Site icon Jernih.co

Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [9]

Ilustrasi, Aul

Mahluk itu bisa berdiri dengan sepasang kakinya. Sementara sepasang kaki bagian atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang tajam. Kepala mahluk itu seperti kera namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran gigi-giginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh. Apalagi matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya meleleh cairan putih. Lendra terkesiap. Makhluk aneh itu seperti sengaja mencegatnya

Oleh  :  Aan Merdeka Permana

JERNIH–“Dari mana engkau tahu bahwa kami suka mengganggu manusia?” tanya Ki Patih tersinggung. Maka Lendra menjelaskan kalau kadang-kadang terdengar berita orang hilang di rawa atau di hutan. Atau terdengar berita ada orang menderita sakit mendadak bahkan sampai tewas hanya gara-gara berbuat ulah yang sepele.

“Itulah perilaku manusia. Bangsa kalian hanya selalu membuat penilaian berdasarkan kepentingan kalian sendiri. Membabat satu ranting dianggap perbuatan sepele sebab beranggapan tak bakal merusak hutan. Padahal kalau satu orang mematahkan satu ranting, berapa juta ranting akan patah bila semua bangsa kalian bertindak ceroboh?” tanya Ki Patih,

“Itulah sebabnya, bila ada yang mematahkan ranting lantas orang itu jatuh terjerembab, jangan salahkan bahwa itu hukuman dari kami,” kata Ki Patih lagi.

“Bulan lalu ada orang terbenam di rawa. Apakah itu bukan perbuatan kalian?” tanya Lendra sambil senyum.

“Orang itu mati karena serakah pingin ambil ikan banyak-banyak. Saking lamanya berendam diri, badannya kaku dan tenggelam. Apakah itu hukuman dari kami atau bukan, silakan engkau nilai sendiri perilaku orang itu,” kata Ki Patih.

“Banyak orang berlaku gegabah tapi bila kena musibah, kesalahan selalu ditimpakan kepada orang lain,” tutur Ki Patih yang diiyakan oleh Sang Prabu.

Ki Patih menerangkan berbagai contoh di mana suka terjadi orang celaka, apakah itu mati tenggelam, jatuh dari pohon atau tersesat di hutan. Kata Ki Patih, bila ada yang mati tenggelam, maka selalu dikatakan lantaran penghuni rawa minta tumbal. Padahal orang itu mati karena kakinya terjerat akar-akar bawah air atau lantaran kaku kedinginan. Begitu pun bila ada yang tersesat di hutan, dikatakan sebagai disembunyikan oleh lelembut di hutan itu.

“Padahal itu semua bergantung kepada perbuatan mereka sendiri,” tutur Ki Patih lagi.

Lendra diam saja mendengarkan.

“Tapi kembali kepada urusan yang tadi, apakah pihak penghuni di sini mau membantu bila Bendara Wedana akan mengeringkan rawa?” Lendra mengembalikan obrolan kepada masalah utama.

Untuk yang ke sekian kalinya Sang Prabu nampak tercenung.

“Rawa Onom dan sekitarnya adalah kampung halaman kami, tempat kami mencari hidup bahkan tempat kami menghadapi kematian kelak. Kalau rawa dikeringkan, alam akan berubah dan persediaan kebutuhan kami pun akan berubah. Bangsa onom tak senang kehiruk-pikukan. Bila rawa kering dan kelak rawa menjadi tempat mukim bangsa manusia, kahidupan kami terganggu,” tutur Ki Patih lagi.

“Kalau begitu, kita tak punya kesesuaian paham. Artinya kita musti berjuang sendiri-sendiri …” gumam Lendra sambil berjingkat berdiri.

“Engkau mau ke mana?” tanya Ki Patih sama-sama ikut berdiri. Para prajurit pun sama berdiri dan seperti hendak mencegah Lendra untuk beranjak.

“Saya akan kembali ke alam saya …” kata Lendra.

“Silakan bila kau bisa, anak muda!” kata Ki Patih melirik ke arah Sang Prabu.

Maka ketika Sang Prabu mengangguk, Lendra pun dilepasnya untuk keluar dari keraton.

Lendra melangkah di sepanjang jalan berbalay berupa batu-batu mengkilat bak permata. Di sepanjang jalan berbalay itu tumbuh bunga beraneka-macam dengan keharuman yang semerbak menyegarkan pernapasan. Namun Lendra tek tertarik dengan itu. Katanya, itu hanyalah pandangan maya sebab bila dia kembali tersadar ke dunia nyata, semuanya akan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.

Ketika Lendra lewat ke sebuah pertamanan yang berpohon rimbun dan teduh, hatinya tersentak manakala di sebuah bangku taman ada seorang gadis menantinya.

“Nyi Indangwati … ” gumamnya dengan dada berdebar. Tak pelak lagi, debaran jantung ini terjadi lantaran ada gairah berahi yang selama ini tersembunyi. Tapi di saat-saat perasaan itu bergelayut datang pula kesadaran dirinya.

“Dia bukan bangsa manusia. Tak baik aku musti berhubungan dengan mahluk dari alam berbeda …” begitu tutur kata hatinya.

“Tapi kita semua sebenarnya tunggal mahluk ciptaan Tuhan, Kakang. Mengapa hanya karena perbedaan bangsa kita harus memilah-milah?” jawab Nyi Indangwati membuat Lendra terkejut.

“Gadis itu mendengar apa yang dikatakan hatiku …” keluh Lendra.

“Itulah sebabnya, tak ada bohong di sini. Jahat dan benar akan nampak seperti kita melihat sinar bulan. Dan karena tak ada yang bisa disembunyikan maka hanya kejujuran saja yang hidup di negri kami,” tutur Nyi Indangwati sambil senyum.

Untuk kedua kalinya dada Lendra berdebar kencang.

Tangan Nyi Indangwati melambai dan tubuh Lendra seperti tersedot untuk segera ikut datang.

Begitu tiba di hadapannya, debar dada Lendra semakin kencang. Dan manakala tangannya dituntun untuk duduk bergandengan, pemuda itu pun menurut.

“Orang Galuh boleh dikata musuh kami. Tapi Galuh sebenarnya adalah kecintaan kami. Galuh itu dambaan kami, sebab dulu kamilah yang membesarkan Galuh. Sebagai tanda bahwa kami cinta Galuh, perilaku kami selama ini pun adalah perilaku orang Galuh yang sejatinya,” kata Nyi Indangwati.

“Bila boleh aku katakan, orang Galuh yang asli adalah kami. Yang lainnya hanya ikut-ikutan mengaku saja sambil tak pernah memperlihatkan perilaku masyarakat Galuh,” kata lagi Nyi Indangwati.

“Apa tandanya masyarakat Galuh yang asli itu, Nyimas?” tanya Lendra penasaran.

“Yaitu, mereka yang sanggup mengamalkan dan menjaga ketulusan galihnya hati. Galuh atau galih adalah pusat hati, pusatnya perasaan kemanusiaan. Apakah manusia itu bisa baik atau buruk bahkan jahat, amat bergantung kepada penggunaan galihnya hati itu. Percuma engkau mengaku orang Galuh bila hatimu busuk. Sebab dengan demikian, nama negri ini akan tercemar,” tutur Nyi Indangwati.

“Saya bukan orang Galuh, Nyimas …”

“Bila begitu, kau beruntung sebab kau boleh menggunakan perasaanmu apa dan bagaimana saja.”

“Tak bisa begitu. Sebab dunia akan hancur kalau manusia mengumbar perasaannya tanpa dibatasi oleh kebenaran dan niat baik,” jawab Lendra.

“Itulah perilaku orang Galuh, Kakang …”

“Atau mungkin itulah keharusan semua umat di dunia, di mana pun adanya,” potong Lendra.

“Tapi orang Galuh sudah musti beritikad seperti itu sebab mereka sudah menyadari dengan memberinya nama Galuh bagi kerajaan ini,” kata Nyi Indangwati.

“Wilayah ini kini namanya Ciamis, bukan Galuh, Nyimas …”

“Tidak. Bangsa kami tetap menyebutnya Galuh sebab aku tetap menaruh harapan agar masyarakat di sini, apakah itu masyarakat nyata atau masyarakat bunian, tetap melanggengkan kehidupan yang penuh tanggung jawab,” kata Nyi Indangwati.

Lendra hanya menghela napas sebab keinginan gadis ini di zaman kini amatlah susah. Untuk ini, maka Lendra kembali berjingkat.

“Kakang mau ke manakah?” gadis itu memegang tangan Lendra.

“Kakang akan pulang ke alam Kakang sendiri …”

“Mengapa? Bukankah Kakang akan berjuang untuk kepentingan bangsa Kakang?” tanya Nyi Indangwati.

“Rasa-rasanya Kakang berbeda kepentingan dengan bangsamu, Nyimas …” kata Lendra ingat lagi perselisihan paham dengan Ki Patih kerajaan ini.

“Yang namanya perjuangan tak harus dimulai dari persamaan kehendak. Malah itulah namanya perjuangan bila kita sanggup mempertahankan pendapat kita. Sebab bila berjuang dengan kesepakatan, biasanya perlu kompromi. Yaitu saling mengalah dan saling memberi, bukan semata-mata saling meminta saja,” kata Nyi Indangwati tersenyum ringan.

“Ya, ya, Kakang mengerti …” gumam Lendra sambil mencoba menahan hatinya untuk pergi dari tempat ini. Maka Lendra melangkahkan kakinya, meninggalkan Nyi Indangwati tanpa berani menengok lagi ke belakang.

Terdengar lantunan gadis itu dengan suara merdu. Isi nyanyiannya perihal pentingnya perjuangan untuk mencapai sesuatu tujuan. Lendra terpana dengan isi nyanyian itu.

Ari bajuang teh

kudu aya pangorbanan

saha-saha anu menta

kudu daek mere

anu pepenta embung mere

nya pinter-kodek ngaranna …

(Yang namanya berjuang

harus ada pengorbanan

siapa berani minta

harus berani beri

yang kerjanya minta tanpa mau beri

itulah culas namanya …)

Lendra sejenak berdiri mematung. Ada keinginan dia menoleh ke belakang, namun niat itu

diurungkannya kembali.

“Tidak. Aku harus pulang ke tempat asalku …” demikian hatinya bicara. Maka Lendra memaksa hatinya beri perintah agar kakinya melangkah terus. Dan Lendra memang berhasil melangkah. Terus melangkah kendati suara lantunan Nyi Indangwati terus terngiang. Hingga pada suatu ketika, Lendra tiba kembali di sebuah hutan belantara yang gelap dan pekat. Di tempat itu tak ada jalan setapak, tidak pula lorong dengan sedikit cahaya. Lendra bahkan tak tahu, apakah sekarang siang hari atau malam hari. Bila siang hari musti ada cahaya, bila malam hari musti gelap gulita. Sementara di hutan itu, tak ada cahaya namun juga tak gelap gulita.

Artinya, benda apa pun yang ada di sekitarnya terlihat dengan cukup jelas. Termasuk yang bisa dilihat oleh Lendra adalah seonggok tubuh yang amat menakutkan. Mahluk itu sungguh aneh. Sebesar kambing namun juga bukan kambing. Mahluk itu bisa berdiri dengan sepasang kakinya. Sementara sepasang kaki bagian atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang tajam. Kepala mahluk itu seperti kera namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran gigi-giginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh. Apalagi matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya meleleh cairan putih. Lendra terkesiap. Makhluk aneh itu seperti sengaja mencegatnya. Apalagi ketika mahluk itu meloncat ke depan dan mencoba mencakar wajahnya. Lendra menjatuhkan dirinya ke samping sehingga sergapan mahluk itu hanya mencakar angin.

Namun begitu Lendra bangkit, mahluk itu sudah meloncat dan mencakar pula. Lendra menjerit ngeri sebab mahluk itu akan mencakar wajahnya.

Untuk ke sekian kalinya Lendra menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan jungkir-balik beberapa kali. Namun demikian, tak urung bahu Lendra terkena sedikit cakaran. Ada rasa dingin dan bercampur pedih manakala sedikit darah mengucur dari luka itu. Dari rasa perih berubah menjadi panas dan gatal. Lendra mencoba menggaruknya. Tapi semakin digaruk semakin perih dan semakin gatal. Belum lagi kulit yang terkena garukan lukanya semakin membesar dan darah semakin mengucur. Melihat Lendra mengeluh lantaran luka di bahu, mahluk itu berbunyi bercuitan dan suaranya menyakitkan telinga. Lendra tak mau terus berhadapan dengan mahluk menjijikan itu. Maka dia balik ke arah semula dan berlari kencang.

Tapi mahluk itu ternyata bisa terbang seperti kelelewar. Ketika dia tengadah ke atas, baru ketahuan bila mahluk itu memang persis kelelawar raksasa. Lendra ingat, kelelawar takut cahaya. Maka ingat ini, sambil berlari kencang dia ambil paneker (pemantik api terbuat dari batu) dari saku bajunya. Paneker itu dia coba nyalakan. Maka ketika terlihat cahaya berkilat, mahluk itu menjerit ngeri dan terbang menjauh. Namun berbarengan dengan itu, tubuh Lendra pun terkulai lemah. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya berdebuk jatuh. [bersambung]

Exit mobile version