Site icon Jernih.co

Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [4]

ilustrasi

Ki Selang Kuning tak mau ada pertumpahan darah. Rakyat tak boleh berkorban atas ambisinya. Namun juga Ki Selang Kuning tak mau menyerahkan Pulo Majeti kepada Galuh, sebab sudah nampak nyata bahwa rakyat menjadi sejahtera atas prakarsanya. Maka agar pertumpahan darah antara Galuh dan Pulo Majeti terhindarkan, Ki Selang Kuning mengajak rakyatnya untuk … pindah ke alam lain, yaitu sebuah alam yang tak bersinggungan dengan kehidupan nyata manusia.

Oleh  :  Aan Merdeka Permana

JERNIH– Kendati banyak orang menjenguknya untuk bertanya perihal keajaiban “orang mati hidup kembali”, namun Lendra tak banyak bicara. Bukan karena taat akan amanat Mang Sajum. Namun bagi dirinya, percuma saja memperbincangkan sesuatu hal yang tak masuk diakal bagi perkiraan orang lain.

“Hanya yang pernah mengalaminya yang akan percaya omonganku …” katanya dalam hati. Itulah sebabnya, ketika banyak orang menjenguknya dan bertanya itu-ini, Lendra hanya bilang tak ingat sesuatu.

Begitu sampai tiba pada suatu saat. Saat itu adalah saat di mana Bendara Wedana sudah ingin berburu kembali. Kata Bendara, perburuan beberapa minggu lalu dirasa kurang berhasil sebab buruan banyak yang kabur ke dalam hutan. Maka pada minggu depan akan segera dirancang kembali.

“Apakah tak sebaiknya Bendara urungkan saja, Gamparan?” kata Lendra menyembah hormat.

“Jangan khawatir, sebab engkau kali ini tak akan aku ikutsertakan lagi, Lendra. Apalagi kesehatanmu belum pulih benar …” sahut Bendara Wedana.

“Bukan itu yang saya maksud, Bendara. Saya bukannya tak mau ikut. Namun maafkan pendapat saya. Rasanya tak baik melakukan perburuan terhadap sesama mahluk hidup …”tutur Lendra sedikit berani namun sambil menunduk penuh takut.

Ada dua rasa takut yang dia rasakan. Pertama takut Bendara Wedana marah karena tersinggung. Kedua takut Bendara Wedana mengalami hal-hal buruk.Kalau ingat peristiwa tempo hari, yang menurut penglihatan Bendara waktu itu sekelompok menjangan, nyatanya adalah para wanita cantik dan satunya terluka parah oleh panah Bendara Wedana. Lendra takut, ada balas-dendam atas tindakan Bendara Wedana ini.

Mendengar alasan dan pendapat pegawainya, ternyata Bendara Wedana tidak merasa tersinggung, bahkan beliau tersenyum lega. “Aku bersyukur bahwa engkau mencintai lingkungan alam. Tapi engkau musti tahu juga, bahwa kehidupan alam perlu keseimbangan. Bila isi alam tak seimbang, akan punya masalah juga. Berburu binatang hutan adalah upaya untuk menyeimbangkan isi hutan. Kita hanya berburu binatang yang sudah cukup tua saja.”

“Binatang yang muda-muda tak kita habisi sebab berguna untuk kelangsungan penghuni hutan. Hanya memang …” Bendara Wedana agak tersendat pembicaraannya, “Hanya memang beberapa waktu lalu aku ada kekeliruan. Aku memanah menjangan yang masih muda. Itu tak baik sebenarnya …” tutur Bendara Wedana.

Lendra mengangguk. Namun sebenarnya hatinya kurang puas sebab yang ingin dia cegah adalah berburu gadis-gadis cantik di sekitar sisi-sisi Rawa Onom itu. Tapi, apa mungkin Lendra berkata begitu sementara Bendara Wedana tak merasa tengah berburu gadis? Itulah yang jadi kesulitan bagi Lendra untuk bicara sesungguhnya.

Bendara Wedana seperti maklum atas kekecewaan aparatnya. Makanya beliau menerangkan lebih rinci. Kata beliau, berburu hanyalah kerja sampingan saja, sebab tugas sebenarnya adalah melakukan kunjungan ke beberapa wilayah kekuasaannya untuk mengontrol sejauh mana tingkat penghidupan masyarakat.

“Pergi ke wilayah-wilayah terpencil akan terasa jenuh bila tak disertai dengan hiburan berburu. Kita punya pekerjaan besar yang sebelumnya harus dilakukan penelitian dulu. Kita akan mengeringkan Rawa Onom, seperti kita mengeringkan beberapa daerah banjir di wilayah Krangkeng, Indramayu, dulu, Lendra …” kata Bendara Wedana.

Kembali Lendra hanya mengangguk pelan. Anak-muda ini tahu persis, di Kecamatan Krangkeng dulu, majikannya mengalami sukses besar mengeringkan wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi langganan banjir Sungai Cimanuk. Bahkan atas jasanya ini, Bendara Wedana mendapatkan pujian besar dari pemerintahan pusat di Batavia. Sekarang rupanya sukses besar ini akan diulangi di daerah Rawa Onom.

Kata Bendara Wedana, bila Rawa Onom dikeringkan, akan menjadi sebuah hamparan persawahan yang amat subur dan akan semakin menyejahterakan masyarakatnya.

“Rawa Onom harus dikeringkan sebab rakyat harus sejahtera,” tutur Bendara Wedana.

                                                                                ***

Aneh sekali, usai mendengar rencana besar ini, Lendra mendadak menderita sakit disertai demam hebat. Bila malam menjelang, kerjanya mengigau tak beraturan. Namun terkadang orang mendengar celotehnya.

“Nyi Indang … Nyi Indang … Nyi Indang …” keluhnya.

“Wuah, Si Lendra tengah kasmaran sama gadis desa rupanya,” kata Jang Dayat. Hanya Mang Sajum saja yang berpikir lain.

Betul apa yang jadi sangkaan Mang Sajum. Lendra bukan tengah tidur sambil mengigau. Namun alam bawah sadarnya tengah berkelana kembali ke alam lain. Yang diingat Lendra ketika itu bahkan dia tengah duduk berhadapan dengan Nyi Indangwati.

Nyi Indangwati tengah mengemukakan kekhawatirannya bahwa negaranya akan diluluhlantakkan pasukan dari Kerajaan Galuh.

“Mengapa Kerajaan Galuh begitu memusuhi Kerajaan Pulo Majeti, Nyai?” tanya Lendra.

Nyi Indangwati menunduk lesu sehingga ujung-ujung rambutnya yang hitam halus bergoyang-goyang sedikit menutupi jidatnya yang putih.

“Itu terjadi memang dari kesalahan ayahanda Prabu sendiri …” keluh Nyi Indangwati. Maka sambil duduk bersimpuh di atas hamparan beludru, Nyi Indangwati menerangkan. Dulu ayahandanya adalah patih dari Kerajaan Galuh. Merupakan seorang pejabat yang paling pandai dan paling terpercaya raja. Bila ada pekerjaan-pekerjaan penting di kerajaan, maka tugas berat itu diserahkannya kepada Patih Selang Kuning.

Suatu saat Prabu Raksabuana, Raja Galuh waktu itu, memanggil Selang Kuning. Sang Patih cakap ini diserahi tugas agar sudi memajukan sebuah wilayah yang kini bernama Pulau Majeti. Raja menginginkan agar seluruh wilayah Galuh punya arti penting dalam ikut menyejahterakan rakyat. Kata Raja, Pulo Majeti itu wilayah subur. Dan bila bisa dibuka maka akan semakin bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Galuh.

Patih Selang Kuning seperti biasa menyanggupi tugas berat ini. Maka, Sang Patih berangkat bersama para pengikut setianya. Bahkan istri dan anaknya dibawa serta. Padahal, pindah ke Pulau Majeti bukan untuk bersenang-senang. Di sana tak ada keraton, tak ada tempat tidur, bahkan makanan pun tak ada.

Pulau Majeti ketika itu, hanyalah sebuah wilayah hutan yang penuh rawa. Tapi, bukanlah Patih Selang Kuning namanya bila tak sanggup menciptakan dari ketiadaan menjadi sesuatu yang ada. Patih Selang Kuning tidak siang tidak malam bekerja memimpin sendiri berbagai pembangunan di Pulau Majeti. Lahan pertanian dan perkebunan dibuka. Demikian pun irigasi pengairan. Sambil membangun sarana pertanian dan perkebunan, Patih Selang Kuning pun membangun sebuah keraton yang lebih indah dari Keraton Galuh sendiri.

Berkat kepemimpinan Patih Selang Kuning, Pulau Majeti yang semula hanya berupa hutan belukar tanpa penghuni, beberapa tahun kemudian telah berubah menjadi sebuah negara yang subur makmur gemah ripah lohjinawi. Banyak penduduk Galuh lainnya kini memilih hidup di Pulo Majeti sebab kesejahteraan lebih terasa dibanding di Galuh sendiri.

Demikian yang terjadi sampai belasan tahun berlalu. Sampai pada suatu saat, datang utusan dari Kerajaan Galuh. Utusan itu menyampaikan rasa khawatir Prabu Raksabumi, sebab patihnya yang setia tak pernah kembali dalam upaya mengemban tugas. Utusan itu baru merasa bengong setelah mengetahui bahwa di Pulo Majeti ada sebuah negri baru yang kemakmurannya melebihi Galuh.

“Tak dinyana, itu berkat kepemimpinan engkau hai Patih Selang Kuning …” kata utusan amat bahagia.

Selang Kuning pun terlihat bangga atas pujian ini. Namun suasana ceria mendadak tegang setelah Selang Kuning ditanya, kapan akan melaporkan hasil pekerjaannya ini.

“Oh, mengapa aku harus melapor, sepertinya aku ini punya atasan?  Tidak, sebab aku adalah penguasa Kerajaan Pulo Majeti dan Pulo Majetilah yang terbesar di wilayah ini, bukan siapa-siapa,” tutur Selang Kuning dengan angkuhnya.

“Kalau disebut permusuhan antara Galuh dengan Pulo Majeti, maka itulah awal permasalahannya,” tutur Nyi Indangwati setelah memaparkan riwayat berdirinya Kerajaan Pulo Majeti.

“Jelas, Galuh akan membenci Pulo Majeti sebab ayahandamu telah melakukan pengkhianatan, Nyai,” kata Lendra menimpali.

Dikomentari begini, gadis berlesung pipit itu hanya menunduk lesu dan menghela napas panjang. Berlama-lama Lendra bisa menatap keelokan gadis ini. Ya, betapa eloknya gadis ini. Rambutnya digelung rapih ke atas namun masih ada bagian-bagian yang tergerai dan malah membuat wajah itu semakin indah saja.

“Tapi ayahandaku adalah seorang perkasa. Kerajaan Galuh menjadi jaya lantaran kerja-keras ayahanda Prabu. Maka ketika Pulo Majeti yang semula gugusan pulau kecil tiada berarti d tengah hutan penuh rawa berubah menjadi sebuah negri yang subur makmur, mengapa tiba-tiba harus berada di bawah kekuasaan Galuh, sementara penguasa Galuh hanya berpangku tangan saja? Tidak . Dan sebetulnya yang musti jadi penguasa Galuh keseluruhannya hanyalah ayahandaku,” kata Nyi Indangwati menatap Lendra.

Lendra pun balik menatap sehingga jantungnya kembali berdegup. Nalurinya sebagai lelaki tergerak manakala tatap-mata gadis itu menembus jantungnya. Sebentar ada keinginan agar dia melampiaskan naluri prianya. Namun sebentar kemudian ada kesadaran yang memagarinya.

“Tak baik melakukan hal-hal buruk ini, sementara gadis itu tengah dirundung kemelut,”tuturnya dalam hati. Dan apalagi kalau diingat bahwa ada perbedaan besar di antara mereka. Dirinya hanyalah seorang pegawai rendahan Bendara Wedana Rancah, semenara Nyi Indangwati adalah putri raja Kerajaan Pulo Majeti. Putri dari Kerajaan Pulo Majeti? O ya, adakah itu di kehidupan nyata? Pemuda itu mengatupkan sepasang matanya. Kepalanya mendadak pening memikirkan hal ini.

“Kami memang berbeda tempat dengan kalian, ” kata Nyi Indangwati sepertinya bisa mendengar apa yang disuarakan hati Lendra. Maka untuk kedua kalinya, Nyi Indangwati bercerita.

Ketika upaya memisahkan diri dari Ki Selang Kuning terdengar oleh Prabu Raksabuana, maka penguasa Kerajaan Galuh ini marah besar dan berniat menyerbu Pulo Majeti. Ki Selang Kuning tak mau ada pertumpahan darah. Rakyat tak boleh berkorban atas ambisinya. Namun juga Ki Selang Kuning tak mau menyerahkan Pulo Majeti kepada Galuh, sebab sudah nampak nyata bahwa rakyat menjadi sejahtera atas prakarsanya.

Maka agar pertumpahan darah antara Galuh dan Pulo Majeti terhindarkan, Ki Selang Kuning mengajak rakyatnya untuk … pindah ke alam lain, yaitu sebuah alam yang tak bersinggungan dengan kehidupan nyata manusia.

“Kami menyebutnya alam siluman …” kata Nyi Indangwati.”Ini adalah sebuah alam yang terletak di antara alam manusia dan alam arwah. Bagi manusia awam, kami tak berujud tapi kami bukan bangsa jin. Begitu pun tempat kehidupan kami, tak bisa dilihat manusia biasa. Keraton Pulo Majeti menurut mereka hilang lenyap dan berubah menjadi belantara dan rawa,”sambung Nyi Indangwati.

“Tak perlu takut. Kami tetap makhluk biasa yang memiliki rasa dan perasaan dan yang bisa membedakan mana baik mana buruk. Kami juga butuh perkawinan, perkeluargaan dan keturunan. Kami juga suka makanan enak yang disenangi manusia biasa dan yang tumbuh di alam nyata. Hanya tentu saja karena tak punya tubuh kasar, maka untuk memakan makanan yang tumbuh di dunia nyata, kami pinjam tubuh nyata. Bila ingin sayur, kami masuk ke binatang yang suka sayur, demikian pun kalau ingin daging, masuk ke tubuh binatang pemakan daging.”

“TAPI kendati perasaan sebagai manusia tetap ada, bangsa kami tak serakah seperti manusia pada umumnya. Sebagai keturunan Galuh dan orang Kerajaan Sunda pada umumnya kami tetap berpegang pada kesederhanaan,” tutur lagi Nyi Indangwati sambil bersenandung lirih.

(Turunan ti Karajaan Sunda mah

mun nyatu tamba henteu lapar

mun nginum tamba henteu hanaang

mun dicangcut tamba henteu dibaju

Ulah satenjo-tenjona ari lain tenjokeuneunana

Ulah sadenge-dengena ari lain dengekeuneunana

ulah saucap-ucapna

ari lain ucapkeunana

ulah sacabak-cabaknaari lain cabakeunana.

Keturunan dari Kerajaan Sunda

bila makan sekadar tak lapar

bila minum sekadar tak dahaga

bila memakai celana dalam

sekadar tak berpakaian.

Jangan menatap

sesuatu yang tak boleh ditatap

jangan mendengarkan

sesuatu yang tak pantas didengarkan

jangan berucap

sesuatu yang tak pantas diucapkan

jangan meraba sesuatu

yang tak pantas untuk diraba.)

“Mengapa bangsamu menyebutkan diri sebagai keturunan Kerajaan Sunda, Nyai?” tanya Lendra kemudian.

“Sebab ayahanda adalah keturunan dari Kerajaan Sunda,” kata Nyi Indangwati. Maka Nyi Indangwati berujar panjang. Ini dimulai dari Kerajaan Tarumanagara (358-669 Masehi). Pada tahun 669 Kerajaan Tarumanagara dibagi dua. Wilayah barat dari Banten hingga batas Citarum berubah menjadi Kerajaan Sunda, sementara wilayah timur dari batas Citarum hingga Brebes menjadi Kerajaan Galuh. Prabu Lingawarman mempunyai seorang putri bernama Dewi Manasih. Dewi Manasih bersuamikan Tarusbawa dan melahirkan seorang putra.

“Keturunan dari Dewi Manasih dan Tarusbawa ini tak lain adalah kakekku sendiri atau ayah dari Ki Selang Kuning, ayahandaku. Hanya karena bukan keturunan dari anak lelaki saja, yang mengakibatkan kakekku tak menjadi raja penerus dari Kerajaan Sunda. Namun demikian, kami tetap merupakan keturunan langsung dari Prabu Tarumanagara,” tutur Nyi Indangwati.

“Itulah sebabnya, ayahanda berkeras ingin menjadi raja di Pulo Majeti sebab beliau punya garis keturunan Raja Sunda,” kata lagi Nyi Indangwati. Namun kata gadis itu, hingga hari-hari belakangan ini kegelisahan belum mau sirna. Orang-orang Galuh masih tetap memendam penasaran.

“Kerajaan Pulo Majeti akan tetap dihancurkan. Hari-hari belakangan ini, bangsa manusia sedang berusaha mengeringkan rawa di sekitar Pulo Majeti. Ini artinya akan mengganggu kehidupan kami. Kalau kau mengerti, tolong gagalkan rencana ini,” tutur Nyi Indangwati.

Mendengar ini, Lendra mengerutkan kening. Rencana mengeringkan Rawa Onom, yaitu sebuah wilayah rawa yang mengelilingi Pulo Majeti memang tengah dipikirkan Bendara Wedana. Namun tujuan majikannya ini, sama sekali tak ada kaitannya dengan keinginan untuk menghancurkan Kerajaan Pulo Majeti.”Rawa Onom memang akan dikeringkan oleh Bendara Wedana. Tapi itu semata-mata untuk kesejahteraan rakyat di Rancah dan bukan untuk menghancurkan Kerajaan Pulo Majeti, Nyai,” kata Lendra. Tapi Nyi Indangwati menggelengkan kepala.

“Dengan bermaksud mengeringkan air rawa, artinya akan membunuh kehidupan rakyat Pulo Majeti,”tuturnya.

“Tidak begitu, Nyai …”

“Kau harus bantu kami mencegah tindakan ini.”

Lendra terpekur.

Lendra kembali bangun dari pingsannya dengan keringat membasahi tubuhnya. Seluruh pakaiannya pun basah kuyup dibuatnya. Namun demikian, seluruh kesadarannya belum pulih benar. Mang Sajum terpaksa sibuk merawatnya, sebab sepanjang malam Lendra tampak gelisah dan mengigau saja kerjanya.

“Jangan Bendara, jangan lakukan! Jangan lakukan!” gumam Lendra membuat bingung Mang Sajum.

“Ada apa lagi, Mang Sajum?” kata Bendara Wedana manakala kembali mengunjungi kamar tempat Lendra terbaring.

“Anak ini terus mengigau, bahkan kini menyebut-nyebut nama Anda, Gamparan …” kata Mang Sajum. Jang Dayat yang duduk di sampingnya mengangguk membenarkan. [Bersambung]

Exit mobile version