Jernih.co

Tak Mampu Mengisolasi Diri, Mereka Berkomuter dan Terus Bekerja

Sekarang sistem commuter line lebih menunjukkan simbol ketidaksetaraan di kota, memperkuat kesenjangan antara mereka yang memiliki sarana untuk berteduh secara aman di rumah, dan mereka yang harus terus memberanikan diri menumpang angkutan umum guna mencari sesuap nasi

NEW YORK–  Penggunaan commuter line telah begitu anjlok dalam beberapa pekan terakhir seiring merebaknya virus corona dan imbauan pemerintah agar warga mengisolasi diri. Tetapi di kawasan-kawasan paling miskin di Kota New York, hari-hari msih diisi mereka yang mengendarainya untuk mencapai tempat kerja sehari-hari.

Karena pandemi coronavirus telah membayangi seluruh New York City, kereta bawah tanah– lambang kota yang setiap saat penuh sesak, kini menjadi hampir tidak dapat dikenali, dengan jumlah penumpang yang turun hingga 87 persen.

Tetapi bahkan ketika pemerintah kota menindak setiap pertemuan di New York, menutup tempat-tempat kongko dan mengirim polisi untuk membubarkan kerumunan, stasiun kereta bawah tanah di lingkungan yang paling miskin masih ramai. Seolah taka da yang terjadi, seolah si virus corona masih asyik bercengkerama dengan bangsa Cina.

Dulu, sistem commuter berupa kereta bawah tanah itu telah lama menjadi penyeimbang yang hebat. Ia merupakan sebuah ruang egaliter tempat para pekerja setiap jam berdesak-desakan bersama para eksekutif keuangan dan top level manajemen. Sekarang kereta bawah tanah lebih menunjukkan simbol ketidaksetaraan di kota, memperkuat kesenjangan antara mereka yang memiliki sarana untuk berteduh secara aman di rumah, dan mereka yang harus terus memberanikan diri menumpang angkutan umum guna mencari sesuap nasi.

Seorang commuter keluar dari gerbong di sebuah stasiun di Kota New York

“Virus ini sangat berbahaya. Saya tidak ingin sakit tentu. Saya tidak ingin keluarga saya sakit, tetapi saya harus bekerja,” kata Yolanda Encanción, seorang pembantu rumah tangga, ketika dia menunggu kereta di Bronx.

Stasiun yang ia gunakan adalah salah satu dari dua stasiun kereta di Bronx yang masih bertahan melayani warga di kawasan dengan tingkat kemiskinan tertinggi di New York.  Stasiun 170th Street di lingkungan University Heights dan stasiun Burnside di daerah Mount Eden, dikelilingi komunitas besar imigran Amerika Latin dan Afrika yang berpendapatan setahun rata-rata hanya sekitar 22.000 dolar AS, atau sepertiga dari pendapatan rumah tangga rata-rata di negara bagian itu.

Banyak warga mengatakan mereka tidak punya pilihan selain naik kereta, bercampur  dengan orang asing, yang berpotensi membuat mereka tertular virus. Lebih buruk lagi, pengurangan layanan sebagai tanggapan atas anjloknya penumpang, kadang membuat commuter di jam-jam tertentu menjadi lebih penuh sesak, memustahilkan jarak aman untuk terpaan virus.

Di New York, Gubernur Andrew M. Cuomo mengatakan hampir 66.500 orang dinyatakan positif mengidap virus corona dan 1.218 orang meninggal. Sebagian besar kasus terkonsentrasi di New York City, di mana lebih dari 36.000 orang dinyatakan positif.

Duduk di bangku di stasiun 170th Street, Ny. Encancion membentangkan masker menutup wajahnya, menyelipkan jemari tangannya ke dalam sarung tangan lateks. Risiko terkena virus corona di commuter line hanyalah sebagian dari kecemasan dirinyanya yang senantiasa tergantung mendidih, seperti latar belakang kehidupan sehari-harinya. Kedua anaknya yang masih remaja merayunya karena ingin bertemu teman-teman mereka. Tetapi dia hanya mengizinkan mereka meninggalkan apartemen dua kamar yang mereka tempati untuk berjalan-jalan dengan bibi mereka, sekali sehari.

Seorang penumpang commuter line membersihkan peralatan pengisian kartunya sebelum digunakan

Suami Ny Encanción adalah seorang petugas kebersihan di sebuah sekolah swasta, sampai ia diberhentikan setelah sekolah ditutup. Itu tentu memangkas pendapatan keluarganya. Mereka hanya memiliki tabungan untuk menutupi sewa apartemen bulan ini. Tidak lebih.

“Bulan depan bagaimana kami akan membayar? Saya bahkan tidak bisa memikirkannya,” katanya.

Ny Encancion adalah salah satu dari sedikit penumpang yang masih bertahan di jalurnya pada setiap hari kerja. Penumpang commuter turun hampir 90 persen dibandingkan hari-hari yang sama tahun lalu, menurut Otoritas Transportasi Metropolitan (MTA) New York yang mengoperasikan kereta bawah tanah dan bus. Dengan kata lain, sebelum krisis Meletus, ada lebih dari lima juta orang masuk ke dalam sistem transportasi itu setiap hari. Hari ini, ia membawa kurang dari sejuta warga saja.

Tetapi analisis Times berdasarkan data MTA menunjukkan bahwa penurunan penumpang di masing-masing dari empat wilayah yang dilayani oleh kereta bawah tanah bervariasi secara signifikan. Sebagian besar di sepanjang garis sosial ekonomi.

Selama dua pekan terakhir, penurunan jumlah penumpang paling tajam terjadi di Manhattan, di mana pendapatan rata-rata rumah tangga adalah 80.000 dolar AS– yang tertinggi dari lima wilayah di kota itu. Penumpang kereta bawah tanah di Manhattan turun sekitar 75 persen.

Sementara penumpang di Bronx, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di antara semua wilayah dan pendapatan median terendah pada 38.000 dolar AS, turun sekitar 55 persen, menurut analisis data hingga 20 Maret.

Stasiun Burnside Avenue dan Stasiun 170th Street melayani kelompok warga yang paling rentan terhadap ancaman ekonomi dan kesehatan masyarakat di New York.

Di daerah-daerah yang berbatasan dengan stasiun, kira-kira setengah dari anak-anak hidup dalam kemiskinan. Sekitar 40 persen dari populasi lahir di luar Amerika Serikat dan satu dari empat penduduk tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Di stasiun 170th Street, penumpang masih datang bergelombang setiap pagi: pria cenderung tiba lebih dulu, menggesekkan kartu stasiun sebelum fajar. Mengenakan jeans yang berlumuran cat dan bertopi keras yang usang, mereka naik kereta ke lokasi konstruksi.

Setelah itu kaum wanita mulai berdatangan satu-satu, sebagian besar perawat dan pembantu rumah tangga yang telah dianggap sebagai pekerja penting. Yang lainnya adalah koki rumahan dan pengasuh anak-anak orang kaya, berharap untuk mempertahankan pekerjaan mereka selama mungkin dalam ekonomi yang tengah tidak menentu.

Sulay Liriano, 40, berada di stasiun 170th Street, memulai perjalanannya ke Queens. Sebagai seorang asisten perawatan pribadi, dia telah menerima email dari atasannya sehari sebelum menginstruksikan agar dia dan rekan-rekannya–dalam huruf tebal merah yang mereka anggap “PENTING” bahwa dirinya harus selalu datang dan bekerja.

Di satu sisi,  Ny Liriano bersyukur masih memiliki penghasilan: suaminya, yang pernah bekerja di sebuah restoran, membantu pengiriman dan pekerjaan sampingan di dapur, telah di-PHK.

Tetapi Ny Liriano mencemaskan waktu dua setengah jam yang ia habiskan setiap hari,  meringkuk bersama orang-orang asing di dalam gerbong commuter tertutup. Selama bertahun-tahun, tak pernah ia memikirkan hal-hal ‘biasa’ seperti itu. Lain halnya saat ini.

Sekarang dia memindai setiap tiang, setiap kursi, setiap orang, seolah mencari tanda-tanda musuh yang tak kasat mata. Dia sangat sadar, selalu menahan tangannya,  menahan keinginan untuk memperbaiki rambut yang rontok, atau menyeka bulu mata yang jatuh dari kelopak matanya.

“Aku benar-benar khawatir,”kata Ny Liriano, yang belum dapat menemukan masker wajah sejak orang-orang panik mengosongkan rak-rak setiap toko kecil di banyak lingkungan. “Masih ada banyak orang di sini, orang asing. Saya tidak tahu tindakan pencegahan apa yang mereka ambil jika mereka sakit. Bagian paling berisiko dalam perjalanan harianku, ya naik kereta,” kata dia.

MTA  telah mencoba melindungi penumpang yang berkurang: mereka menyebar pembersih untuk mendisinfeksi gerbong kereta api dan bus setiap tiga hari, dengan disinfektan yang sama dengan yang digunakan di rumah sakit dan panti jompo.

Tetapi tertatih-tatih oleh semakin banyak pekerjanya yang jatuh sakit, selain terjun bebasnya jumlah penumpang, MTA telah memotong layanan kereta bawah tanah sebesar 25 persen.  “Layanan dibatasi oleh jumlah kru yang kami miliki selama krisis ini, jumlahnya ribuan,” kata Sarah Feinberg, pejabat sementara New York City Transit.

Pada Senin (30/3) lalu, tujuh pekerja MTA meninggal karena virus corona sementara setidaknya 333 pekerja lainnya dinyatakan positif dan 2.700 dikarantina. Jangan salah, Direktur MTA, Patrick J. Foye, juga terinfeksi.

Di luar stasiun 170th Street, jalanan hampir kosong. Sebagian besar toko tutup, rolling door logam mereka terkunci ketat. Satu-satunya tempat yang terbuka adalah dua apotek, tempat barisan pelanggan berkerumun di pintu depan.

Seorang warga New York tetap bekerja demi “kau dan si buah hati”–mengutip Pance Pondaag

Perjalanan singkat dengan kereta No. 4 adalah Stasiun Burnside Avenue. Setiap pagi para penumpang masih mengalir ke luar masuk. Cindy Garcia, pekerja sosial sebuah panti jompo dan tunawisma di Manhattan, menenggelamkan tangannya jauh di dalam saku jaketnya. Satgas desinfeksi di tempat kerjanya sangat teliti: setiap pena yang disentuh klien, setiap gagang pintu yang ia ambil, setiap kursi yang ia duduki, akan ia usap dengan Lysol.

Ketika dia bertemu dengan klien, mereka duduk di ujung-ujung ruangan. Tetapi di kereta, Ny Garcia tidak memiliki ilusi tentang kontrol semacam itu. Dia bisa menutupi tangannya, dia bisa memakai masker, tetapi tidak mungkin untuk tetap menenggang jarak enam kaki (sekitar 1,5 meter) dari penumpang lain. “Lihat saja gerbong-gerbong kereta ini. Masih ramai,” katanya.

Seorang penumpang commuter dan pengguna Twitter , Mona Eltahawy, mencuit: “Saya berada di stasiun E 180th Street di Bronx. Ini adalah bagaimana rasanya TIDAK memiliki hak istimewa untuk bekerja dari rumah. Sosial distancing adalah hak istimewa yang tidak dimiliki banyak orang.” # COVID19 #NYC

Kereta No. 4 berada di antara jalur-jalur pengurangan layanan. Sebenarnya kebijakan pengurangan layanan itusudah diperingatkan oleh apparat kesehatan akan membuat kereta penuh sesak dan meningkatkan risiko.

Namun bagi penumpang lain, kemungkinan tertular virus corona tak terlalu menjadi perhatian. Daouda Ba, seorang imigran berusia 43 tahun dari Senegal, duduk dengan tangan terselip di antara lututnya di stasiun Burnside Avenue.

Warga kawasan paling miskin di Nw York, masih menunggu kereta di tengah wabah Covid 19.

Ba tinggal di tempat penampungan terdekat, di mana dia mengatakan lebih dari 50 pria berbagi tiga kamar mandi. Gagasan mendesinfektan gagang pintu atau pembersih tangan, bagi mereka mungkin menggelikan. Hanya untuk mendapatkan kesempatan di wastafel untuk mencuci tangan pun sudah cukup sulit.

“Aku sudah terjebak dalam kotak yang penuh sesak di tempat penampungan, aku tidak bisa melakukan apa pun untuk kesehatanku,” katanya, memandang kosong orang-orang yang lalu Lalang di dekatnya. “Satu-satunya hal yang saya khawatirkan adalah masalah ekonomi.”

Ba diberhentikan dari pekerjaannya di sebuah perusahaan tur bus wisata pada akhir Desember. Bosnya mengatakan mereka akan mempekerjakannya kembali pada akhir Maret, tetapi sekarang prospek pekerjaan itu kian tak pasti.

Tadi pagi seorang temannya menelepon untuk satu pekerjaan kecil yang dibayar langsung. Karena itulah saat ini ia duduk menunggu kereta yang akan membawanya ke Brooklyn, sementara bunyi kericik gerimis menghantam atap awning di dekatnya.  

“Jika aku harus mati, ya matilah,” katanya.

[Christina Goldbaum/Lindsey Rogers Cook/The New York Times]

Exit mobile version