Jernih — Prostitusi telah ada sejak ribuan tahun silam. Dari berbagai studi menyebutkan bahwa prostitusi telah muncul dalam peradaban Mesir kuno di sekitar 4000 tahun yang lalu.
Demikian pula kisah perempuan-perempuan di Sumeria Kuno (5.500-4.000 SM) terbiasa menawarkan jasa pelayanan seksual di kuil-kuil Dewi Ishtar kepada para lelaki yang datang ke sana. Dalam peradaban Sumeria, Dewi Ishtar dikenal sebagai dewi perang dan cinta.
Hal itu mereka lakukan bukan semata-mata demi uang, sebagaimana yang dilakukan pekerja seks di zaman moderen. Seks dalam banyak kebudayaan Pagan dianggap sebagai ritual suci yang dapat menghubungkan manusia dengan dewa-dewi mereka.
Di zaman moderen, hal demikian sudah banyak ditinggalkan kecuali di tempat-tempat tertentu. Para penjaja kenikmatan ragawi di era moderen menjual jasa pelayanannya demi lembaran uang. Menyoal praktik prostitusi pasti membicarakan para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang merupakan “aktor utama” industri ini.
Profesi ini telah menuai banyak kontroversi. Di beberapa negara, profesi ini ilegal dan dilarang. Di negara-negara lain, seperti Indonesia, profesi ini berada di wilayah abu: boleh tapi meresahkan.
Sementara di beberapa negara yang relatif lebih “bebas”, seperti Taiwan, India, Argentina, dan beberapa negara lainnya, pekerja seks adalah profesi yang legal. Menjual jasa semacam itu bukanlah pelanggaran hukum positif.
Di masa pandemi, industri hiburan malam sudah pasti mati total. Praktik mereka yang acap kali “bersentuhan fisik” menyebabkan para PSK masuk dalam golongan yang rentan tertular COVID-19, selain, tentu saja, virus dan penyakit lainnya seperti HIV-AIDS dan berbagai jenis Penyakit Seks Menular.
BBC Indonesia merilis video berjudul Kisah Pekerja Seks Bertahan Hidup Di Tengah Pandemi di kanal YouTube-nya pada 1 September 2020. Dalam video tersebut, Li Yishan, seorang PSK di Taiwan, membagikan kisahnya.
Li Yishan, seorang pemandu lagu di sebuah bar karoke dan panti pijat “plus-plus” di Taiwan, mengaku harus putar otak untuk menyiasati kondisi keuagannya yang lesu sejak pandemi menghantam negaranya.
Di Taiwan, pemandu lagu yang punya “sampingan” sebagai pekerja seks adalah hal legal. Demikian pula tempat hiburan malam yang menawarkan berbagai jasa “plus-plus”, adalah badan usaha diakui negara.
Tanggal 8 April 2020, seorang pekerja seks di ibu kota Taiwan, Taipe, dilaporkan positif tertular Corona. Untuk mencegah wabah semakin meluas, keesokan harinya pemerintah menutup seluruh tempat hiburan malam di sana. Sejak saat itu, penghasilan Li merosot drastis.
Ia mengaku berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, ia sangat peduli pada kesehatan dan mendukung upaya pemerintah memutus mata rantai penularan virus asal Wuhan ini.
Di sisi lain, ketika mata pencahariannya terdampak akibat kebijakan pemerintah dalam rangka upaya melawan COVID-19 tanpa kejelasan tunjangan dari negera, ia merasa diperlakukan tidak adil.
“Saat pandemi, kita semua punya kewajiban untuk mencegah penyebaran virus. Tidak mudah bagi seorang pekerja hiburan malam untuk mendapat pekerjaan lain. Beberapa pelanggan mungkin akan komplain karena [mendapat] perlakuan yang berbeda,” ungkapnya.
Diakuinya, sebagai seorang ibu, ia lebih khawatir tertular virus. Namun, jika ia tak bekerja, artinya tak ada penghasilan yang ia dapat.
Ketika tempat kerjanya ditutup, Li memperoleh kompensasi sebesar Rp10 juta. Perempuan yang mengaku pernah memperoleh penghasilan sebesar 35 juta rupiah dalam 15 hari ini akhirnya mencoba merintis bisnis puding telur demi mencukupi kebutuhan hidup ia dan anaknya yang ia besarkan sendiri tanpa kehadiran suami. Li membuat, mempromosikan, dan mengantar sendiri barang dagangannya.
“Pendapatan saya saat ini tidak sebesar saat saya bekerja [sebagai PSK]. Biasanya saya menghasilkan Rp300.000 dalam satu jam, tapi sekarang butuh semalaman untuk mendapat uang sebanyak itu,” tuturnya.