Silek Surau Kumango terkenal di seantero tanah Minang. Awalnya jurus-jurus silek khas Kumango itu dikembangkan Syekh Abdurahman Al-Khalidi, mursyid tarekat Samaniyah yang memusatkan aktivitas di Surau Kumango.
Pengantar :
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—
Episode 14
Bab 8
Penyerangan di Kurai Taji
Tak lebih dari dua pekan kemudian Malik sudah berada di Padang Panjang. Benar saja, ia sempat kaget melihat perkembangan kotanya hanya dalam waktu dua tahun sejak ia tinggalkan merantau ke Jawa. Semua berubah. Nyaris setiap sisi kehidupan yang ia masuki, ia mendapati ayahnya menjadi sasaran tudingan dan hinaan para propagandis komunis. Masyarakat yang dulu begitu menghormati Haji Rasul, kini harus berhadapan dengan para pengikut komunis yang terang-terangan merendahkan ayah Malik itu.
Sering darah Malik mendidih, apalagi manakala mendengar langsung olok-olok yang dialamatkan kepada ayahnya itu. Mulai dari tudingan telah ‘men-cokro’ dana umat, antek Belanda yang sengaja membuat rakyat lembek, sampai hal-hal kecil yang diada-adakan.
Untung saja di Jawa Malik langsung mendapat teladan dari pimpinan besar SI, Cokroaminoto, yang selalu bisa menghadapi jebakan-jebakan kaum komunis itu dengan hati dingin.
Bukan sekali dua Malik menemukan ayahnya ditertawakan beberapa pemuda antek komunis di warung dan lepau. Namun alih-alih menghadapi bacot para komunis itu dalam debatdebat kusir di sana, Malik memilih cara yang juga diteladaninya dari Cokroaminoto: bicara terbuka di rapat massa atau pun di berbagai koran dan majalah.
Ia juga membuat majalah sederhana yang dibuatnya hanya sekitar sebulan setelah kedatangannya ke Padang Panjang. Namanya ‘Tabligh Muhammadiyah’, karena memang ayahnya sudah mendirikan cabang Perserikatan Muhammadiyah pertama di Sumatra, yakni di Sungai Batang, Maninjau. Di majalah itu Malik berperan sebagai penulis sekaligus pimpinan redaksi. Untuk mencetak majalah itu, kembali Malik berhubungan dengan Bagindo Sinaro yang memiliki percetakan ‘Badezst’.
Pengalaman di Yogyakarta benar-benar memberi bekal yang lebih dari cukup bagi Malik menjalankan fungsinya. Untuk menghadapi serangan kaum komunis, Malik setidaknya banyak dibantu buku ‘Islam dan Sosialisme’ karangan HOS Cokroaminoto serta catatan-catatan yang dibuatnya dari buku “Islam dan Materialisme’, tulisan Hujatul Islam Said Jamaluddin Al Afghani, ulama yang namanya mendunia. Belum lagi secara teratur iparnya, Sutan Mansur, mengiriminya ‘Seruan Al-Alzhar’ yang dikelola Mukhtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub dari Mesir.
Malik juga mulai berlangganan surat kabar untuk membuka cakrawala berpikir seluasluasnya. Tiap hari ia merasa harus membaca ‘Hindia Baru’ yang saat itu dipimpin H Agus Salim, serta ‘Bendera Islam’ yang dijagagawangi M. Tabrani. Ia juga sedapat mungkin bisa membaca edisi-edisi terbaru publikasi Serikat Islam maupun tulisan Ir Soekarno dari Bandung.
Yang lebih menggelorakan semangat Malik juga rentetan suksesnya perjuangan Mustafa Kemal di Turki, Emir Abdul Karim yang berjuang melawan penindasan Prancis dan Spanyol, serta Ibnu Saud yang berhasil menjungkalkan Syarif Husein di Hijaz.
Dengan kemahirannya berpidato, kini Haji Rasul memberi kepercayaan kepada Malik untuk ikut berdakwah. Dengan segera orang banyak mulai mengenalnya. Berbeda dengan sang ayah, pidato Malik cenderung tajam, keras dan lugas, dengan contoh-contoh peristiwa mutakhir, terutama yang terjadi di luar negeri dan di Tanah Jawa. Pidatonya itu cepat menarik minat orang-orang, membuat namanya mulai menjulang sebagai pendakwah muda yang mengerti bahwa Islam jauh lebih kompleks, selalu mampu menjawab persoalan dan agung dibanding Sosialisme-Komunisme.
Aktivitas barunya mendampingi sang ayah dengan segera membuat Malik tahu berapa beratnya beban ayahnya sebagai pendakwah sejak dulu. Sejak itulah aktivitas Malik menyerupai ayahnya. Kini Malik tak merasa payah walaupun sepekan harus berada di Maninjau, sepekan lagi di Padang Panjang, yang tak jarang harus ditempuh sebagian atau sepenuhnya dengan berjalan kaki. Tiap kali ayahnya memberikan waktu kepadanya untuk berpidato, Malik dengan berapi-api mengomentari serangan kalangan komunis. Tak jarang bahkan ia menyerang balik dengan telak, kadang dengan cara yang tak kurang kasarnya.
Kemahirannya berpidato serta tulisan-tulisannya yang mulai disukai membuat banyak pemuda-pemudi datang dan memintanya membuka kursus. Dua jenis kursus, yakni kursus berpidato dan kursus menulis. Dari kursus itu Malik punya keuntungan lain: daftar panjang para penulis di majalahnya, ‘Tabligh Muhammadiyah’. Tak jarang pidato-pidato yang ia muat di ‘Tabligh’ atas nama kawan-kawannya peserta kursus menulis itu sebenarnya adalah tulisan Malik sendiri! Beberapa kumpulan pidato itu kemudian bahkan dikumpulkan dan dibuat buku tersendiri yang makin menambah rasa senang kawan-kawannya yang memang merasa pidato tulisan mereka tak sebagus yang dibuatkan Malik.
Itulah cara Malik memasuki kalangan pemuda Tanah Minang, terutama Padang Panjang dan Maninjau, agar tak bergabung menjadi pengikut komunisme Datuk Batuah yang kian hari semakin banyak jumlahnya.
**
Suatu hari Malik mendampingi ayahnya berdakwah ke Kurai Taji, sebuah nagari di wilayah Nan Sabaris, Pariaman. Malik senang diajak serta, karena di sana ada dua orang teman akrabnya saat di belajar Sekolah Desa, juga di Thawalib. Keduanya adalah Asdi Udin dan Sidi Muhammad Ilyas yang dipanggilnya Hasmi. Berbeda dengan Malik, di saat kanak-kanak kedua temannya itu jauh lebih ‘beradab’.
Tetapi bukan hanya itu yang membuat pertalian batin antara Malik dan Kurai Taji begitu erat. Dari nagari tempat perdagangan kopra sehingga Belanda membangun tak hanya rel kereta api dari Teluk Bayur-Padang, ke Naras-Pariaman, tetapi juga mendirikan pabrik minyak kelapa itulah salah seorang Angku Malik berasal. Konon, karena gejolak keagamaan yang terjadi, maka angku dari pihak ayahnya pergi ‘larat’ ke wilayah Luhak dan kemudian bertempat tinggal di Maninjau. Alhasil, setiap kali pergi ke Kurai Taji, Malik selalu merasa ia pun tengah pulang ke kampung halaman meski tak ada lagi kerabatnya di sana.
Kepergian itu bukan tanpa rencana. Berbulan lalu Haji Rasul menyepakati undangan warga Kurai Taji untuk memberikan ceramah di desa mereka. Inilah waktunya, sebagaimana kesepakatan. Alhasil, tentu saja warga Kurai Taji pun sudah tahu akan kedatangan Haji Rasul jauh sebelumnya.
Meskipun ada jalan kereta api yang melintasinya, tak banyak jalanan beraspal di Kurai Taji. Apalagi lokasi mereka berceramah pun adalah sebuah masjid yang letaknya agak ke dalam kampung, jauh dari jalan besar. Otomatis bendi pun hanya bisa membawa mereka hingga pinggir jalan besar yang diperkeras dengan batu. Selanjutnya mereka harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki menuju lokasi.
Sekitar setengah kilometer dari mulut desa, tiba-tiba beberapa orang berlompatan dari pinggir jalan, menghadang keduanya. Satu, dua, empat orang. Pakaian mereka, entah mengapa serupa, baik serawal maupun ghaniahnya: hitam-hitam.
“Berhenti!” ujar salah seorang di antaranya, menghardik.
Haji Rasul berhenti, begitu pula Malik.
“Ini Haji Rasul ya?” tanya salah seorang tanpa sedikit pun mencoba bersopan santun. “Kalau tak salah, ini pula anaknya yang terkenal itu, Malik si jago pidato.” Kalimatnya saat mengucapkan ‘si jago pidato’ di telinga Malik terdengar melecehkan.
Malik langsung maju manakala namanya disebut-sebut dengan nada menghina itu. Namun ia tak urung tangan ayahnya menahannya, memberi isyarat bahwa Haji Rasul sendiri yang akan menghadapi.
“Benar, saya Haji Rasul. Ada apa, Dik?” katanya. Ia memanggil orang-orang itu ‘Dik’, karena jelas usia mereka di bawahnya. Rata-rata dua puluhan tahun. Orang yang tadi menghardik pun mungkin baru menjelang 30.
“Hm, jadi kalian yang sok alim mau memberi ceramah di Kurai?” kata orang itu. Tak terlihat sedikit pun niatnya untuk bersopan santun. Orang-orang di sekelilingnya hanya diam, tak ikut bertanya. Namun semuanya terlihat sama, mata dan sikap mereka seperti siap mengerkah kedua ayah-anak itu bulat-bulat.
“Ya bukan begitu. Kami diminta untuk sedikit bertukar ilmu agama oleh warga di sini,” jawab Haji Rasul tak menampakkan sikap gusar sedikit pun oleh perlakuan mereka. “Hm, bertukar ilmu agama ya? Bagaimana kalau kami minta kalian pun mau bertukar ilmu juga di sini. Tentu bukan ilmu agama.” Orang itu melirik rekan-rekannya, lalu tertawa tergelak.
Malik yang dari tadi menahan kesabaran tak bisa lagi diam melihat ayahnya diperolok-olok seperti itu.
“Hei!“ kata Malik berang. “Kalian sopanlah sedikit. Hanya orang pekok yang tak bisa bersopan santun saking bebalnya.”
“Malik!” Haji Rasul kembali mengingatkan anaknya. Ia bergegas menghampiri Malik yang melangkah mendekati pemuda yang kurang ajar itu. Untung saja Malik menoleh ke belakang. Pasalnya, baru dua langkah Haji Rasul mengejar Malik untuk mengingatkannya agar bersabar, seorang dari penghadang itu melangkah dengan cepat ke arah Haji Rasul. Di tangannya tergenggam sebatang kayu, siap untuk dipukulkan.
“Ayah, awas!” teriak Malik. Ia ngeri membayangkan, bila batang kayu itu menghajar kepala ayahnya, itu artinya ia akan berpisah dengan sang ayah. Tak mungkin batang kayu sebesar itu, dalam genggaman tangan pemuda sekuat itu tak akan menimbulkan cedera yang fatal.
Tetapi Malik lupa, Haji Rasul juga bukan seorang laki-laki yang ‘kosong’ tanpa ilmu kanuragan. Tak bisa dimengerti bila pada saat itu, seorang anak berumur 10 tahun seperti dirinya sudah diizinkan untuk pergi berhaji sendirian bila tak dibina lahir batin terlebih dulu. Mungkin di usianya yang lebih dari setengah abad Haji Rasul tak lagi berlatih secara teratur. Tetapi tak ada seorang pesilat pun yang melupakan seluruh ilmu silatnya. Bila kepalanya lupa mengingat rangkaian jurus, tangan, kaki dan seluruh badannya mungkin saja masih menyimpan ingatan akan gerak refleks yang sempat rutin dilakukan dalam latihan.
Dengan gesit Haji Rasul melangkah menyamping, mengelakkan hantaman kayu itu. “Wuusss!” Kayu itu melayang menghantam ruang kosong.
“Bletak!”, bunyinya manakala menghajar tanah, membuat orang yang memukulkannya terguling hilang keseimbangan.
Kini segalanya telah dimulai. Tak ada lagi perbincangan. Olah kata sudah selesai, tinggal olah raga.
Malik baru ingat, ayahnya pernah bercerita di masa kecil sempat belajar silek di Surau Kumango, di Tanah Datar. Silek Surau Kumango terkenal di seantero tanah Minang. Awalnya jurus-jurus silek khas Kumango itu dikembangkan Syekh Abdurahman Al-Khalidi, mursyid tarekat Samaniyah yang memusatkan aktivitas di Surau Kumango.
Namun sayangnya ingatan Malik pun mengingatkannya pada apa yang pernah diceritakan Haji Rasul. Silek Kumango bertumpu pada langkah nan ampek atau langkah empat. Pola langkah empat itu membagi ruang di sekeliling menjadi empat bagian: depan, belakang, kiri dan kanan. Dalam Silek Kumango langkah ampek ini di simbolkan sebagai langkah ‘Alif’, ‘Lam’, ‘Lam’, ‘Ha’ dan ‘Mim’, ‘Ha’, ‘Mim’, ‘Dal’, yang merupakan huruf hijaiyah dalam kalimat Allah dan Muhammad.
Salah satu bagian penting yang sangat diingat Malik dan membuatnya jeri, Silek Kumango selalu akan memberikan lawannya minimal empat kali serangan. Serangan pertama akan dielakkan, senyampang memberi lawan kesempatan berpikir bahwa berkelahi itu sama sekali tak perlu. Lalu elakan kedua, ketiga, dan keempat. Baru setelah elakan keempat, seorang pesilek Kumango ‘berhak’ menyerang balik karena sudah memberi lawan empat kali kesempatan ‘kembali ke jalan yang benar’. Serangan kelima bagi seorang pesilek Kumango adalah serangan yang ditunggangi setan. Namun justru itu yang Malik kuatirkan.
Maka tatkala orang yang barusan mengayunkan batang kayu kepada ayahnya itu bangkit, Malik tak hendak memberinya kesempatan untuk kembali menyerang. Dengan lompatan yang diajarkan Mak Tamam, kaki Malik melesat mengarah ke dagu yang terbuka karena konsentrasi lawan lebih terkumpul di batang kayunya kemana benda itu akan ia arahkan.
Ia hanya sempat terkesiap sejenak manakala sadar tumit kaki Malik yang melakukan gerakan hantam jo tumik menghajar dagunya dengan telak.
“Praak!”, bunyi keras dan khas itu memastikan orang tersebut tak akan pernah lagi menyerang, setidaknya dalam sebulan ke depan. Ia masih akan mendatangi tabib untuk penyembuhan dagunya.
“Malik!” seru Haji Rasul. Mungkin ia ingin mengingatkan bahwa sebenarnya sang anak tak harus melakukan sampai sebegitu jauh.
“Tak mungkin mundur, Ayah, mereka tak datang untuk berbincang,” sahut Malik. Matanya nanar dan waspada mengawasi tiga orang lainnya yang terlihat gusar. Mereka tampak sama sekali tak menyangka akan berhadapan dengan fakta yang kini teronggok di hadapan: tubuh seorang kawan yang merintih-rintih kesakitan dengan letak dagu yang tampak harus segera dibetulkan.
“Kurang ajar, dasar cecunguk Cokro!” kata seseorang. Sambil maju ke muka ia menarik sesuatu dari balik bajunya. Kerambit, tajam terasah.
“Mundur Ayah!” seru Malik saat melihat Haji Rasul hendak maju menghadang. “Biar kutangani.” Akhirnya Malik sadar dengan siapa mereka berhadapan. Selalu saja orang-orang merah, komunis yang penuh kebencian itu!
Dengan cepat Malik menarik lipatan kain sarung yang tersampir di lehernya. Ia pernah mempelajari jurus Silek Saruang dari Sutan Marajo saat menjadi orang Siak di Parabek.
Dibukanya lipatan sarungnya, dipegangnya salah satu ujung dengan tangan kanan. Jadilah kini sarung itu senjata di tangan Malik.
Tanpa didahului umpatan apa pun, orang tadi menusukkan kerambitnya ke perut Malik. Dari gerakannya jelas terlihat bahwa ia tak melakukan itu dengan setengah hati. Artinya, kalaupun kerambit tajam itu merobek perut Malik dan memburaikan ususnya, orang itu tampaknya tak ambil pusing. Kesadaran bahwa lawan yang dihadapi tidak main-main membuat Malik pun tak hendak bertaruh dengan nyawanya.
Diputarnya kain sarungnya sambil diarahkan menyerang tangan lawan yang memegang kerambit. Sarung itu membelit pergelangan tangan lawan, lebih kencang setelah Malik menariknya keras dalam satu sentakan.
“Sret!”
Dengan cepat Malik menyentak keras sarungnya yang membelit tangan lawan. Orang itu tertarik ke depan, sementara Malik melakukan langkah insuik dengan beringsut dua langkah ke depan. Alhasil saat tertarik oleh sentakan sarung kepala orang itu hanya setengah tangan dari Malik.
“Deg!”
“Wuaah!”
Siku kiri Malik dengan telak menghajar rahangnya, membuatnya jatuh. Ia hanya mampu mengaduh-aduh tak berkutik lagi.
Dua yang lain tampak mulai galau. Namun yang satu kalap dan mencabut ladingnya. Hanya belum lagi ia berpikir mau membabat sisi badan Malik yang mana, kepalanya langsung gelap berkunang-kunang. Ternyata Malik dengan cepat mengambil batang kayu yang dipakai orang yang kini merintih-rintih memegangi dagunya yang cedera. Kayu itulah yang menghajar kepala si pemegang lading, membuatnya kini terkapar pingsan tak bangkit lagi.
“Hai, hendak kau apakan tamu kami?” terdengar teriakan dari arah kampung. Sekitar 20-an orang warga kini berlari menuju ke arah Malik dan Haji Rasul. Kontan hal itu membuat nyali seorang lagi komunis yang tersisa menciut menjadi sebesar celurut. Tak melihat kemungkinan lain, ia segera kabur. Namun orang-orang tak memandang urusan yang barusan ia buat dengan kawan-kawannya sepele. Sebagian dari sekitar 20-an orang itu kini mengejar si komunis yang lari ketakutan.
“Aduuuh Buya, maafkan kami,” kata salah seorang warga. Tampaknya ia orang yang dituakan di sini.
“Maafkan kami telat menjemput sehingga terjadi hal seperti ini.” Ia kemudian bertanya kondisi Haji Rasul dan Malik, sebelum kemudian menanyakan kronologi kejadian.
“Mereka memang orang-orang komunis. Entahlah, betapa besar dan dalam dendam mereka kepada kita orang-orang Islam. Tak tahu mengapa,” kata orang itu sebelum membawa mereka ke masjid yang menjadi pusat acara. Ceramah itu sempat tertunda dengan kedatangan orang-orang yang mengejar seorang komunis yang lari. Ia tertangkap di sungai, bajunya basah penuh bercak lumpur. Haji Rasul dan Malik sempat keluar melihat orang itu.
Mereka juga tak ingin jamaah main hakim sendiri. Paling tidak, tidak di masjid tersebut, karena saat dibawa ke halaman masjid pun mukanya telah bonyok kebanyakan dihajar.
Susah payah Haji Rasul menghalau orang-orang yang hendak melampiaskan kemarahan mereka kepada orang yang mau mencelakakan tamu orang sekampung itu.
“Mereka bukan orang sini. Dia barusan mengaku sengaja datang dari Padang Panjang. Keamanan desa juga barusan menangkap tiga orang yang terkapar di mulut desa tadi. Ketiganya sudah ditelikung, dibawa naik bendi ke kantor polisi,” kata Asdi Udin yang ternyata sudah berada di masjid, mau ikut pengajian. Ia lantas bertanya kepada Malik seputar kejadian barusan. Tak cukup sekali ia memeluk sahabatnya itu tanda gembira
Malik baik-baik saja. [bersambung]