Jernih.co

Tokoh-tokoh Islam Deklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamofobia

Para tokoh Islam, antara lain Hidayat Nur Wahid dan Ferry Juliantono, saat mendeklarasikan GNAI di Masjid Al-Azhar, Jakarta, Jumat siang.

Dalam sejarah, George W Bush memiliki kontribusi besar bagi naiknya arus Islamofobia, terutama dengan kampanye massif war on terror, yang banyak mengorbankan Muslim tak berdosa. Dalam film yang tengah beredar, “The Mauritanian”, terlihat betapa banyak Muslim tanpa dosa yang harus menanggung derita pemenjaraan dan siksaan di luar kemanusiaan oleh aparat Amerika. Bahkan, manakala mereka terbukti tak bersalah dan dibebaskan melalui sidang pengadilan, Obama masih saja menahan kebebasan mereka dari pemenjaraan hingga tujuh tahun kemudian.

JERNIH—Meski tidak secergas pepatah gayung bersambut, kata berjawab, para tokoh nasional pada Jumat (15/7) siang berkumpul di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI), yang telah dimulai di PBB 15 Maret lalu. Menurut para tokoh tersebut, narasi anti-Islam dan cenderung islamofobic sudah seharusnya ditinggalkan.

Hadir dalam acara tersebut antara lain Ferry Juliantono, koordinator gerakan sekaligus sekjen Syarikat Islam, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Habib Muhsin, Gus Aam, Ustad Slamet Maarif, mantan anggota DPR Ariady Ahmad, Hatta Taliwang, Anton permana, juga sejumlah aktivis, antara lain, Boyamin Saiman, Wahyono, Syahganda Nainggolan, dan Gde Siriana.  

Ferry Juliantono mengatakan, acara deklarasi Gerakan Nasional Anti Islamofobia tersebut dimulai tepat pukul  14:00 WIB, sebagai respon deklarasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 15 Maret 2022 lalu. Sementara salah seorang deklarator lainnya, Andrianto, mengatakan bahwa acara deklrasi tersebut merupakan yang pertama di Indonesia untuk menangkal stigmatisasi negatif yang dianggap radikal, intoleran dan teroris.

“Deklarasi Gerakan Nasional Anti-Islamofobia ini merupakan bentuk penangkalan, seiring berbagai situasi yang merugikan Islam, antara lain dengan stigmatisasi negatif yakni terma-terma radikal, intoleran dan teroris. Kami berkeyakinan bahwa semua itu harus dianulasi,”kata Ferry.

Sementara Andrianto mengatakan, beberapa kebijakan yang diterapkan di Indonesia dimulai beberapa waktu lalu sangat mengesankan adanya kebijakan rejim yang pekat didasari sikap islamfobia. “Itu  bisa dilihat dari, antara  lain, pembekuan ormas-ormas Islam tanpa melalui pengadilan, selain itu terasa ada narasi soal benturan Pancasila dengan Islam yang radikal,”kata Andrianto.

Sebagian dari para aktivis dan peserta yang hadir.

Deklarasi GNAI sendiri dibacakan oleh koordinator acara, Ferry Juliantono.  Sementara hadirin yang didominasi para aktivis dan kalangan umat Islam, tampak mengapresiasi deklarasi tersebut.

Ferry berharap, gerakan tersebut bisa mengembalikan marwah Islam, terutama dengan adanya arus perubahan di dunia setelah deklrasi PBB. “Kita berharap pemerintah menyambut baik dan mengubah policy ke arah berbagai kebijakan yang lebih positif terhadap umat Islam yang mayoritas,” kata dia.

Sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk menangkal Islamofobia, dikatakan bahwa Islamofobia adalah bentuk lain rasisme yang mewujud dalam beragam bentuk, seperti diskriminasi larangan perjalanan, ujaran kebencian, hingga menyasar pakaian perempuan Muslimah. Resolusi itu diyakini dapat menjadi batu loncatan untuk menangkal sikap Islamofobia secara sistematis dan terstruktur.

Istilah Islamofobia sendiri pertama kali muncul pada Februari 1991, dalam sebuah laporan periodik di Amerika Serikat. Istilah itu kemudian dimasukkan ke dalam kamus Oxford English Dictionary pada 1997, dengan arti, antara lain, rasa takut atau benci terhadap Islam dan karenanya takut dan membenci Muslim. Sementara Center for American Progress pada 2011 lalu mendefinisikan Islamofobia sebagai ketakutan, kebencian, dan permusuhan kepada Islam dan Muslim yang dilakukan berulang dengan prasangka negative, yang berujung sikap bias, diskriminasi, dan marginalisasi Muslim dari kehidupan sosial, politik, dan sipil.

Di sisi lain, Haas Institute mendefinisikan Islamofobia sebagai, “Keyakinan bahwa Islam adalah agama monolitik yang para pengikutnya, Muslim, tidak berbagi kesamaan nilai dengan mayoritas keyakinan lainnya; inferior dari Judaisme dan Kekristenan; kuno, barbar, dan irasional; agama kekerasan yang mendukung terorisme; dan ideologi politik berbasis kekerasan.’’

Dalam sejarah, George W Bush memiliki kontribusi besar bagi naiknya arus Islamofobia, terutama dengan kampanye massif war on terror, yang banyak mengorbankan Muslim tak berdosa. Dalam film yang tengah beredar, “The Mauritanian”, terlihat betapa banyak Muslim tanpa dosa yang harus menanggung derita pemenjaraan dan siksaan di luar kemanusiaan oleh aparat Amerika. Bahkan, manakala mereka terbukti tak bersalah dan dibebaskan melalui sidang pengadilan, Obama masih saja menahan kebebasan mereka dari pemenjaraan hingga tujuh tahun kemudian. [ ]

Exit mobile version