Mekanisme biologis dan biokimiawi ini kini dapat terpantau secara akurat berkat teknologi biometrik. Data-data tersebut dapat langsung dikirim ke server secara daring. Berkat kemajuan teknologi, data ini dapat dianalisa secara otomatis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang.
Jernih — Telah menjadi pengetahuan umum bahwa COVID-19 memporak-poranda semua aspek kehidupan. Sektor ekonomi disebut-sebut paling hebat terkena dampak. Beberapa negara bahkan telah mengumumkan resesi.
Tak hanya ekonomi, kehidupan keagaamaan pun terkoreksi cukup signifikan akibat pandemi ini. Salah satu yang menyita perhatian dunia adalah ditutupnya salah satu situs bangunan suci dan terbesar umat Islam, Masjidil Haram, di Saudi Arabia pada 20 Maret-31 Mei 2020
Di beberapa daerah di Indonesia, penyebaran virus SARS-CoV-2 ini mengganggu agenda Pemilihan Kepada Desa (Pilkades) Serentak Tahun 2020. Milyaran rupiah uang dana kampanye tak segera “balik modal” lantaran waktu pencoblosan yang diundur, mengalah pada agenda Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) yang dihelat diwaktu yany nyaris bersamaan.
Pandemi ini juga menghajar sektor pendidikan dan kesenian. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tidak dilakukan dengan cara tatap muka langsung sebagaimana biasanya, melainkan melalui jejering internet alias sekolah dalam jaringan (daring). Sejak dicanangkan, program itu tak habisnya menuai berbagai kontroversi dan permasalahan.
Sementara itu, pentas-pentas seni yang pasti mengumpulkan banyak orang ditunda, dibatalkan, atau dialihwahanakan menjadi pertunjukan daring atau populer dengan istilah pertunjukan virtual.
Sedemikian luar biasa dampak bencana ini pada kehidupan manusia di abad 2. Para pemikir dunia pun angkat bicara menyoal situasi ini. BBC Indonesia mengunggah video berjudul Dunia Setelah Pandemi: Ancaman Rezim Totaliter, Resesi, Hingga Pemanasan Global di kanal YouTube-nya.
Dalam video berdurasi 6 menit 11 detik tersebut, para pemikir dunia menyampaikan analisa dan gagasannya mengenai bagaimana kehidupan manusia pasca pandemi COVID-19. Salah satu bidang yang disoroti adalah bidang keamanan dan pengawasan.
Penulis buku Homo Sapiens, Homo Deus, dan sejumah buku sejarah dunia lainnya, Yuval Noah Harari, menjelaskan bahwa pandemi ini bisa menjadi momen yang mentukan perubahan signifikan di bidang kemananan dan pengawasan.
Negara, menurutnya, selama ini hanya mengawasi apa yang terjadi “di atas kulit” para warganya. Mereka mengawasi siapa bertemu siapa, di mana mereka bertemu, apa yang mereka bicarakan, dan hal semacam itu.
Pengawasan ini tak hanya di lakukan oleh negara. Pihak swasta, demi kepentingan bisnis, mengawasi sejumlah orang untuk menentukan cara dan komoditas apa yang tepat dijual pada mereka.
Sejarahwan asal Israel ini mengatakan, pandemi ini telah mengubah pengawasan keamanan tak hanya pengawasan “ di atas kulit”, melainkan juga pengawasan “di bawah kulit”. Pihak otoritas tak hanya mengawasi apa yang dapat diindra secara langsung, namun juga segala “peristiwa” yang terjadi dibalik kulit manusia, seperti tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung, kadar oksigen, hingga produksi hormon.
Mekanisme biologis dan biokimiawi ini kini dapat terpantau secara akurat berkat teknologi biometrik. Data-data tersebut dapat langsung dikirim ke server secara daring. Berkat kemajuan teknologi, data ini dapat dianalisa secara otomatis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang.
Di masa pandemi, data semacam ini penting. Dikatakan Yuval, kemajuan teknologi ini dapat menjadi dasar program jaminan kesehatan yang lebih baik. Pihak yang memiliki akses pada data dapat mengetahui kapan seseorang akan sakit sebelum orang itu menyadarinya.
Namun, hal ini juga berpotensi melahirkan rezim yang totaliter. Dengan teknologi ini, pemerintah sebagai otoritas pengawas keamanan dan pemegang akses terhadap data biometrik itu dapat mengetahui pilihan dan kecenderungan politik serta perasaan seseorang.
“Cara itu bisa memberi informasi apakah kita sakit atau tidak. Tapi juga bisa memberi informasi tentang apa yang kita rasakan. Karena perasaan itu sama seperti penyakit, sebuah fenomena biologi,” jelas Yuval.
Melalui pengawasan “di atas kulit” pemerintah dapat mengetahui program televisi apa yang sedang ditonton oleh seseorang, misalnya. Dan melalui pengawasan “di bawah kullit”, pemerintah dapat mengetahui reaksi biologis tubuh orang itu ketika menonton program tersebut.
Data kondisi tubuh tersebut mengindikasikan situasi emosi dan perasaan tertentu sebab, sebagaimana Yuval berkata, perasaan dan emosi dipengaruhi kuat oleh produksi hormon yang mana akan berpengaruh juga terhadap tekanan darah, denyut jantung, dan metabolisme lainnya.
Singkatnya, pemerintah dapat mengetahui apa yang dirasakan orang itu ketika menonton program tersebut. Dua data ini dapat dianalisa sedemikian rupa sehingga muncul kesimpulan mengenai karakter serta kecenderungan orang yang “dimata-matai”.
Meski demikian, hal “mengerikan” ini belum terjadi. Pemerintah Tiongkok dan beberapa negara yang telah mengembangkan teknologi semacam itu belum terlaporkan “memata-matai” perasaan dan emosi warganya.
“Tentu saja semua ini masih bisa dihindari. Teknologi bukanlah penentu. Meski rezim totalitarian terbentuk, itu semua tergantung pilihan kita masing-masing beberapa tahun mendatang. Saya harap kita semua dapat menentukan pilihan dengan tepat,” kata Yuval memungkas penjelasnnya.
[ ]