Site icon Jernih.co

Menyeru Tuhan atau Memanggil Sosialisme?

Lennox juga berutang penjelasan atas soal virus sebagai pembentuk karakter dan pandemi sebagai berkah tersembunyi, sekaligus uraiannya tentang manfaat utama virus dalam ekosistem.

Oleh  : IGG Maha Adi

-“Sembari menunggu datangnya juru selamat, semoga ilmu kedokteran bisa menangguhkan pertemuan kita denganNya” — The Guardian, review buku John Lennox

-“Di dalam krisis, setiap orang menjadi sosialis” – Joan Walsh

1. Iman dan Ilmu

Dimana Tuhan di masa pandemi ini? Mungkin tidak di rumah ibadah. Mayoritas pemerintah di dunia sepakat bahwa gereja mesjid, sinagog, atau wihara statusnya seperti kasino atau panti pijat. Sama-sama non-essential services. Mereka dikunci. Namun, kita juga mafhum rumah ibadah itu struktur fana peneguh iman, karena Tuhan yang transenden-omnipresent itu pasti hadir juga di tempat yang paling dekat, yaitu di hati setiap umatnya yang percaya.

“Dimanakah Allah dalam Dunia dengan Virus Corona?” terbit pada saat yang tepat. Manusia butuh penghiburan di masa pandemi, karena bukankah beriman juga berarti bersuka cita? Buku John Lennox ini adalah apologetika Kristiani, bukan buku teologi.

Lennox yang profesor matematika di Oxford, juga seorang penginjil cum “advokat Kristus” kelas wahid dalam debat melawan ateis semacam Richard Dawkins atau Christopher Hitchens. Apa yang membuat buku ini menarik adalah usahanya menjawab beberapa soal yang selalu aktual untuk peran iman di dalam krisis. Misalnya dalam Bab1. “Perasaan Rentan” yang semenarik Bab3. “Apakah Menjadi Ateis Membantu?” dan Bab4. “Kenapa bisa ada virus Corona jika ada Allah yang adalah Kasih?”

Iman yang goyah butuh pegangan dan buku ini semacam tiang penguatnya; bahwa Tuhan tidak menjauh dari penderitaan manusia karena Ia sendiri menderita dalam penyalibannya. Bahwa ada maksud Tuhan di balik setiap penderitaan manusia—a greater good principle, dan kepastian akan datangnya Sang Juru Selamat umat manusia bagi mereka yang teguh kepada imannya.

Tapi buku ini tidak tanpa kritik. Bukan pada usaha padu padan realitas penderitaan dengan kitab sucinya, tetapi dalam materialisasi Lennox atas pandeminya. Sebutan natural evil pada patogennya, memberikan hakekat virus ini sebagai agen penyakit ciptaan Tuhan (siapa lagi?) untuk membunuh manusia, sekaligus berkesadaran untuk memutasi dirinya dan menjadi berbahaya. Ia juga berutang penjelasan atas soal virus sebagai pembentuk karakter dan pandemi sebagai berkah tersembunyi, sekaligus uraiannya tentang manfaat utama virus dalam ekosistem.

Lennox itu ilmuwan di salah satu universitas terbaik di dunia, profesor dari ilmu yang dijuluki ratunya sains yaitu matematika, sekaligus teguh pada iman Kristiani. Dan bukunya laris. Artinya, iman dan ilmu, keduanya dibutuhkan saat krisis dan bisa saling memperteguh bukan menegasikan. Iman, pada seluruh agama, jelas bukan vaksin Covid, dan betapa pun janji Tuhan itu semacam delayed gratification, tetapi tidak ada janji lain yang sekuat dan sepasti ini diyakini manusia. Bahkan tidak pada kepastian sains.

Khusus untuk derita yang enggan pergi, walau Tuhan diseru seribu kali, barangkali layak direnungkan ucapan C.S. Lewis, “Tuhan berbisik dalam kesenangan manusia, dan di dalam penderitaan manusia IA berteriak, karena itulah pelantang untuk menyadarkan dunia.”

Dan ibarat rumah yang jauh dari masjid, bila suara adzan yang berpelantang itu masih terdengar sayup saja di hatimu, mendekatlah. Semakin dekatlah.

2. Terpesona Wuhan

Saya mencoba menyimpulkan “Panik!” Zlavoj Zizek: Ia mengagumi komunisme Cina karena berhasil mengunci 10 juta orang di Wuhan selama Pandemi Covid19.

Pemerintah Cina melakukannya secara terpusat, cepat, dan terorganisasi. Produksi infrastruktur dan alat kesehatan selesai dalam waktu singkat di Wuhan. Dunia membutuhkan versi Cina itu menghadapi pandemi. Zizek menulis, tindakan yang tampaknya bagi sebagian besar dari kita hari ini disebut sebagai “Komunis,” harus dipertimbangkan pada tingkat global: koordinasi produksi dan distribusi harus dilakukan di luar koordinasi pasar. Kepanikan berhenti di Wuhan.

Kenapa kepanikan menarik? Panik itu irasional dan irasionalitas berada di luar kendali ekonometrika. Dalam kepanikan, semua merasa terancam karena itu semua ingin bertahan hidup: tisu toilet diborong, mie instan dijatah, barang ditimbun, tabungan dikeruk, toko dijarah, semua orang tinggal di rumah, jutaan orang tak bekerja, perdagangan berhenti, dan pasar pun macet. Perlu sedikit pemicu untuk mengobarkan kerusuhan sosial.

Karya Zizek ini dijejali satu gerbong penuh pendapat, berita, dan buku yang dikutipnya untuk membentengi alasan mengapa ia sampai pada kesimpulan itu. Tentu saja uraian dominannya adalah versi Cina yang mana yang dimaksudnya secara persis; apa yang dimauinya dan apa yang ingin dibuangnya dari Cina hari ini.

Zizek, dengan mengutip orang lain, menyebut Covid-19 sebagai “gladi bersih” menuju krisis ekologi global, dengan dua aktor utama yaitu virus corona sebagai patogen pandemi dan manusia sebagai patogen krisis iklim. Patogen Bumi ini adalah mereka yang memerangi manusia tanpa menyatakan perang, yaitu sistem sosial-ekonomi global di mana kita semua berpartisipasi.

Dan seperti Zizek, banyak orang menunjuk hidung Liberalisme-Kapitalisme sebagai Ibu Segala Krisis di muka Bumi. Belum ada isme lain yang dianggap bertanggung jawab sedemikian besar atas segala jenis krisis manusia selain keduanya—yang ketiga mungkin imperialisme. Zizek tidak bisa yang membayangkan Wuhan ada di Amerika, karena kelompok libertarian akan keluar rumah dengan senjata dan memprotes kebijakan itu sebagai konspirasi negara untuk menghancurkan kebebasan, lalu mereka mencari jalan sendiri. Dan itu terjadi.

Kenapa sistem dunia tidak siap menghadapi pandemi, padahal sudah diperingatkan selama bertahun-tahun oleh para ilmuwan? Karena kita tidak benar-benar yakin hal itu akan terjadi! Kata Zizek, negara Barat kini bereaksi berlebihan karena mereka terbiasa dengan kehidupan tanpa musuh nyata. Mereka menjadi terbuka dan toleran, dan tak memiliki mekanisme kekebalan ketika ancaman nyata muncul, lalu terlempar dalam kepanikan. Ia meramal mereka akan berpaling pada sosialisme, seperti ungkapan Joan Walsh, setiap orang menjadi sosialis di dalam krisis.

Inilah wajah sosialisme malu-malu: Dalam skema federal unemployment benefit, Presiden Trump memberikan para penganggur 600 dolar AS per minggu sampai akhir Juli, dan Demokrat mengusulkan tambahan stimulus selama pandemi sebesar 3,5 triliun dolar AS. “Keajaiban terbesar” barangkali ketika Partai Republik meminta medicare for all dilaksanakan. Banyak perusahaan besar mulai membayar paid sick leave, mengizinkan karyawan absen untuk merawat anak selama pandemi, dan memberikan bentuk jaring pengaman sosial lainnya.

Di Eropa, Spanyol menasionalisasi semua rumah sakitnya agar berada dalam satu komando pemerintah menghadapi pandemi. Ketika Italia memutuskan karantina total, Zizek menyebutnya aspirasi totaliter paling liar yang menjadi kenyataan.

Zizek juga mengkritik, lagi-lagi meminjam tulisan orang lain, kepedulian palsu Trump yang meminta warga Amerika segera kembali bekerja. Trump, tulisnya, bicara itu kepada pekerja yang dibayar rendah, mereka yang paling terpukul ekonominya karena miskin dan tak mampu mengisolasi diri karena harus tetap bekerja. Sedangkan kaum kaya yang akan diberikannya pengurangan pajak tetap bisa mengasingkan diri di pulau pribadi mereka. Data mendukung Zizek: selama empat minggu di bulan April, 621 orang miliarder Amerika meningkatkan kekayaan mereka sebesar 308 miliar dolar! Pada saat yang sama 30 juta pekerja di sana kehilangan pekerjaan.

Zizek sama sekali tak melihat mekanisme pasar ini bereaksi secara benar dan cepat dalam krisis global. Satu bentuk pasar bebas yang tidak diatur dengan kecenderungannya untuk menghadapi krisis dan pandemi, tentu sedang sekarat. Dimana mekanisme pasar ingin diterapkan di Amerika, ia selalu gagal merespon pandemi ini. Dan segera saja Trump berseteru dengan produsen masker 3M soal larangan ekspor ke pasar Cananda dan negara lain, General Motors yang batal diperintah memproduksi ventilator di bawah Defense Production Act (DPA), ada Kota New York yang rugi dalam kontrak bernilai puluhan juta dolar dengan produsen ventilator yang tak punya rekam jejak. Irlandia mengalami kejadian sama.

Ancaman Trump untuk menerapkan DPA kepada industri bisa membuat Zizek tersenyum, tetapi pembatalannya beberapa hari kemudian, bisa membuatnya terbahak-bahak. Ketika mencoba jalan pintas di luar pakem pasar, Amerika tampak betul tidak siap dan dipecundangi oleh para pebisnis.

Sampai hari ini Amerika belum berhasil memenuhi kebutuhan mesin ventilator—dan kebutuhan lainnya. Zizek menyangka Amerika lebih cemas bila isolasi dan karantina menjadi elmaut yang akan membunuh ekonomi mereka, dibandingkan berbela sungkawa untuk korban pandemi. Ia analogikan semua itu dengan dongeng “Janji di Samarra” dari Mesopotamia. Kemanapun berkelit, toh maut menunggu di Samarra. Karena bagi Amerika keruntuhan ekonomi adalah Samarra mereka, maka pesan Trump jelas: Kembalilah bekerja, jika saatnya mati kau tak bisa mengelak dimanapun berada.

Liberalisme juga bukan pilihan efektif meredam demonstrasi di dalam negeri. Ditambah karakter Draconian yang bersembunyi di bawah rambut jarang-jarang Trump itu, memakai militer menindas demonstran menjadi sah baginya. Ingatan kita melayang ke Tiananmen Protest 1989.

Untuk Barat, Zizek memberikan resep yang diolahnya dari Cina, yaitu memperluas campur tangan negara dalam peri kehidupan warga, tanpa menjelaskan batas-batasnya. Pada halaman lain ia mengakui bahwa individu yang terserang kepanikan untuk mencoba bertahan hidup, hanyalah subjek ideal bagi pengenalan kekuatan otoriter. Tetapi ia menambahkan bahwa “komunisme” yang dimaksudnya bukan bentuk dari abad ke-20, namun meninggalkan kita tanpa penjelasan benderang tentang bentuknya di abad ke-21.

Mari kita baca fakta selama pandemi. Alat kesehatan impor dari Cina yang diproduksi di bawah kendali negara itu, ditolak oleh Inggris, Spanyol, Italia, dan Perancis, karena kualitasnya yang buruk sehingga tak lolos uji. Alih-alih menyembuhkan, ventilator itu bisa jadi stempel masuk kuburan lebih cepat. Jika alat yang sama atau yang kualitasnya lebih buruk juga dipakai untuk para pasien di Cina, berapa sesungguhnya angka kematian Covid19 di sana? Tak heran banyak negara meragukan data pemerintah Cina.

Dan jika Cina bersungguh-sungguh peduli nyawa warganya, kenapa tiga minggu di awal mereka menyangkal wabah, mengabaikan bukti-bukti yang dibawa para dokter bahkan merundung dan membungkam dokter Li Wenliang? Bukankah mereka sebetulnya hanya mementingkan pencitraan kesuksesan? Bukankah pemerintah Cina sama saja seperti rezim Trump yang mementingkan ekonomi di atas keselamatan warganya? Jika Wuhan dianggap sukses plus digdayanya pelacakan digital Cina, kenapa gelombang kedua pandemi tetap datang ke kota itu, dan sistem yang dipuji Zizek sebagai efektif ini hanya berumur dua bulan?

Twitter baru saja menghapus 150 ribu akun yang melakukan kampanye pengelabuan informasi tentang Covid-19 dan demonstrasi di Hong Kong, dan mereka diduga kuat terhubung dengan pemerintah komunis Cina. Untuk apa semua penyesatan informasi itu? Dengan semua kondisi ini, apa yang dapat mencegah pemerintah Cina untuk menyembunyikan-dan melenyapkan-apa saja yang mengganggu stabilitas ekonomi mereka? Dan dengan semua karakter Orwellian itu, masyarakat seperti apa yang sungguh-sungguh akan kita bangun, apakah yang sekedar efektif dan efisien dalam distribusi logistik dan mempersetankan selain itu?

Jika hanya ini soalnya, Amerika Serikat sesungguhnya jauh lebih berpengalaman dalam mobilisasi skala besar. Silakan menengok sejarah. Semakin lama kita membaca Wuhan, Cina dan Pandemi ini, pertanyaannya memanjang.

Ada nasehat dari Ketua Mao, “Terlalu banyak membaca buku, berbahaya!” Wahai Ketua, Zizek dan rekan-rekannya rela menempuh bahaya itu demi pemahaman atas komunisme-mu. Kita layak menunggu Zizek yang berikutnya yang berhasil keluar dari bahaya itu.

3. Merasakan Pemerintah Cina

Ada atau tidak internet, kurungan tak pernah mematahkan semangat. Socrates, Galileo, Victor Hugo, Hemingway, Gandhi, bahkan Yesus Kristus mengalami social distancing.

Begitu juga Fang Fang, perempuan 65 tahun yang terkurung dalam karantina Wuhan selama 76 hari. Fang Fang alias Wang Fang adalah pemenang Hadiah Sastra Lu Xun tahun 2010. Ia hidup bersama anjingnya di sebuah apartemen di kota itu.

Wuhan Diary awalnya ditulis dalam bahasa Cina di Weibo, sebagai katarsis hariannya menghadapi penguncian kota. Tak dinyana puluhan juta orang dari seluruh dunia membaca dan menunggu lanjutannya, ingin tahu apa yang terjadi di sana, pada sebuah kota pertama yang dikarantina. Diari ini seputar makanannya, anjingnya, kondisi kesehatan dirinya yang pengidap diabetes, ditambah kesaksian atas kebaikan para tetangga dekatnya dan tanggapan atas berita tentang Covid-19 dan Wuhan.

Selama menulis ia merasakan intimidasi kelompok ultra-nasionalis karena dianggap merusak citra Cina dan Wuhan di mata internasional, dan penerjemah diarinya diancam pembunuhan.

Namun, kita akan kehilangan sentuhan dan rasa jika sebuah diari diceritakan kembali oleh orang kedua. Jadi silakan membaca sendiri jika berminat. Anda yang membaca buku Zizek, cobalah membaca diari ini dan resapi perbedaan antara melihat-lihat Cina dan merasakan pemerintah Cina. [  ]

*Mantan wartawan Majalah TEMPO dan National Geographic Indonesia. Kini sedang dan akan selalu bersenang-senang.

Exit mobile version