Jernih.co

Wabah, Virus, dan Politik dalam Fiksi : Membaca Novel “Disorder” Karya Akmal Nassery Basral

ANB setidaknya mengingatkan kita pada kisah-kisah di film layar lebar tentang konspirasi dan wabah, dan—dengan begitu—novel ini pun punya potensi besar untuk diangkat ke layar digital. Menarik jika ada yang berani membuatkan serialnya di tengah minimnya ide segar film genre tersebut dari sineas Indonesia.

Oleh  : Ahmad Fuady, PhD*

JERNIH– Belum banyak novel Indonesia yang mengangkat tema wabah penyakit, apalagi kisah ahli epidemiologi. Laksmi Pamuntjak pernah mencoba introduksi wabah flu burung dan profesi epidemiolog dalam “Aruna dan Lidahnya”, tetapi tidak lebih sebagai sampiran untuk masuk ke jelajah kuliner Nusantara.

Menyebut Aruna sebagai epidemiolog pun rasanya berlebihan—meski kita pun sebenarnya tak punya marka yang jelas tentang siapa yang selaiknya disebut sebagai epidemiolog dan siapa ‘epidemiolog’. Kepakaran tentu bukan sekadar soal gelar atau program studi yang pernah dijalani, juga bukan semata posisi pekerjaan di satu lembaga. Kepakaran, kata Alvin Ira Goldman—seorang filsuf kebangsaan Amerika, adalah gabungan dari luasnya pengetahuan dan kemampuan untuk mengaplikasikannya demi membangun pengetahuan baru.

Ahmad Fuady, PhD

Bahkan, bagi Christian Quast—ahli filsafat ilmu modern Jerman, kepakaran bukan sekadar soal tahu dan paham, tetapi menyangkut tanggung jawab dan misi besarnya kepada masyarakat. Ia harus berlandaskan pada pemahaman epistemik dan mengembalikan pemahamannya dalam bentuk kemaslahatan.

Akmal Nasery Basral (ANB) mencoba masuk dalam definisi kepakaran yang lebih mendalam itu di sosok Permata Pertiwi (Ata), tokoh utama yang disebutnya berulang-ulang sebagai doktor epidemiolog lulusan Lyon, di novelnya tentang wabah, “Disorder”. Sebagai seorang saintis baru, Ata dipaksa matang secara cepat dengan tiba-tiba mengemban misi yang teramat besar di pundaknya sebagai epidemiolog. Dia bukan lagi berkutat pada angka yang diproduksi laboratorium atau instansi negara untuk dibuat laporan ilmiah. Ia bergelut jauh di luar bayangan para saintis muda, bahkan epidemiolog senior sekalipun, untuk memahami sebuah wabah: konteks (geo)politik.

Membaca Ata, mau-tak-mau,  menambatkan saya kembali pada bayangan Wikan Larasati, tokoh jurnalis di novel trilogi thriller lain ANB, “Imperia”. Pada banyak titik—jika tidak ingin menyebutkannya sebagai keseluruhan, Ata lebih punya endusan investigatif ala jurnalis ketimbang saintifik. ANB nampaknya masih menggunakan formula yang sama dengan “Imperia”, terutama buku kedua dan ketiganya. Tempo cepat, plot yang berpindah-pindah, dan twist yang tersebar di mana-mana.

Untuk sebuah novel thriller, tentu itu amat menyegarkan. ANB setidaknya mengingatkan kita pada kisah-kisah di film layar lebar tentang konspirasi dan wabah, dan—dengan begitu—novel ini pun punya potensi besar untuk diangkat ke layar digital. Menarik jika ada yang berani membuatkan serialnya di tengah minimnya ide segar film genre tersebut dari sineas Indonesia.

Dalam tempo yang cepat, Ata bisa berpindah dengan cepat dari Atambua, Lyon, sampai Harbin dan Beijing, untuk menyusun kepingan puzzle di masa awal penyebaran virus G4E5H1N1 yang ANB menyebutnya sebagai epidemi baru SOIV-26. ANB berusaha membuat terminologi virus ini sederhana di tengah kompleksitas dan ketidaksepakatan para saintis global tentang bagaimana cara menamakan virus dan epidemi baru. Ia menyebutnya sebagai SOIV, Swine Origin Influenza Virus. Angka 26 tentu merujuk pada tahun kali pertama virus itu diidentifikasi sebagai jenis baru: 2026.

ANB mengajak pembaca untuk memasuki labirin yang penuh tikungan dan jebakan. Wabah, epidemi, atau pandemi jelas bukan sekadar soal virus. Ketiganya justru lebih berkaitan erat dengan manusia ketimbang virus itu sendiri. Kita bisa berbincang banyak tentang hal tersebut di kesempatan lain, termasuk buku “Pandemi Multirupa” yang juga baru saya terbitkan. Novel ini mencukupkan diri pada satu aspek: konspirasi—dalam kecermatan dan skala yang berbeda-beda antara tokoh.

Ada Professor Tobias Sochet dan sebelas cendikia lain yang tergabung dalam “The Global Order” yang merisaukan kendali kuasa dunia hanya pada kutub konvensional: Amerika dan Cina, juga serentetan kawan-kawan baik mereka. ANB dengan cerdik mengolah Deklarasi Balfour dalam jalinan kisahnya meski tidak menampilkan jalinan yang utuh antara 1917 dan 2026.

Siapa Sochet dan bagaimana kedua belas cendikia yang dijuluki grand master itu dapat bergabung dalam sebuah gerakan bawah tanah, tidak ia jelaskan. Tetapi, itu tentu dapat dimaklumi karena ANB akan membutuhkan nafas tambahan untuk sekaligus membuatnya semacam trilogi seperti “Imperia” jika ingin mengurainya satu per satu.  Betapapun, itu tidak mengurangi kelincahan kisah TGO dan wabah.

Ada Alex Lauw dengan bumbu cinta masa lalu. Ada kakak-kakak Ata dengan semua latar belakang yang dicicil uraiannya sepanjang novel. Bahkan, ada Paus Yohannes Paulus III yang mendadak jatuh sakit di tengah perjamuan makan bersama banyak tokoh di Hari Orang Miskin Sedunia. Apakah Paus terserang virus, terkena serangan jantung, atau malah diracuni? Mengapa harus Paus? Silakan Anda baca saja sendiri kisahnya dan segala dampak yang harus Anda tanggung sendiri—akan berdecak kagum, terheran-heran, atau tak puas; itu terserah Anda.

Jika kita pernah membaca trilogi “Imperia”, kita tak akan terkejut lagi dengan cara ANB mengurai ensiklopedia pengetahuannya dalam runutan kisah yang terjalin dengan baik. ANB berhasil memadatkan itu tanpa memberi kesan menggurui atau pamer pengetahuan. Dosisnya pas. Keberanian ANB masuk ke wilayah virologi juga perlu diacungi jempol karena tak banyak penulis non-medis yang berani menyelam ke dunia virus yang njelimet. Keputusan ANB untuk menjadikan Ata yang seorang saintis muda sebagai tokoh utama pemecah misteri dapat menjadi kelebihan dan kekurangan sekaligus.

Dalam dunia saintis realis, sulit untuk memahami Ata. Sehebat apapun saintis muda, mereka umumnya harus merangkak untuk mendapat rekognisi kepakarannya. Dunia sudah sesak dengan orang berlabel ‘doktor’, tetapi ‘doktor’ yang mana yang harus mereka percayai, itu sangat bergantung rekam jejak yang ia susun bertahun-tahun.

Tidak ada jalan pintas. Tak peduli lulusan Harvard, Oxford, atau Mars sekalipun, jika tak ada jejak yang dapat diukur, ia sesungguhnya bukan siapa-siapa. Apalagi, untuk perkara wabah penyakit infeksi, jejaring global telah terbentuk dalam the International Society for Infectious Diseases yang berdiri sejak tahun 1994 dan makin berkembang. Pakar global health security juga berjejeran untuk lebih dulu disungkemi—atau setidaknya dibaca dan disitasi artikel ilmiahnya.

Tetapi, mungkin dunia memang sudah berubah. Ekspansi digital memungkinkan siapa saja bicara dan mendapat perhatian. Dikagumi jutaan pengikut, digugu dan disebarluaskan isi kepala dan ucap katanya. Tak ada batas. ANB, pada konteks ini, tak cukup kuat memberi latar belakang.

Untuk para pembaca berlatar belakang sains atau kesehatan, ini berpotensi menyurutkan minat membaca mereka sejak awal. Tetapi, ANB tidak perlu khawatir. Untuk pembaca di luar kalangan itu, mereka tak akan peduli dengan latar belakang yang terlalu teknis tersebut. Mereka dapat menikmatinya tanpa merasa terganggu.

Di sisi sebaliknya, keberanian ANB mengajukan Ata dengan intuisi investigasi lapangannya juga dapat dianggap sebagai kelebihan sekaligus kritik terhadap epidemiolog—dan saintis—yang selama ini masih kerap mengandalkan laporan ilmiah untuk menginvestigasi masalah kesehatan. Kebanyakan mereka enggan masuk ke dalam wilayah yang lebih riskan bagi para saintis: belukar politik dan bisnis. Mereka bukan apolitik, tetapi secara tidak sadar membatasi diri untuk menjadi sekuler. Toh, politik selalu ada dalam dunia saintifik dalam berbagai tingkatannya. Dari yang paling lemah—sekadar senggal-senggol dan saling jungkal di kampus dan instansinya; rebutan ide riset; adu kuat untuk posisi dan jabatan riset; hingga berebut pengaruh kebijakan skala nasional-regional-global.

Dalam sejarah wabah, kita mengenal Rudolf Virchow, ahli patolog Jerman yang mencari tahu sebab musabab epidemi typhus di Upper Siselia. Ia bukan saja menginvestigasi hubungan wabah tersebut dengan apa yang terjadi di dalam sel, tetapi juga berhasil menyimpulkan bahwa wabah—juga kelaparan—yang terus menerus berlangsung adalah selalu malapetaka bagi “a poor, ignorant and apathetic population”.

Seabad sebelumnya, ada Johan Frederick Struensee yang bukan saja berhasil menginokulasi virus cacar untuk membentuk imunitas buatan pertama kalinya dalam sejarah, tetapi mengambil alih arah kebijakan politik Raja Christian Denmark yang semula feodal dan menyengsarakan rakyat jelata.

Ketika Ata menerobos batasan epidemiolog dengan menjadi investigator lapangan yang menyibak konspirasi, ANB boleh jadi tengah mengintroduksi varian epidemiolog baru. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi meskipun kisah Ata baru sebatas fiksi.

Namun, yang paling penting dari itu semua, kita tengah disodorkan karya yang menambah khasanah literatur bangsa yang juga secara tidak langsung tengah membantu banyak orang memahami bahwa, seperti kata Virchow, politik adalah obat dalam skala yang lebih besar. Jika saya boleh menambahkan lagi: politik juga adalah virus dalam skala yang jauh lebih besar. [ ]

*Alumnus Erasmus University Medical Center, Rotterdam. Saat ini menjadi peneliti tamu di Departemen Kesehatan Masyarakat Erasmus University.

Exit mobile version