Jernih.co

Sebagai Presiden, Kok Bisa-bisanya Trump Mangkir Bayar Pajak?

Trump hanya membayar pajak penghasilan federal sebesar 750 dolar AS (kurang dari Rp 11 juta dalam kurs Rp 14.500) pada 2016 ketika memenangkan Pilpres AS 2016

JERNIH – Terkuak fakta baru bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump dilaporkan hanya membayar 750 pajak pendapatan federal pada tahun ia mencalonkan diri. Ia juga bahkan sama sekali tidak membayar pajak penghasilan di tahun-tahun sebelumnya.

Pengungkapan mengejutkan itu mengancam akan melemahkan daya tariknya di kalangan pemilih kerah biru dan memberikan peluang baru bagi capres Partai Demokrat Joe Biden menjelang debat pilpres pertama pada Selasa (29/9), hari ini.

Trump telah bekerja selama beberapa dekade untuk membangun citra dirinya sebagai raksasa bisnis yang sangat sukses, bahkan memilih julukan “Mogul” sebagai nama kodenya di Dinas Rahasia AS.

The New York Times Senin (28/9) mengungkapkan, Trump hanya membayar pajak penghasilan federal sebesar 750 dolar AS (kurang dari Rp 11 juta dalam kurs Rp 14.500)  pada 2016 ketika memenangkan Pilpres AS 2016 dan pada 2017, tahun pertamanya menjabat. Trump tidak membayar pajak penghasilan apa pun dalam 10 dari 15 tahun sebelumnya, sebagian besar karena dia melaporkan kehilangan lebih banyak uang daripada yang dia hasilkan, tulis The New York Times. Surat kabar itu memperoleh data pengembalian pajak Trump selama bertahun-tahun yang telah lama berusaha dirahasiakan oleh Trump sendiri.

Perkembangan terbaru itu terjadi pada saat yang sangat genting bagi Trump. Kampanye sang petahana telah bergulat untuk mengatasi kritik terhadap penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintahan Trump. Kabar itu juga memberi Biden peluang serangan mudah menjelang debat pilpres perdana pada Selasa (29/9).

Pemungutan suara awal sudah terjadi di beberapa negara bagian. Hari Pemilihan hanya sebulan lagi pada 3 November 2020. Dengan demikian, Trump tampaknya kehabisan waktu untuk memulihkan reputasinya.

“Donald Trump membutuhkan pemilihan ini untuk membuat segalanya tentang Joe Biden sebagai pilihan yang buruk,”ujar konsultan Partai Republik sejak lama, Alex Conant, sebagaimana catatan 9news.com.au yang mengutipnya dari Associated Press. “Kabar terbaru ini memfokuskan tepat pada karakter Trump dan kekacauan yang terjadi pada malam paling penting dari kampanye: debat pilpres.”

Tentu saja, Trump telah berulang kali menghadapi dan berhasil selamat dari skandal yang menghancurkan dan biasanya akan menenggelamkan karier para politisi lain.

Salah satu skandal itu termasuk rekaman Access Hollywood yang dirilis pada Oktober 2016. Dalam rekaman itu Trump terdengar membual telah mencium dan meraba-raba sejumlah perempuan tanpa persetujuan mereka. Video itu dirilis hanya dua hari sebelum Trump menghadapi capres Partai Demokrat Hillary Clinton dalam debat pilpres kedua. Rilis video itu dianggap sebagai lonceng kematian bagi kampanye Trump saat itu.

Dalam titik ini di Pilpres AS 2020, dengan pemungutan suara sudah berlangsung di banyak negara bagian dan begitu sedikit pemilih yang masih ragu-ragu, tidak jelas apakah pengungkapan baru tentang Trump akan menimbulkan perbedaan berarti. Dukungan untuk Trump selama bertahun-tahun tetap sangat konsisten, menurut hasil jajak pendapat selama masa kepresidenannya.

Namun, tuduhan pajak menjadi inti daya tarik Trump, terutama di kelangan pemilih kerah biru di negara bagian seperti Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan yang mendorongnya ke kursi kepresidenan pada 2016.

Trump didukung oleh sekitar dua pertiga pemilih kulit putih tanpa gelar sarjana, menurut analisis Pew Research Center, dibandingkan hanya sekitar 2 dari 10 warga Amerika non-kulit putih yang tidak bergelar sarjana, sebagaimana ditulis Associated Press.

Dalam jajak pendapat Gallup pada Februari 2016, pendukung Partai Republik yang ingin melihat Trump memenangkan nominasi partainya menyebut pengalamannya sebagai pengusaha sebagai alasan terpenting kedua mereka mendukungnya. Alasan itu hanya dilampaui oleh status Trump sebagai non-politisi dan orang luar.

Bahkan hingga saat ini, ketika diminta untuk menjelaskan dukungan mereka kepada Trump, para pemilih seringkali menyebut kesuksesannya dalam bisnis sebagai bukti kecerdikan.

Para pendukung tersebut seringkali mengulangi poin pembicaraannya yang menganggap Trump telah mengirbankan banyak hal untuk melayani sebagai presiden, sebagai bukti Trump mencalonkan diri untuk pekerjaan itu bukan untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, para pendukung menganggap Trump maju Pilpres AS 2016 karena peduli untuk meningkatkan kehidupan rakyat Amerika seperti mereka.

Namun, reputasi pria yang hidup dalam kemewahan sementara kikir membayar pajak tentu dapat memicu reaksi yang serupa dengan apa yang dihadapi calon wapres Partai Republik pada Pilpres AS 2012. Dalam rekaman diam-diam, Mitt Romney mengatakan 47 persen orang Amerika yang tidak membayar pajak penghasilan “bergantung pada pemerintah” dan tidak akan pernah memilih dirinya. “Pekerjaan saya adalah tidak mengkhawatirkan orang-orang itu. Saya tidak akan pernah meyakinkan mereka untuk mengambil tanggung jawab pribadi dan menjaga keberlangsungan hidup mereka,”kata Romney.

Sekitar setengah dari rakyat Amerika tidak membayar pajak penghasilan federal. Namun, pajak penghasilan rata-rata yang dibayarkan pada 2017 hampir 12.200 dolar AS–jauh di atas apa yang dibayarkan Trump– menurut Dinas Pajak AS (IRS).

Partai Demokrat dengan semangat memanfaatkan pengungkapan skandal terbaru Trump kali ini. Toko online kampanye Biden bahkan menjual stiker yang berbunyi “Saya membayar lebih banyak pajak penghasilan daripada Donald Trump” pada Minggu (27/9) malam.

Pemimpin minoritas Senat AS dari Partai Demokrat Chuck Schumer menulis emoji dan pernyataan di Twitter yang meminta para pengikut akunnya untuk mengangkat tangan mereka “jika Anda membayar lebih banyak pajak penghasilan federal daripada Presiden Trump”. [The New Yor Times]

Exit mobile version