Site icon Jernih.co

5 PUISI BUNDA ZIBAN

BERIAK BERAJUT INDAH


Gerimis cerik, memantau cakrawala gering,
seperti orok yang merindukan indung.
Tak terbayang jalmi, kolebat menjauh sikon,
hati yang terluka seperti daun kering yang terhempas.
Hawa semakin gelisah, blingsatan mencari jojodog,
seperti manuk yang terbang mencari sarangnya.
Berlari mengarah asal sinar berkilau dari kejauhan,
menyusuri jalan yang berliku, mencari cahaya di ujung tunnel.
Diam-diam adem sambil panon jelalatan,
sapertos singa siap menerkam mangsanya.
Wahai jalmi, sadarlah, dunia ini harus penuh kembang sareri,
seperti taman yang indah, penuh warna nu sengit.
Hilangkan ego, mawas selalu, nyata bukan reka yasa belaka.
Seperti cai nu herang, tidak tercampur dengan yang kotor—
tentram, makmur, penuh ceria,
seperti surga yang indah, penuh kedamaian dan kebahagiaan.
Semilir angin menerpa, dipandang jalmi tiap pelosok,
membawa kesejukan dan kesegaran.

Cimahi, 17 Februari 2025

Catatan arti kata:
• cerik = menangis
• gering = sakit
• orok = bayi
• indung = ibu
• jalmi = manusia
• jojodog = tempat duduk
• manuk = burung
• panon = mata
• sapertos = seperti
• kembang = bunga
• sareri = senyum
• sengit = wangi
• cai = air
• herang = bening/terang


CATATAN REDAKSIONAL

Gerimis, Ego, dan Aroma Sengit Kehidupan Bunda Ziban

oleh IRZI Risfandi

Bunda Ziban tidak menulis puisi untuk pamer kecanggihan diksi atau bermain dengan bebunyian bahasa semata. Ia menulis seperti orang tua menanam bunga di halaman rumah: pelan, penuh kasih, dan berharap kelak ada yang mencium harumnya. Dalam puisi “Beriak Berajut Indah,” ia membawa kita masuk ke taman semi-filsafati yang bergetar oleh gerimis, gemetar oleh gelisah, tapi juga hangat oleh harapan. Bahasanya centil dalam pilihan kata, sundawi dalam jiwa, dan kritis pada dunia yang makin kaku dalam berperasaan.

Diksi lokal sunda seperti orok, jalmi, manuk, cai, panon, dan jojodog bukan sekadar ornamen eksotis khas Priangan, tapi jendela rasa: membuka kemungkinan baru bagi puisi Indonesia untuk tetap bersuara dalam bahasa ibu. Di tangan Bunda Ziban, kata “gerimis” bisa terasa seperti pelukan yang ditunda, dan “orok merindukan indung” terasa bukan hanya sebagai metafora kesakitan, tapi juga nostalgia kolektif kita terhadap kedamaian yang makin langka. Ia seperti sedang mengintip dunia modern dari jendela dapur neneknya—dan tetap berani bicara, meski dengan suara lembut.

Puisi ini bukan hanya tentang keindahan atau kedamaian yang ditawarkan dunia ideal. Justru ia memanggil kita untuk menyadari betapa kehidupan ini sering dijalani dengan “panon jelalatan” dan hati yang “sapertos singa”—waspada, gelisah, dan siap menerkam. Ada lapisan kritik sosial yang halus di sini: tentang ego yang perlu dienyahkan, tentang dunia yang butuh kembang sareri—senyum tulus, bukan senyum editan. Tentang realitas yang tidak bisa terus disulap sebagai reka-yasa, alias pencitraan berkepanjangan. Di balik kelembutan puisinya, Bunda Ziban menyelipkan tusukan: dunia ini perlu dibersihkan, tidak hanya dengan doa, tapi juga dengan mawas diri.

Sebagai seorang penyair yang juga guru, pengusaha, penyanyi, dan pecinta warna hijau, Bunda Ziban adalah contoh nyata dari perempuan multitalenta yang menulis bukan untuk mencatat sejarah besar, tapi untuk menjaga denyut halus kehidupan sehari-hari. Ia mengajari kita bahwa spiritualitas tidak selalu hadir dalam bait yang berat atau metafora gelap. Kadang, ia muncul dalam imaji daun kering, manuk yang mencari sarang, atau angin semilir yang “dipandang jalmi tiap pelosok.” Ia bicara dari Cimahi, tapi pantulan puisinya bisa terasa hingga jantung Jakarta yang gaduh, atau desa-desa di mana sinyal susah tapi harapan tetap menyala.

“Beriak Berajut Indah” adalah ajakan untuk kembali kepada beningnya air dan wangi bunga—bukan dalam bentuk pelarian, tapi sebagai langkah sadar untuk hidup lebih jernih. Dalam dunia yang terlalu banyak “berkilau di ujung tunnel” tapi jarang sekali tenang di dalam hati, puisi Bunda Ziban mengingatkan kita bahwa kadang, yang kita butuhkan bukan pembaruan sistem atau reformasi struktur, tapi sebuah kembang—yang mekar, wangi, dan bisa diajak senyum bersama.

2025


CAKRAWA MERONA


Suka tidak suka, nyata adanya,
hiruk-pikuk bagai anak ayam kehilangan induk.
Tak keruan jadinya keadaan ini,
kumbang berkeliaran membawa nafsu jagonya.
Penderitaan semakin merajalela, tak bisa dihadang.
Lemah gemulai bunga padi tertiup angin, merintih.
Gerimis menyemarakkan keadaan yang semakin redup.
Sudahkah berpikir apa yang diperbuat untuk bangsa—
bukan berapa banyak aku punya.
Ada di mana kala runtuh adanya?
Langkah apa diambil di kala merona?
Bumi ini milik orang yang peduli.
Bumi ini: sayangi dan piara.
Jauh untuk berbuat? Biarlah lingkungan yang hadapi.

Cimahi, 15 Januari 2025


DUNIA FANA MENOREH LUKA


Zaman begitu berputar, bagai gasing hitam pekat.
Semarak jeritan kodok di nusa persada indah pesona.
Halilintar ikut memperlihatkan keadaan sekitar—
bercabik-cabik di setiap pintu rumah sepi, bagai tak berpenghuni.
Gemetar suara angin beriringan menghembus di setiap detik.
Insan cilik asyik, tak menghiraukan lingkungan sekitarnya,
seakan tak peduli apa pun tragedi berkecamuk.
Mereka bebas, seakan dunia kini milik sendiri.
Waktu habis terkikis oleh khayalan dan mimpi-mimpi.
Tampak di raut mungil yang kusut, tak ceria bila dihadang.
Begitu tinggi asyiknya bermain, berputar jari-jari mungil nan lentik.
Wahai sang waktu, mau dibawa ke mana insan-insan ini?
Mari telaah, cermati, teliti saksama isi dunia ini,
agar nanti tak kecewa dan tercabik persada tercinta.
Mumpung masih ada waktu—bunga-bunga penerus ahli semarak negeri.

Cimahi, 17 Januari 2025


PILU MENJADI CERIA


Insan hidup di setiap bayangan matahari,
lelah selalu mengikuti langkah yang penuh luka.
Terpatri bulat diri dipandang bagai bunga berduri,
tak gentar menjalankan hidup dengan keyakinan.
Setitik demi setitik, selalu dijalani untuk menguranginya,
serta punya keyakinan diri: pasti bisa berubah,
asal tulus serta berpasrah.
Apa pun itu, masa lalu baginya adalah pelajaran,
dan ia percaya—ini bulan penuh ampunan.

Cimahi, 10 Maret 2025


SETETES DAHAGA TERISI


Tak perlu memikirkan seberapa banyak kita memberi pada orang lain;
yang penting adalah niat yang tulus,
serta kemauan untuk melakukan yang seharusnya di jalan Allah Swt.
Tidak ada yang mustahil terjadi,
selama kita ikhlas menjalankannya dan membagikan apa yang kita punya.
Insyaallah, itu akan membuat kita lebih berharga—
dan yang lebih penting, bermanfaat untuk yang menerima.
Tak perlu melihat kiri dan kanan,
tak perlu malu atau terus kepikiran oleh rasa takut ini dan itu.
Mari kita bersedekah mulai sekarang,
terlebih di bulan yang penuh berkah ini.
Insyaallah, kita akan mendapat kemenangan yang indah,
bagai bunga melati: kecil, tapi harum.
Cimahi, 10 Maret 2025


BIODATA :


Bunda Ziban adalah nama pena dari Dra. Hj. Lis Suharti, M.M.Pd., lahir di Lebak, 10 Mei 1964. Ia merupakan guru di MAN 1 Kota Bandung sekaligus pemilik Gedung Serbaguna Ismail dan Steam Wash (pencucian mobil dan motor). Pendidikan formalnya ditempuh mulai dari MI Pasir Haur hingga SMA Negeri 1 Rangkasbitung, kemudian melanjutkan studi S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menyelesaikan S2 di UNINUS Bandung.


Selain aktif di dunia pendidikan dan usaha, Bunda Ziban dikenal sebagai penyair dan pecinta seni. Ia kerap membacakan puisi dan bernyanyi, sering kali membawakan karya-karyanya sendiri. Kecintaannya pada warna hijau, serta dukungan dari keluarga dan orang terdekat, menjadi sumber inspirasinya dalam berkarya.


Buku puisi tunggal yang telah ia terbitkan antara lain: Surya Senja (2021), Pelita (2020), Cahaya Mentari Bersinar Berkilau (2024), Kado Buah Hati (2021), Prestasiku Motivasimu (2022), dan Teratai Melilit (2023). Ia tinggal di Cimahi, Jawa Barat.

Exit mobile version