“Ia telah menghina saya. Ia telah menginjak-injak persahabatan kami. Ia telah meniduri ibu saya!”
“Apa?”
“Ya, saya menyaksikannya sendiri. Saya tahu semua itu tentu bukan atas kehendaknya sendiri. Pasti ibu saya yang menghendakinya. Dan ia hanya tidak bisa menolak…”
Oleh : Faisal Baraas*
JERNIH—Di pengadilan itu ia berdiri dengan penuh dendam. Matanya menyala bagaikan mata seorang pemberontak. Ia mengenakan baju biru muda lengan panjang, dengan kancing bagian atas yang dibiarkan terbuka. Dadanya tidak bidang, tapi cukup padat.
Ia memang tampak bagaikan seorang remaja yang bersih, dengan mulut rapat terkatup. Anak SMA itu terus-menerus menatap hakin di depannya, tanpa berkedip.
Di pengadilan itu orang-orang bergesekan, berdesakan, dan berkeringat. Mereka ingin menyaksikan jalannya persidangan yang mendebarkan itu. Dan siang pun makin menukik.
“Nama?” tanya hakim, pendek.
“Tidak!” jawab anak muda itu.
“Tidak?”
“Tidak penting!”
“Baik!” kata hakim, nafasnya tiba-tiba tersendat.
Sejak semula hakim itu sudah enggan menangani perkara ini. Ia tahu, tidak mudah memutuskannya. Anak muda yang berdiri tegak di depan itu bukanlah bagaikan sepotong arca yang gagu. Ia anak seorang demang yang berkuasa di kawasan itu. dapatkah ia mengadilinya nanti dengan adil? Anak muda itu sangat pemberani, matanya menyala.
“Saudara telah menembak belakang kepalanya…”
“Ya,” jawab anak muda itu dengan teguh.
“Dengan pistol inikah…?”
“Benar!”
“Apakah karena dendam?”
“Ya, saya memang sudah lama ingin menembaknya.”
Tapi korban adalah teman Saudara sendiri,teman bermain, bahkan teman sekelas di sekolah.”
“Benar!”
“Baik!” kata hakim.
Orang-orang yang berkeringat di ruang pengadilan itu mulai bergumam. Mendegung bagaikan tawon yang sakit. Hakim mengetukkan palunya ke meja. Pemeriksaan selanjutnya. Anak muda itu menyeka peluh di jidatnya. Sama sekali ia tak tampak lelah. Senyumnya pelan-pelan tipis membayang. Hatinya puas.
Pada malam itu, rumah memang sepi sekali. Ia menggenggam pistol itu dengan gemetar. Pelatuk ditariknya dan peluru tembaga itu melejit bagaikan kilat, lalu bersarang tepat di belakang tempurung kepala temannya. Kepala yang langsung terkulai, tanpa rintihan sama sekali.
“Itulah yang paling tepat untukmu,” katanya seorang diri.
Lalu sunyi menguasai ruangan. Setidaknya itulah yang dirasakannya saat itu. Ia tidak mendengar apa-apa, kecuali sunyi dalam ruang yang tak terbatas. Pistol terjatuh dari genggamannya. Tubuhnya pelan menjadi dingin.
Namun, siang ini ia justru merasa hangat, di ruang pengadilan yang penuh sesak, berdiri tegak di hadapan hakim yang berjubah hitam.
“Hakim dengan jubah hitam yang terhormat,” katanya dengan suara lantang. “Dengarkan kata-kata saya. Saya sungguh tidak menghendaki pengadilan ini menjadi bertele-tele. Pengakuan saya sudah gambling, terang bagaikan siang. Tak perlu lagi ada bukti-bukti baru. Sayalah yang telah menembaknya. Sayalah yang merencanakannya sendiri. Jatuhkan palu itu sekarang, saya sudah siap dipenjara….!”
Hakim mengetukkan palunya sambil berkata. “Ini bukan ketukan palu hukuman. Saya peringatkan Saudara, jangan bicara kalau tidak saya tanya!”
“Ini pengadilan, di mana saya bebas berbicara,” sahut anak muda itu.
“Di sini pun kebebasan tidak mutlak, Anak Muda,” kata hakim, suaranya sabar. Hening tiba-tiba.
Tapi keheningan itu pecah oleh benturan paku hakim. “Dengarkan kata-kata saya!” katanya. “Di ruangan ini kita berkumpul untuk menguraikan kebenaran sampai sejelas-jelasnya. Pengakuan mungkin sudah cukup, tetapi adakah pengakuan merupakan pertanda bahwa kebenaran sudah tuntas untuk dieja? Kami harus mengetahui pula motif kejadian itu sendiri. Sebab, Saudara masih remaja, mengapa Saudara sampai melakukannya?”
“Saya hanya ingin membela harga diri saya. Sebab, saya adalah lelaki. Ia telah menghina saya. Ia telah menginjak-injak persahabatan kami. Ia telah meniduri ibu saya!”
“Apa?”
“Ya, saya menyaksikannya sendiri. Saya tahu semua itu tentu bukan atas kehendaknya sendiri. Pasti ibu saya yang menghendakinya. Dan ia hanya tidak bisa menolak…”
Anak muda itu menundukkan kepalanya. Air matanya lepas menetes setelah pengakuan itu. Suaranya serak, hatinya sedih sekali. Hakim itu gemetar mendengarnya. Sungguh tidak disangkanya hal itu. Tiba-tiba ia tak sanggup mengetukkan palunya. Padahal, orang-orang yang memenuhi ruang pengadilan itu cekikikan,takjub, heran, tak percaya, tertawa, bersuit-suit….
Suasana berubah kacau-balau. Riuh rendah. Tapi hakim itu tak mendengarnya. Ia merasa dirinya jatuh dalam sunyi yang dalam.
“Tuhan…” bisiknya seorang diri. “Gejala apakah ini, ya Tuhan? Adakah orang tua menyadari kejadian ini sebagai akibat tingkah lakunya sendiri?”
Anak muda itu masih berdiri dengan tegak. Senyumnya membayang rawan, dan mulutnya membusa dengan dendam. Ia bernama Koko. Dan ibunya bernama Maria. Maria Magdalena. [ ]
*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985