaknya jemaah haji dari Sunda. Kang Karta, demikian Malik dan dua temannya menyapa sebagaimana keinginan orangnya, adalah pria yang amat sopan, namun jenaka. Cenderung polos, tepatnya.

Dengan harga yang sedang merangkak menuju puncak itu, kata Kang Karta, para petani kopi di Priangan mendapatkan rejeki nomplok. Banyak di antara mereka yang mampu membeli tanah sawah ladang berbahu-bahu, bahkan sampai ukuran hektare. Sebagian lagi, seperti umumnya para jemaah haji Sunda itu, ya dipakai buat naik haji ke Mekkah.

Iraha deui bade jarah ka Mekkah upami sanes ayeuna, Ajengan,” kata Karta. “Kapan lagi kami punya kesempatan berziarah ke Tanah Suci, kalau tidak saat ini.”

Alhasil, bila sore tiba dan matahari sudah cukup sejuk karena tengah terbenam, ramai-ramailah gadis-gadis Sunda itu naik ke geladak mencari angin. Biasanya mereka telah membawa serta mukena untuk ikut berjamaah maghrib nantinya. Tingkah laku dan lagak mereka terlihat manja, sesuai usia muda. Tak jarang kehadiran gadis-gadis sedikit mengurangi kekhusukan perjalanan ibadah menuju Mekkah itu.

Di antara mereka ada yang menjadi primadona. Usianya 17 tahun, bertubuh semampai, hitam manis khas mojang Priangan. Kulsum namanya. Malik sering tak sengaja melihat Kulsum memandangnya lekat-lekat, dan segera memalingkan pandangan manakala terpergok. Ah, buat pemuda tanpa banyak pengalaman bergaul dengan perempuan selain melalui surat, itu sudah cukup membuatnya ‘panas dingin’. Sikap Malik? Ya jangan tanya.

Sebagaimana ia memaknai tatapan para gadis dari atas podium, begitu pula kali ini. Ia dengan cepet ge-er, alias gede rasa. Malik terbuai rasa baper tingkat dewa!

Lama-lama Malik tahu kapan si manis Kulsum naik ke geladak, bergabung untuk menikmati angin malam sebelum tidur. Tidak sebagaimana teman-temannya sesama gadis, Kulsum memilih naik pada saat shalat berjamaah maghrib. Usai itu ia turun, lalu kembali lagi menjelang isya. Tapi kan isya sudah langsung dijamak dengan maghrib, jadi ia naik semata untuk cari angin.

Barangkali karena itu, habis maghrib Malik langsung sibuk membaca Alquran. Dia tahu, tak akan berapa lama setelah menamatkan satu surat yang relative panjang, Kulsum akan datang. Sebelum Kulsum naik, Malik tak akan berhenti membaca. Ia baru akan berhenti membaca manakala Kulsum sudah di geladak. Lalu mereka pun saling mencuri pandang.

Dada Malik akan berdebar-debar kencang manakala Kulsum terlambat naik ke geladak. Namun bila gadis itu telah berada di dekatnya, berjarak sekitar tiga meteran, tak ada yang Malik bisa lakukan. Paling banter itu tadi, mencuri pandang, yang kalau sekali saja terpergok, tak akan lagi ia ulangi pada kesempatan itu. Mengajaknya berbincang? Ah, mana ada ada keberanian dia!

Esoknya saat sarapan pagi Malik kembali berpapasan dengan Kulsum. Gadis itu tersenyum, namun malu-malu karena kemudian segera menutup mulutnya. Manis sekali di mata Malik.

Senyum itu dibalasnya. Tak ada sepatah kata pun keluar baik dari Malik maupun Kulsum, namun hati Malik sungguh pepak oleh rasa hangat yang tak mampu ia ceritakan dengan kalimat pujangga mana pun yang pernah dibacanya.

Malik duduk lebih dulu di jajaran kursi yang ada. Barak maupun Amir masih antre di meja panjang, mengambil makanan. Kulsum yang datang kemudian ke deretan kursi itu memilih kursi dan duduk. Hanya berjarak dua kursi di samping Malik. Tak ada seorang pun yang menghalangi keduanya. Malik menyuap sambil sesekali menoleh ke samping mencuri  pandang. Tatkala pandangan mereka sempat bertumbukan, senyum Kulsum mengembang mendahului Malik. Malik membalas. Namun tak berlanjut pada percakapan apapun. Selesai begitu saja sampai gadis itu kembali ke kamarnya di bawah.

Amir dan Barak yang tampaknya mengamati adegan tersebut segera mendatangi Malik begitu Kulsum hilang ditelan tangga geladak.

“Laaah, belum juga ada aksi yang kau lakukan, Malik,” kata Amir dengan nada menyesalkan.

“Harusnya kau sambar itu kesempatan. Ayolah, mumpung masih di atas laut. Urusan nikah di sini jauh lebih sederhana dibanding nanti di Jeddah.”

Malik diam saja. Ia galau. Menikah, jelas ia mau. Sudah sejak Padang Panjang ia minta kawin. Apalagi kini anak daranya pun jauh lebih cantik dan manis dibanding yang ia taksir di Padang panjang atau pun Maninjau. Tapi ia maju mundur. Ia tahu, cantik tak menjadi garansi pernikahannya akan baik-baik saja setelah perjalanan ini.

Amir benar. Selama pelayaran ini bukan hanya sekali Malik menyaksikan dua sejoli menikah. Bila keduanya merasa cocok, ada wali saksi lalu ada pula yang bersedia menggantikan peran penghulu, jadilah sebuah pernikahan sederhana. Biasanya di atas geladak kapal. Setelah prosesi pernikahan berlangsung, ada saja kiyai yang bersedia membacakan doa selamat. Biasanya digelar semacam kenduri kecil di antara orang-orang yang sudah mulai mengenal setelah beberapa hari berlayar bersama. Lalu malamnya dipasanglah oleh orang-orang kelambu untuk mereka berdua.

Mudah, tak terlampau banyak rukun dan syarat sebagaimana di darat. Malik melihat seorang penumpang muda yang dikenalnya di atas kapal, beberapa hari kemudian menikah dengan seorang janda kaya dari Betawi. Mula-mula mereka berdua bertemu di terali kapal, berbincang mengenai laut, ombak atau apa sajalah omong kosong yang mereka lihat. Lalu bergulir kepada saling mengenalkan orang kedua pihak. Bila dirasa cocok, menikahlah mereka. Malamnya satu lagi kelambu terpasang. Setelah itu mereka kemana-mana berdua, ke Mekkah, ke Madinah. Entahlah apakah pulangnya pun mereka tetap bersama atau tidak, Malik tak melihatnya lagi.

Sorenya Malik dicoba lagi dengan kedatangan Kang Karta. Orang Sunda yang kocak itu sore tersebut berubah sangat serius. Ia mengaku datang diutus kedua orang tua Kulsum.

Baik orang tuanya maupun Kulsum ternyata tak lancar berbahasa Melayu, bahasa yang dipakainya. Mereka menawarkan kemungkinan Malik menikahi anak mereka.

“Neng Kulsumnya juga sudah mau, Ajengan,” kata Kang Karta. “Dia senyum-senyum saja ditanya kedua orang tuanya.”

Saat Kang Karta bertanya sikapnya, Malik tak menjawab, hanya senyum-senyum saja. Darahnya berdesir hangat, dadanya bergolak. Malik terombang-ambing antara mereka tawaran menggiurkan itu, atau tidak dan tetap istiqomah pada niat semula: datang untuk berhaji, lalu tinggal sekian lama sambil belajar di Mekkah. Malik maju mundur, sebentar hatinya mau, sebentar kemudian kepalanya berteriak mengingatkan.

“Saya minta waktu istikharah ya Kang,” kata Malik akhirnya. “Karena saya berangkat benar-benar untuk berhaji, belum terpikirkan untuk berkeluarga.”

Kang Karta menyanggupi untuk memberitahukan jawaban Malik kepada keluarga Kulsum.

Ia segera kembali ke bawah. Sementara Malik pun ikut di belakangnya, dan berpisah menuju tempat masing-masing.

Sorenya Malik kembali bertemu Kulsum. Kali ini gadis itu ditemani ayah ibunya. Mereka memanggil Malik bergabung. Tetapi kemudian Malik malah lebih banyak mengobrol dengan bapak ibu Kulsum dibanding berbincang dengan gadis itu. Obrolan yang cukup menyulitkan, karena kedua orang tua Kulsum sedikit sekali menguasai perbendahaan kata Melayu.

Paginya Malik sendiri yang mendatangi keluarga Kulsum di ruang bawah. Ia merasa tak ingin mewakilkan urusan itu kepada Kang Karta. Orang tua Kulsum tampak kaget, meski terlihat jelas mereka berdua, juga Kulsum, senang dengan cara Malik. Mereka melihat anak muda itu tak hanya sopan, salih menjalankan agama, namun juga berani memikul tanggung jawab.

“Saya ingin membicarakan tawaran yang Bapak-Ibu berikan kepada saya, lewat Kang Karta,” kata Malik memulai pembicaraan. Dengan didahului tertawa sopan, ayah Kulsum menyilakan.

Intinya Malik menolak dengan sangat sopan tawaran untuk menikah itu. Malik juga heran, bagaimana bisa ia dengan lancar menjahit kata demi kata, menjadi serangkaian kalimat yang tak hanya membuat kedua orang tua mengerti, namun sadar dengan masih banyaknya tujuan Malik. Apalagi setelah mereka tahu betapa mudanya Malik saat itu.

Malik juga sangat diplomatis menuturkan pujian untuk kecantikan Kulsum. Terakhir ia minta agar sikapnya itu tak membuat hubungan baik mereka rusak.

“Tidak akan, Nak Ajengan,” kata Pak Kosasih, ayah Kulsum. “Jangan. Pepatah Sunda bilang, pondok jodo panjang baraya. Boleh saja kita tak berjodoh, karena jodoh itu sesuatu yang gampang-gampang rumit. Tapi hendaklah pertemuan yang sudah mengenalkan kita semua menjadikan kita seterusnya menjadi saudara.” Ayah Kulsum kemudian memeluk Malik erat sekali. Ia kemudian berkata, seolah sedikit mengeluh. Terdengar oleh Malik meski tak tahu apa artinya. “Ih, sugan teh bakal jadi minantu…”

Dua hari kemudian Malik dan rombongan tiba di Pelabuhan Jeddah, Arab Saudi. Sebelum menuruni tangga menuju pintu sempit yang hanya bisa dilalui satu orang, Malik bertemu Kulsum dan keluarganya. Kepada Kulsum Malik melempar seulas senyum yang menurutnya senyum terbaik sepanjang hidupnya sampai hari itu. Sementara kepada kedua orang tua Kulsum Malik bicara sebentar, pamit dan mencium tangan mereka. Malik melihat mata kedua orang tua itu seperti tersaput kabut. Ia juga tiba-tiba merasa sedih seolah akan segera kehilangan salah satu benda berharga yang selama ini dimilikinya.

Kemudian sampailah masing-masing orang harus melalui pintu sempit tadi. Di muka pintu itu masing-masing kepala dari syekh-syekh yang mereka tumpangi selama hidup di Arab menanyai orang satu persatu.

“Syekh siapa?” Dijawab orang yang ditanya dengan menyebutkan nama syekh mereka masing-masing. Malik sendiri sejak berangkat dari Belawan belum mengambil pilihan pada syekh siapa ia akan menumpang. Di sini pun ia masih ragu. Dia lama termenung sebelum memasuki pintu kecil itu. Ada banyak nama syekh yang disebut orang-orang, ratusan banyaknya. Ada Syekh Amiruddin bin Yakub, Syekh Abdullah Khalidi, Ismail Dardum, Ali Sungkar, Ali Kudus, Ali Rawal—syekh dengan nama awal Ali saja berpuluh banyaknya. Ada pula nama Abdullah Indrapuri, Abdullah Asyi atau Abdullah Aceh, Abdullah Mandili asal Mandailing.

Semua didengar Malik. Saad Banjar, Muhammad Batawi, Muchtar Syianjur, nama-nama yang menegaskan betapa banyaknya orang Indonesia yang disegani di Mekkah.

Sampai pada…Amin Idris yang didengarnya dari seseorang, terpaut tiga orang di depannya. Dorongan di belakangnya tak memungkinkan Malik tersu terdiam termenung memikirkan kepada siapa ia akan menumpang.

“Syafa namah?”

“Abdul Malik.”

“Jawi mana?” Semua orang Indonesia, Malaysia dan orang-orang Patani Thailand, memang seenaknya mereka panggil Jawi.

“Jawi Padang”

“Syekh Syafa?”

“Amin Idris.” Nama itu terlontar begitu saja dari mulut Malik. Orang di depan yang tadi menyebut nama Amin Idris menoleh ke belakang, tersenyum ke arah Malik.

“Wah, ternyata kita satu syekh!” Malik menjawab dengan menarik alis matanya.

Baru saja Malik dan orang yang ‘satu syekh’ dengannya keluar dengan ribet karena banyaknya tas bawaan, ditarik seseorang. Orang local yang bertanya,” Syafa syekh?”

“Amin Idris,” jawab keduanya.

“Sini, sini!” kata orang itu menarik mereka keluar kerumunan menuju sebuah warung kecil yang padat dengan orang yang tengah makan. Ada pula yang asyik minum syorbat atau sirup dengan rakusnya. Ada yang tenang menyesap kopi yang terhidang di hadapan. Banyak pula jamaah yang tengah menikmati martabak yang harumnya merangsang cacing dalam perut menggeliat kerubukan, makan sate dengan potongan daging besar-besar. Pokoknya suasananya khas pesta makan-makan.

Namun saat orang-orang itu beranjak dari bangku karena dipanggil berdasarkan nama syekh masing-masing, mereka dipaksa membayar. Itu memang warung makan, bukan bagian dari pelayanan para syekh yang mereka tumpangi. Hanya cara warung itu mengerahkan orang-orang untuk mengisi kursi dan bangku yang ada, jelas mengecewakan.

Malik pura-pura tak mengerti bahasa Arab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan lekas menuju barisannya. Selamatlah ia dari paksaan membayar sejumlah uang yang menurutnya sungguh kurang ajar! Setelah itu, setiap kali ada orang bertanya tanpa jelas perlunya,” Syafa syekh?”, Malik akan mendiamkannya, pura-pura pilon saja.

Hari itu semua rombongan dibawa ke Jeddah, terpisah menurut syekh masing-masing.

Besok pagi mereka akan menerima izin memasuki Mekkah dari kantor Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah yang dikepalai van Der Meulen. Esoknya, usai mengurus izin, mereka dibawa berziarah ke makam Siti Hawa. Nama Jeddah sendiri berarti ‘nenek perempuan’, wilayah tempat Siti Hawa dikuburkan. Kuburan yang panjang, di luar ukuran normal manusia. Baru sehari kemudian rombongan berangkat menuju Mekkah.

Tiba di Mekkah, di jarwal (pintu kota) sudah datang utusan para syekh menjemput jamaah masing-masing untuk dibawa ke pondokan yang telah disediakan. Malik dibawa ke Bukit Jiad, di kaki bukit Abi Kubais yang terkenal itu. Malamnya ia dibawa ke tempat thawaf dan sai.

Malik benar-benar menemukan sorganya. Semua orang disapanya dengan bahasa Arab. Toh ia juga memang tak jelek-jelek sekali berbahasa itu.

Dari jendela di tingkat dua, seorang perempuan muda Hejaz menjulurkan kepala dan berkata kepada malik, saat didengarnya bicara berbahasa Arab.

A Arabi anta ya Syab?” Apakah Engkau seorang Arab, Orang Muda?”

La- ana Jawi. Bukan, saya orang Jawa.”

La, la, anta Arabi, liaanak fasih!” Tidak, kau seorang Arab. Lidahmu sangat fasih!”

Ana Jawi, wallah! Demi Allah, saya orang Jawa!”

Ismuka? Namamu?”

“Abdul Malik.”

Ya khairul ism. Bagus namamu.”

Setelah itu, asal ia berpapasan saat keluar atau masuk kamar, perempuan muda itu selalu menegur Malik dalam bahasa Arab. Tak hanya perempuan muda yang tak sempat Malik tanya namanya itu, seorang anak perempuan Badawi tukang sapu pun kerap menegur Malik yang memang tergolong gampang bergaul. Suatu kali gadis Badawi itu berkata kepada Malik,”Laa tatakallam ma’ah, ya Abdal Malik, hia bathal. Jangan kau berkata-kata lagi dengan dia, Malik. Dia jahat.” Entah apa maksud gadis itu mengingatkan Malik tentang perempuan muda di lantai dua itu. Yang jelas, dari keduanya Malik merasa bisa melancarkan lidahnya berbahasa Arab.

Pada malam kedua di Mekkah, orang yang disebut Syekh Amin Idris datang membawa sebuah tempat besar. Rupanya ia datang untuk memungut bayaran dari jamaah, yang disebutnya ‘uang jamu’. Usai membayaar yang besarnya 74 gulden itu Malik seketika miskin. Uang yang dibawanya dari Medan hanya 500 gulden. Sebanyak 265 perak telah dibelikan tiket, lalu ada beberapa keperluan dasar seperti membeli kelambu gantung, handuk, dan pakaian ihram. Kini yang tersisa hanya 12 gulden, pada hari kedua di Mekkah, belum melakukan ritual haji! Belum lagi kemungkinan ia kena dam (denda) haji dan sebagainya. Bagaimana pula nanti mencukupi hidupnya yang paling tidak ingin berada di Mekkah ini setidaknya setengah tahun ke depan?

Di malam ketiga dirinya di Mekkah, Malik shalat magrib di Masjidil Haram. Usai shalat ia thawaf mengelilingi Ka’bah. Sebelum isya tiba, dengan hati yang begitu khusyuk Malik bersujud di depan Ka’bah, bergantung pada kiswah yang terurai menutup Baitullah.

Ia menangis, memohon petunjuk. Mohon diberi hidayah agar menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi sesama selama hidup. Ia memohon dosa-dosa ayah-ibunya diampuni, juga dosa-dosanya selama ini. Malik merasa, seumur hidup belum pernah ia berdoa sekhusyuk itu.

Sempat juga hati Malik tergoda rasa iri. Banyak di antara para jemaah dari Hindia Belanda saat itu terlihat berkelebihan bekal. Tak hanya itu, orang-orang sebangsanya yang tahun itu berangkat haji mencapai 64 ribu orang. Angka yang bahkan 20 tahun setelah itu pun belum juga disamai. Ternyata orang-orang bisa banyak yang berhaji dan berbekal lebih juga karena sedang naiknya harga komoditas perkebunan, terutama karet dan kopi. Ingin saat itu Malik mendatangi mereka, para orang kaya yang berhaji sepenuh kemewahan dan suka cita itu, memberitahu mereka persoalan keuangan yang membelitnya. Tapi tidak, itu tak akan pernah dilakukan oleh Malik.

Hari-hari berikutnya Malik membiasakan diri shalat maghrib di Masjid Haram, meski jauh. Dengan begitu ia bisa sering thawaf. Pada suatu kali, seseorang menarik bajunya saat thawaf. Ternyata Kang Karta.

“Wah, Alhamdulillah, apa kabar Kang Karta?”

Kang Karta seolah tak begitu ceria seperti biasa.

“Neng Kulsum udah menikah,” katanya. Malik hanya kembali mengucapkan syukur. Ia juga mendoakan agar keluarga baru itu menemukan kebahagiaan.

“Sampaikan salam saya buat Pak Kosasih, Ibu dan Neng Kulsum,” kata Malik, saat mereka berpisah kemudian.

Tetapi salam itu tak harus dititipkan. Beberapa hari kemudian, masih manakala thawaf, sebuah suara merdu menegurnya dari jarak dekat.

“Ajengan! Semoga selalu dalam lindungan Allah,” kata seseorang dengan cadar itu.

Tubuhnya berbalut baju panjang hitam-hitam. Hanya mata itu, mata yang bulat dengan bola mata hitam bening itu yang mengingatkan Malik akan Kulsum. Malik hanya mampu menjawab dengan dua kalimat. Menyebutkan kesehatan dirinya, serta doa untuk Kulsum dan ayah ibunya. Lalu mereka tak lagi bisa bicara di antara desakan ratusan orang yang tengah berthawaf itu.

Malik tetap mengingat momen-momen indah itu. Kadang kala, saat ia kembali berthawaf, seolah ada halusinasi sebuah suara merdu jernih menyapanya. Suara seorang gadis Cianjur yang kini telah dipetik orang. Sempat Malik mengenang momen-momen saat bersama di kapal Karimata. Setelah sadar semua itu hanya membawanya ke sikap melankolis dan seolah menyesal, ia tak pernah lagi mengingat-ingatnya. Apalagi ini ia mulai disibukkan dengan persoalan yang datang kian mendesaknya: bagaimana bertahan dengan uang yang semakin menipis di kantongnya. [bersambung]

Exit mobile version