Site icon Jernih.co

5 PUISI DEWIS PRAMANAS

BURUNG-BURUNG PUISI

Kutelusuri padang aksara
Rupanya rimbun hijau pepohonan
Bertengger burung-burung nan cantik
Riuh senandung berirama mayor
Perihal untaian histori juang
Menembus palung terdalam

Mereka bukan sekadar merdu bertutur
Tuai adab pada keturunannya
Namun elok menyulam sutera di pakaian
Menjahit lukanya sendiri

Burung-burung itu pun bersukacita
Bersama mengarungi hamparan kata
Mengerami anak puisi yang kelak terbang
Dekap erat dalam satu frekuensi saling

Subang, 23 Maret 2024


CATATAN REDAKSIONAL

Burung-Burung dan Kata-Kata: Ketika Puisi Jadi Sarang Imajinasi yang Ramai dan Ramah


oleh IRZI Risfandi

Membaca puisi Burung-Burung Puisi karya Dewis Pramanas itu seperti mengintip sarang maya seorang guru SD yang sedang menyulap papan tulis menjadi langit kata, lalu memanggil burung-burung untuk hinggap di tiap barisnya. Tapi jangan buru-buru mengira ini sekadar puisi alam yang manis dan bersayap. Di balik metafora lembutnya, Dewis menyisipkan pesan yang bikin kita berhenti, lalu senyum-senyum sendiri sambil mikir, “Eh, ini tentang aku juga ya?” Karena ternyata yang berkicau itu bukan burung sembarangan—mereka adalah penulis, penyair, pemimpi, dan bahkan mungkin netizen aktif yang sedang menenun arti dalam rimba kata.


Dari larik awal, “Kutelusuri padang aksara / Rupanya rimbun hijau pepohonan,” kita langsung diajak masuk ke sebuah dunia yang literer banget, tapi tanpa gaya-gayaan. Ada kesegaran alami yang lahir dari metafora ini, nyaris seperti membuka laman buku antologi digital dengan kopi panas dan jari yang gatal ingin membubuhi highlight. Burung-burung dalam puisi ini adalah simbol produktif nan kontemplatif—bisa siapa saja yang menulis, berkisah, menyulam sejarah dan luka, bahkan sambil mengasuh anak puisi mereka sendiri. Kalau ini bukan gambaran multitasking ala Gen-Z literasi, saya nggak tahu lagi.


Lalu lihatlah betapa cerdiknya Dewis menempatkan burung-burung itu sebagai makhluk yang bukan hanya bersuara merdu, tapi juga “tuai adab pada keturunannya” dan “menjahit lukanya sendiri.” Ini bukan sekadar puisi, ini manifesto lembut tentang betapa pentingnya regenerasi dalam dunia kepenulisan—bahwa menulis bukan hanya tentang eksistensi, tapi juga etika dan warisan rasa. Ada self-healing, ada edukasi, dan ada keteguhan di balik puisi yang katanya cuma duduk manis di media daring. Kalau boleh usil, ini kayak reminder buat para penyair medsos: postingan estetik itu sah, tapi jangan lupa kasih isi, ya.

Dewis Pramanas, yang sehari-hari adalah guru SD di Subang dan juga penulis buku puisi Perindu Hujan, menulis dengan laku yang konsisten. Ia hadir bukan dengan kehebohan gaya, tapi dengan kesadaran akan kata. Dari latar profesinya sebagai pendidik, kita bisa mengendus kejujuran yang khas dalam puisinya—tidak menggurui, tapi menuntun. Ia membiarkan kita menemukan diri kita di antara burung-burung yang sedang “mengerami anak puisi yang kelak terbang.” Romantis? Sedikit. Reflektif? Pasti. Dan yang jelas, penuh semangat berbagi yang khas komunitas sastra daring.


Puisi ini, di tengah dunia yang makin bising dan sering sinis pada kata-kata, hadir seperti undangan hangat untuk tetap bersuara, bertumbuh, dan menulis bersama. Burung-burung puisi milik Dewis bukan hanya sedang terbang, tapi juga sedang membangun sarang untuk puisi-puisi baru yang lebih merdeka, lebih penuh makna, dan—kalau boleh centil sedikit—lebih siap masuk feed IG dengan caption renyah tapi bermutu. Karena pada akhirnya, di mana pun kata-kata itu mendarat, selama ia menyentuh satu hati saja, burung-burung itu telah berhasil menyanyi.


2025


AKU MENCINTAIMU DENGAN SABAR

Perjalanan kita masih panjang
Seperti lautan yang tiada bertepi
Aku bahkan masih belajar pada ombak
Bagaimana menyelami palung hatimu
Agar mampu beradaptasi
Dari temperatur suhu tubuhmu

Sementara terpaan gelombang prahara
Gencar menghunjam marwah kesetiaan
Namun tekad telah terukir dalam jiwa
Mencintaimu dengan sabar
Layaknya kapal pesiar arungi
Luas samudera

Sampai suatu saat nanti
Terlihat uban memenuhi rambut
Yang kuyup oleh keringat
Aku tak merasakan lagi gersang
Udara di pesisir pantai
Sebab suatu hari nanti
Tubuh ini menyatu dengan karang
Melarung usai senja menyapa

Subang, 1 Mei 2025


KALI INI AKU PERGI

Nyanyian tembang cinta mengiringi
Saat kita tiba di persimpangan jalan
Saling merangkul mimpi dalam altar suci
Namun, buih-buih itu mengaburkan tekad

Aku terhenti bertualang
Dari rangkaian perhelatan waktu
Menjadi rumah tuk berteduh
Pundak penopang wajah sembapmu

Mentari menerangi jejak episode
Agar tak terhapus mendung
Kerap dicumbui bayang hari-hari
Dalam keriuhan rindu bersarang

Maaf kali ini aku pergi
Bersama kumpulan kisah
Serta semerbak aroma kesturi
Dan ukiran nama pada nisan

Subang, 17 Maret 2024


PERIHAL PULANG YANG SENTIMENTAL

Kota yang dulu kita singgahi
Ialah jejak memoar indah
Nuansa nostalgia menyeruak
Dari kabar embus angin

Riuh bertabur potret histori
Seperti lintasan rel kereta
Menyusuri rimbun dinamika
Gencar menghunjam kepala

Kau hadir pada fase musim hujan
Yang rinainya mengusir sepi
Namun, kala itu kita angkat kaki
Dipisahkan rintik-rintik gerimis
Meninggalkan potongan replika kasih

Kini jiwaku telah berada di fase rindu
Gerombolan kenang berdatangan
Terus menyerbu gerbong ingatan
Sementara sesal tampak di guratan kening
Dari berseminya kelindan kisah lalu

Aku menemukan persinggahan sesungguhnya
Menyusuri jalan terjal belantara dunia
Telah merubah arah navigasi hidup
Setelah sekian pernama di rantau

Aku ingin pulang
Menebus kesalahan yang menjurang
Lalu kita kembali seperti seharusnya
Menyambung asa sempat terputus
Semoga rasamu masih sama

Subang, 12 Maret 2025


PERMAINAN WAKTU

Semua gara-gara permainan waktu, aku datang menjelma rembulan namun malam-malam itu pun malah beranjak pergi. Semua telah berganti cahaya yang bertolakbelakang dengan seribu rencana yang tersusun

Kasihku resapilah, aku masih ada menetap di bawah langit yang sama, tak beranjak pergi namun dinamika perjalanan perihal mimpi-mimpiku yang membuat kita terdistorsi ilusi perpisahan.

Tenangkan dirimu sebab rindu ini akan terus bersemi walau kini terpisah dimensi berbeda. Ini hanya keadaan yang tidak tepat. Percayalah kasih lampu-lampu itu akan terus menerangi mimpi indah kita.

Aku percaya kesetiaanmu layaknya bintang yang tulus mendampingi rembulan pada remang malam meski nanti terjeda pagi.

Subang, 29 Mei 2025


BIODATA :


Dewis Pramanas, lahir di Subang, 1 Maret 1987. Ia adalah seorang guru di SD Negeri Ciberes, Subang, dan menetap di Jawa Barat. Hobi menulis puisi dan membaca buku membawanya aktif bergiat di berbagai komunitas literasi daring. Buku puisi tunggalnya berjudul Perindu Hujan, sementara karya-karya puisinya juga termuat di sejumlah media daring. Baginya, menulis adalah ruang untuk membebaskan imajinasi dan menyuarakan keresahan hati.
Instagram: @dewispramanas

Exit mobile version