Sebagaimana perlakuan Barat terhadap Rushdie, ‘Victory City’ yang terbit 7 Februari 2023, dipuji sebagai mahakarya oleh para kritikus di Amerika Serikat, Inggris, dan India. Bahkan, seolah pengobat duka buat Rushdie, ada juga peringatan untuk novel ke-15 Rushdie tersebut dengan peluncuran virtual yang dipandu Margaret Atwood dan Neil Gaiman.
JERNIH–Beberapa pekan sebelum Salman Rushdie ditikam di panggung Festival Chautauqua, 12 Agustus 2022, dia telah menyelesaikan dan mengirimkan suntingan terakhir untuk novelnya, ‘Victory City’. Novel itu, menurut dia, terinspirasi oleh sejarah Kerajaan Vijayanagar, kerajaan Hindu abad pertengahan yang pernah berkembang pesat di India Selatan. Rushdie mengurai kembali keruntuhannya sebagai dongeng feminis tentang nafsu kekuasaan.
Sebagaimana perlakuan Barat terhadap Rushdie, ‘Victory City’ yang terbit 7 Februari 2023, dipuji sebagai mahakarya oleh para kritikus di Amerika Serikat, Inggris, dan India. Bahkan, seolah pengobat duka buat Rushdie, ada juga peringatan untuk novel ke-15 Rushdie tersebut dengan peluncuran virtual yang dipandu Margaret Atwood dan Neil Gaiman.
Rushdie pada awal Februari lalu bahkan diminta membuat pernyataan publik pertamanya setelah penikaman itu, melalui sebuah wawancara panjang dengan David Remnick dari majalah The New Yorker. Saat itu penulis “Ayat-ayat Setan” itu menyebut hidupnya sebagai “serangan kolosal”, yang membuatnya mengalami mimpi buruk dan cedera fisik seumur hidup. Seperti yang diceritakan Rushdie kepada Remnick dalam artikel berjudul “The Defiance of Salman Rushdie,” dia mengaku kehilangan penglihatan di mata kanannya, selain mengalami kerusakan syaraf di salah satu tangannya, yang masih membuatnya sulit mengetik. Semua akibat serangan 2022 lalu. Wajar, Rushdie ditikam Hadi Matar, pemuda 24 tahun, lebih dari belasan kali, di depan mata para penonton. Matar ditangkap di tempat dan persidangannya dijadwalkan akan dimulai akhir tahun ini.
Serangan itu jelas tak akan diperkirakan Rushdie. Sudah lebih dari 30 tahun sejak pemerintah Iran mengeluarkan hukuman mati terhadap Rushdie karena menghujat Islam dalam novelnya “The Satanic Verses”. Serangan itu adalah kebangkitan tragis dari sebuah episode yang tampaknya sudah berlalu. Selama beberapa tahun terakhir, Rushdie telah menjalani kehidupan yang relatif terbuka sebagai tokoh sastra di Amerika Serikat.
Memang ada keuntungan yang didapatnya setelah insiden itu. Serangan itu membuat beberapa novelnya kembali masuk daftar buku terlaris dan banyak penulis terkemuka dari seluruh dunia mengadakan pembacaan publik atas karyanya, demi solidaritas, termasuk oleh novelis pemenang Booker Prize, Kiran Desai.
“Dia telah menciptakan panggung bagi kita semua yang percaya pada visi sekuler dunia dan dia membuka pintu bagi begitu banyak penulis,” kata Desai. “Kebebasan berbicara adalah hal yang sangat penting di banyak bagian dunia dan dia telah mendapatkan kekerasan fisik untuk menegakkan visi itu.”
“Victory City” menceritakan kehidupan seorang penyihir dan penyair, Pampa Kampana, yang memimpikan seluruh peradaban terwujud dari benih sihir. Melalui campur tangan ilahi, Pampa hidup selama lebih dari dua abad, menyaksikan banyak kemenangan dan kekalahan kota yang ia tinggali. Dia menuliskan semuanya dan menyegel cerita itu dalam pot tanah liat untuk generasi mendatang.
Kiran Desai mengatakan novel baru itu terasa seperti surat cinta Rushdie untuk para pembaca setia dan sesama penulis. “Ini adalah penyulingan kebijaksanaan. Keyakinan bahwa kata-kata dan cerita yang indah akan tetap ada dalam ingatan kita dan berbisik melalui mimpi generasi berikutnya.”
Dalam sebuah esai yang membuka kumpulan tulisan non-fiksi terakhirnya, “Languages of Truth”, Rushdie menjelaskan bahwa adaptasi sastra dongeng mitologisnya adalah cara untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan kontemporer yang mendesak, sambil tetap mengutamakan kesenangan membaca dan mendongeng.
Di tengah pertempuran yang memukau, intrik pengadilan, dan romansa yang panas, “Victory City” adalah sejarah Vijayanagar–sebuah kerajaan Hindu abad pertengahan yang jatuh ke tangan pasukan Muslim– ala Rushdie. Saat ini situs tersebut telah menjadi simbol Hindu, permusuhan dengan Muslim dan bagian dari penulisan ulang masa lalu India oleh pemerintah nasionalis Hindu yang kini berkuasa di negara tersebut.
“Sejarah jauh lebih rumit daripada apa yang terlihat di India hari ini,” kata Kiran Desai. “Pandangan ultra-nasionalis tentang sejarah berbeda dengan pandangan novelis tentang sejarah.”
Rushdie adalah seorang sekuler yang konon selalu merayakan keberagaman India. Dalam pandangan penulis Bilal Qureshi, ia juga seorang sejarawan terlatih. Dalam penceritaannya kembali tentang Vijayanagar melalui kata-kata dewi Pampa, kota itu dihancurkan oleh nafsu manusia akan kekuasaan, dari semua agama.
Penulis dan jurnalis Aatish Taseer yang banyak menulis tentang kebangkitan nasionalisme Hindu mengatakan bahwa novel sejarah Rushdie bukanlah reka ulang untuk hiburan sastra belaka. Apakah itu Muslim Spanyol di “The Moor’s Last Sigh” atau Vijayanagar di “Victory City”, “… dia menemukan tempat-tempat di mana terdapat kontroversi sejarah, retakan sejarah, dan momen-momen di … masa lalu sebuah negara yang tidak akan hilang dan itu terus mengirimkan gema ke masa kini.”
Setelah Taseer menulis cerita sampul pedas untuk majalah TIME tentang Perdana Menteri Narendra Modi yang ultra-nasionalis, pemerintah India membalas dengan mencabut kartu kewarganegaraan India yang dipegang Taseer. Dia mengatakan Rushdie adalah orang pertama yang dia minta dukungan. “Saya melihatnya sebagai batu ujian. Setiap kali kebebasan berbicara terancam, Salman Rushdie ada untuk mempertahankannya.”
Taseer mengatakan bahwa kehidupan berdarah menjadi fiksi bagi banyak penulis. Tetapi pada Rushdie, itu nyata.
Dalam salah satu adegan paling pedih di buku itu, penyair dan narator Pampa Kampana dibutakan oleh saingannya yang marah. Saat dunia yang dia bayangkan runtuh di sekelilingnya, dia melanjutkan tugas menulis ceritanya: “Yang tersisa hanyalah kota kata-kata ini. Kata-kata adalah satu-satunya pemenang.”
[The New York Times/The Atlantic/NPR]