Pengantar:
Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).
Cerita bersambung di bawah ini mengulas sekelumit masa mudanya. Manakala ia masih seorang Malik.
Episode 1:
Bab I Antara Hidup dan Mati
Pemuda usia akhir belasan itu mengerang lirih. Ia merasa kepalanya bagai ditusuk ribuan jarum, lalu jarum-jarum itu membesar dan berputar mengaduk-aduk isi kepalanya. Tak hanya pening, sakit di kepalanya itu bahkan membuatnya mual. Ingin rasanya ia muntah. Namun apa yang akan ia muntahkan manakala kerongkongannya pun kering, kerontang bagai hamparan Arafah di hadapannya?
Kakinya baru saja sepuluh langkah meninggalkan kakus sederhana yang dibangun pemerintah Arab Saudi untuk keperluan wukuf ini. Kakus yang benar-benar sederhana. Tapi wajar, mengingat Bani Saud, penguasa baru Mekkah-Madinah itu baru saja merebut kedua kota tersebut dari kekuasaan Dinasti Utsmaniyah tiga tahun sebelumnya, 1924. Setahun kemudian Bani Saud menguasai Jeddah, manakala Ibnu Saud memproklamasikan diri sebagai ‘Raja Hijaz’ pada tahun itu pula.
Tadi, saat baru saja ia hendak memasuki kakus, hidungnya segera disengat bau. Sempat ia menarik kakinya yang telah masuk, setelah mendorong satu pintu kayu asal-asalan yang ditutup hanya dengan penghalang kayu kecil. Terbersit keinginan mengurungkan niat. Sepanjang hidupnya, meski baru 19 tahun, pemuda itu belum pernah membaui hawa sebusuk itu. Ia sempat mengingat-ingat, barangkali ada hewan di tepian Danau Maninjau yang memiliki bau semenyengat itu? Tembakan busuk Teledu atau Sigung pun tak pernah diciumnya segila bau ini. Tumbuhan apalagi.
Ia pernah menggosok-gosok daun Bandotan saat bersekolah di Sekolah Rakyat di Padang Panjang, lalu mengejar-ngejar para perempuan teman sekelasnya dengan remasan Bandotan di tangan. Anak-anak perempuan itu takut mencium, apalagi bila terkena remasan Bandotan yang bau busuk itu. Tapi bau Bandotan bahkan tak sepersepuluh kadar busuk udara yang barusan ia cium.
Entahlah kalau Bunga Bangkai. Meski pemuda itu sempat membaca bagaimana busuknya tumbuhan itu kala berbunga, ia hanya membacanya, tak pernah sempat punya pengalaman berdekatan dengan tumbuhan itu. Apalagi Bunga Bangkai banyaknya di Bengkulu, bukan di hutan-hutan kecil Padang Panjang, Maninjau atau paling jauh Payakumbuh yang pernah menjadi tempat bermainnya di masa lalu.
Hanya, bagaimanapun rasa mulas di perutnya tadi tak mungkin ia abaikan. Harus ia keluarkan agar tak meracuni tubuh dan mengganggu wukuf, hal yang boleh dibilang paling utama dalam prosesi haji. Ia ingat hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Hibban.”Al-Hajju Arafah”, bunyinya, bahwa puncak ibadah haji itu ya wukuf di Arafah ini. Sebagai seorang santri pemuda itu juga mafhum, kata Arafah, nama bentang alam tandus yang ada di sekelilingnya kini, memiliki makna ‘mengenal’ atau ‘mengetahui’. Semua kata itu bermuara dan menjelaskan proses pengenalan diri kepada Allah, makrifatullah. Singkatnya, wukuf adalah rukun haji yang mesti ia jalankan, tidak peduli tubuhnya dalam kondisi apapun! Tidak juga harus terganggu karena mulas yang melilit-lilit dalam perutnya.
Kesadaran itulah yang akhirnya tadi berhasil memaksa dirinya memasuki kakus sederhana itu, meski bau pengar segera menerjang lubang hidung, langsung ke otaknya. Sempat ia merasa limbung sebentar, menyaksikan gundukan kotoran di lubang di bawahnya. Ia berdiri di tiga batang papan yang melintang menjembatani dua sisi lubang pembuangan sementara itu. Lubang itu nyaris penuh, gundukan najis telah menumpuk hanya dua jengkal lagi menyentuh papan yang ia pijak. Wajar jika mengeluarkan bau yang bisa bikin orang semaput. Ia tak yakin, bagaimana petugas Kerajaan Hijaz akan mengambil tindakan pada lubang kakus yang hampir penuh itu. Apakah tumpukan najis itu diambil dan dibuang ke lain tempat, atau lubang itu hanya diuruk, dan terlupakan hingga tahun mendatang. Yang kedua tentu saja lebih praktis meski tidak higienis.
“Awak sekarang turut pula punya andil meracun para jamaah dengan bau,” kata dia dalam hati, sebelum berjongkok. Tangannya erat memegang pegangan melintang di depannya. Ia tak sanggup memikirkan bagaimana bila dirinya terpeleset dan jatuh di gundukan itu. Hiii…
Untunglah, perutnya begitu baik hati, sudi bekerja sama membuang racun dalam perutnya secepatnya. Usai membersihkan diri dengan air di sebuah tong besar, ia pun bergegas keluar sambil berharap tak akan lagi menyaksikan apa yang sempat dilihatnya barusan.
Saat melangkah keluar kakus itulah ia mulai merasa serangan ribuan jarum itu menusuk-nusuk kepalanya. Dirabanya keningnya. Panas dan basah oleh keringat. Pasti ada sesuatu yang ganjil dengan tubuhnya. Tanah Arab adalah adalah tanah yang jauh dari lembab, hingga berkeringat adalah hal yang tak biasa di sini. Itu yang membuat begitu banyak orang silap, tak sadar tubuhnya memerlukan air di tengah kekeringan tanpa lembab, lupa minum karena kondisi yang membuat keringat tak keluar dari tubuh. Jadi kalau saat ini dahinya basah oleh keringat, itu artinya memang ada sesuatu dengan tubuhnya. Ia tidak berada dalam kondisi kesehatan yang baik.
Tiba-tiba pemuda itu merasa perutnya bergejolak. Bukan serangan mulas seperti sebelum ia duduk mencangkung dalam kakus tadi, melainkan lambungnya kini seolah ditonjok-tonjok dari dalam. Tak hanya lambung, tonjokan itu kini menghajar ulu hatinya, membuatnya mual sangat. “Oooo!” pemuda itu mencoba muntah, mengeluarkan rasa sangat tak enak di perutnya. Barangkali dengan cara itu mual yang sampai membuatnya pening itu bisa hilang. Tapi tak ada apa pun yang keluar. Bahkan setetes ludah pun tidak. Mulut dan kerongkongannya telah kering sejak tadi.
Sejenak ditahannya langkahnya yang kian berat. Seolah rukuk, ia bertelekan pada lututnya, merasakan kepalanya yang semakin keras berdenyut sakit. Dilihatnya kini kanan, mencari kalau-kalau ada kursi, batang pohon, serpihan benteng, potongan tembok atau batu besar yang bisa dipakainya duduk. Tak dilihatnya semua yang ia idamkan itu.
Ia menghela nafas yang berat karena debu kini beterbangan dihembus angin samun yang panas. “Bertahanlah, Malik. Setidaknya sampai kau menuntaskan semua rukun hajimu,” kata pemuda itu kepada dirinya sendiri. Sengaja ia tidak membatin, melainkan mengucapkannya hingga mulutnya mengeluarkan desis. Meski terasa aneh, telinganya yang menangkap perkataannya sendiri itu seolah menjadi indra pendukung lain dari batinnya yang mencoba bertahan.
“Kau datang ke sini untuk berhaji. Bukan sekadar membuktikan bahwa kau mampu, tetapi lebih karena kerinduanmu kepada Penciptamu, Malik. Ayolah, sedikit lagi kau akan bertemu kemahmu. Bertahanlah di sana hingga semua ini tunai.” Kembali ia berkata kepada dirinya sendiri. Bila ada yang memperhatikan, bukan tak mungkin pemuda itu akan dianggap gila karena berkata-kata sendirian.
Diangkatnya kepala. Kemah yang ditujunya terlihat remang di hadapannya. Entah debu atau matanya yang dalam kondisi tubuh sakit yang membuat pandangannya pun turut terganggu. Namun ia mengenali bendera putih bertuliskan kalimat syahadah yang terikat di tongkat kerangka tenda, yang kini tergolek lemah setelah tiupan angin samun tiba-tiba terhenti. Demikian pula beberapa kain aneka warna yang diikatkan di tiang yang sama guna memperjelas keberadaan kemah yang tadi ia tinggalkan karena desakan perutnya itu. Kemah tempat pemuda itu dan sesama jamaah seperjalanannya berwukuf sebenarnya hanya berjarak tak lebih dari 50 meter. Hanya kondisi kesehatannya yang membuat tenda itu hanya remang saja tampak di matanya. Ke sana, dengan tertatih kakinya berjalan. [bersambung]