TANAH INI , AKU INDONESIA
Tanah ini,
bukan sekadar peta yang dibingkai sejarah,
ia napas dalam dada para petani,
ia peluh di kening serdadu,
ia mimpi anak-anak yang membaca bintang di langit kampung.
Merah putih tak hanya warna,
tapi denyut jantung yang bersatu dalam beda,
tangan-tangan kecil menyulam makna
dari luka masa lalu hingga janji masa depan.
Aku Indonesia,
dengan seribu bahasa yang tak saling
membungkam,
dengan laut dan gunung yang tak saling iri,
dengan luka yang dirawat jadi pelita.
Kita bukan hanya warisan leluhur,
tapi juga janji bagi yang belum lahir.
Kebangsaan bukan slogan,
ia adalah cara kita memeluk tanah
tanpa menyingkirkan rumput yang berbeda warna.
Berdiri, berjalan, bersuara
dengan cinta, bukan curiga.
Dengan harap, bukan hanya kata.
Sebab tanah ini,
telah lama menunggu
anak-anaknya tumbuh
bukan untuk saling menumbangkan,
tapi menumbuhkan.
Padang, Agustus 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Menumbuhkan Indonesia Dengan Bahasa Yang Mengajak
Oleh : IRZI Risfandi
Puisi “Tanah Ini, Aku Indonesia” karya Era Nurza menjelma sebagai naskah cinta yang tulus dan jernih terhadap tanah air—bukan dalam bentuk pekik slogan atau jargon nasionalistik kering, tapi sebagai napas puitik yang mengalir pelan dan hangat, seperti nasihat seorang guru yang sedang berbincang dengan murid-muridnya setelah upacara Hari Kemerdekaan. Puisinya tidak berteriak, tidak menggertak dengan kata-kata besar atau simbol politik yang membara. Ia memilih cara yang lebih subtil namun tak kurang kuat: dengan metafora yang membumi, diksi yang lembut, dan struktur yang teratur seperti paragraf-paragraf dalam buku pelajaran yang benar-benar ingin dimengerti. Di tengah gempuran gaya penulisan puisi yang kini banyak bermain-main dengan absurditas dan ledakan visual, pendekatan pedagogis Era Nurza terasa menyejukkan dan sadar tujuan: mengajak, bukan menggurui; merangkul, bukan membatasi. Sebaris “ia napas dalam dada para petani, / ia peluh di kening serdadu, / ia mimpi anak-anak yang membaca bintang di langit kampung,” adalah puisi dan pelajaran PPKn sekaligus. Dalam baris itu, Era tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga mengangkat martabatnya.
Keunggulan utama puisi ini terletak pada kemampuannya menghidupkan nasionalisme melalui perumpamaan sehari-hari yang konkret dan inklusif. Misalnya, metafora merah putih sebagai “denyut jantung yang bersatu dalam beda” adalah lompatan indah dari simbol ke makna. Kata “bersatu dalam beda” bukan sekadar pengulangan jargon, tetapi pengingat lembut tentang potensi kebangsaan yang tidak memaksakan keseragaman. Di sinilah kita merasakan sisi pedagogis Era Nurza yang halus namun efektif: ia menyelipkan nilai-nilai dalam baris-baris yang ringan, menjadikan puisinya bisa masuk ke ruang kelas, ruang keluarga, bahkan ruang batin. Ia tahu bagaimana membuat pembaca merasa “ikut memiliki” Indonesia, bukan sekadar sebagai kata benda atau geografi, tapi sebagai rasa yang tumbuh, berkembang, dan menuntut tanggung jawab. Ia tahu bahwa menulis puisi tentang tanah air bukan soal menyerukan cinta secara keras, tapi menanamkannya diam-diam di kepala pembaca. Dan itu kekuatan puisi ini—ia tidak perlu emosional secara teatrikal, karena justru emosi itu dirasakan setelah puisi usai dibaca.
Namun, kehalusan itu juga menjadi tantangan bagi puisi ini. Ada titik di mana kelembutan narasi menjadi terlalu aman dan kehilangan momentum kritis. Ketika Era menulis “Kebangsaan bukan slogan, / ia adalah cara kita memeluk tanah / tanpa menyingkirkan rumput yang berbeda warna,” kita ingin sekali ada kelanjutan yang lebih tajam. Siapa yang menyingkirkan rumput itu? Siapa yang memonopoli makna kebangsaan selama ini? Ada ruang di puisi ini yang terasa terlalu bersih dan belum disentuh oleh kompleksitas realitas sosial-politik Indonesia hari ini. Apakah nasionalisme kita cukup hanya dengan mengakui perbedaan, atau perlu juga berani menyebut bentuk-bentuk ketidakadilan yang membuat “anak-anak tanah ini” saling menumbangkan? Kritik ini bukan untuk menggantikan gaya lembut Era, tetapi mendorong perluasan cakrawala puisinya agar tidak hanya inspiratif, tetapi juga kontekstual dan berani. Sebab bangsa bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang luka yang harus dijahit.
Dalam konteks puisi Indonesia mutakhir yang mulai banyak ditulis oleh para pendidik dan penyintas profesi, karya Era Nurza memiliki posisi penting: ia bisa dibaca lintas usia dan tetap menyentuh. Estetika puisinya tidak rumit, tetapi cermat. Pilihan enjambemen-nya tidak ekstrem, namun cukup menjaga irama pembacaan agar nyaman dan tidak monoton. Puisi ini bisa dengan mudah dibacakan di upacara sekolah atau lomba baca puisi, namun tak kehilangan sisi kontemplatifnya ketika dibaca sendirian dalam keheningan. Itu bukti bahwa puisi ini dibuat dengan rasa tanggung jawab, bukan hanya luapan ekspresi. Nama pena Era Nurza sendiri, yang lahir dari sosok Edrawati, M.Pd., seorang pendidik asal Padang, juga mencerminkan kecenderungan untuk menjembatani dunia akademik dan seni. Keterlibatannya dalam banyak antologi, serta latar belakangnya di Universitas Negeri Yogyakarta, memberi warna tersendiri dalam puisinya: disiplin, pedagogis, tapi tetap imajinatif.
Di tengah hiruk-pikuk puisi yang berusaha tampil nyeleneh, Era Nurza memilih jalur yang tenang tapi berdampak. Puisinya bukan pameran diksi, melainkan peta batin yang bisa dilalui siapa pun yang ingin belajar mencintai tanah air dengan lebih sabar dan berani. “Tanah ini, aku Indonesia” bukan hanya judul, tapi mantra yang bisa menjadi dasar kurikulum alternatif kebangsaan: berbasis empati, membumi, dan penuh harap. Kita mungkin belum sampai pada Indonesia yang seperti dalam puisi ini, tapi jika setiap kata bisa menjadi benih sikap, maka puisi Era adalah ladang yang menanti ditanami oleh anak-anak bangsa yang bukan hanya ingin hidup di tanah ini, tetapi juga merawatnya agar tetap tumbuh—bersama, dalam perbedaan.
JEJAK RASA NUSANTARA
Kutelusuri jejak bumi pertiwi,
dari sabang rasa hingga merauke kenangan
bukan sekadar kaki yang melangkah,
tapi lidah yang bertualang dalam cinta cita rasa.
Pagi di Jogja, kudekap hangat gudeg,
manisnya seperti rindu yang tak jadi pulang.
Di Solo, selat dan cabuk rambak
berbisik pelan, tentang sejarah yang tetap melekat.
Kudaki Bandung dalam semangkuk cuanki,
lalu kududuk tenang di tepi sore
menyeruput bajigur seperti memeluk kenangan.
Di Padang, rendang tak cuma hidangan,
ia adalah puisi yang dimasak dengan sabar,
tiap rempah mengajarkan bagaimana mencintai
tanpa tergesa.
Kupijak Makassar, mencicip coto dan konro,
seakan setiap suapan adalah pelajaran
tentang gagahnya rasa yang jujur.
Lalu di Manado, rica-rica menyala di lidah,
membakar letih dan membuat jiwa menari.
Bali menyambut dengan lawar dan ayam betutu,
bumbunya bukan sekadar racikan,
tapi mantra dari generasi yang mewariskan rahasia alam.
Tak lupa soto Lamongan di pinggir jalan,
teman paling setia perjalanan malam,
dengan kerupuk yang renyah seperti tawa anak kecil
yang melihat dunia untuk pertama kali.
Begitulah aku berjalan
tidak hanya mengunjungi tempat,
tapi merayakan Indonesia
melalui rasa yang tak pernah bohong.
Karena kadang, yang paling membekas
bukan lanskap, bukan langit biru,
tapi sepiring kecil yang membuat
kita ingin kembali ke negeri sendiri.
Padang, Agustus 2025
LANGKAH RASA, JEJAK CERITA
Di antara riuh kota yang berdebu,
kupilih arah menuju rindu baru
di mana jalan-jalan bersenandung aroma,
dan mata dimanja warna-warni rasa.
Langkah kaki bukan sekadar pelancongan,
tapi ziarah pada jejak-jejak kelezatan.
Setiap sudut adalah sajak
yang disajikan dalam sepiring kenangan.
Ada sate yang bicara dengan bara,
mie yang mengalirkan kisah dari zaman tua,
es serut bernostalgia pada masa kecil,
dan kopi hitam yang merangkul waktu senyap-senyap.
Pasar malam pun bersinar bak galaksi,
gerobak-gerobak menjadi bintang yang
berseri dengan tawa pedagang yang hangat,
dan lidah yang menari tanpa penat.
Ini bukan sekadar liburan,
ini perjamuan jiwa di persimpangan negeri.
Menjelajah bukan hanya tentang tempat,
tapi rasa yang menyapa hati paling dalam.
Mari kita jalan-jalan,
biarkan rasa jadi pemandu arah
karena terkadang, pulang
bermula dari satu gigitan pertama.
Padang, Agustus 2025
LANGKAH CINTA DI BAWAH PAYUNG ADAT
Di halaman rumah gadang,
matahari turun dengan pelan
seolah tahu, hari ini bukan sembarang hari,
ini tentang cinta yang dijemput dalam iringan tradisi.
Payung kuning menari di atas kepala,
mengiringi marapulai menuju gerbang keluarga.
Langkahnya pasti, namun hatinya gemetar,
sebab ini bukan sekadar pertemuan dua jiwa,
tapi pertautan dua dunia.
Dulang-dulang berisi harapan,
dibawa ibu-ibu dalam kain yang berkilau,
bau rendang dan daun sirih
menyatu dengan doa-doa yang tak bersuara.
Anak daro, berdiri bagai rembulan,
berbalut songket warna langit petang.
Tatapannya tenang, tapi matanya bercerita
tentang hari-hari yang telah ia rajut
dengan benang kesetiaan dan rindu yang panjang.
Gandang tabuah membelah pagi,
tari piring menghidupkan bumi,
satu per satu langkah ditata,
dalam gemulai yang bukan hanya indah,
tapi sarat makna dan warisan tua.
Di tengah pesta yang ramai,
dua tangan saling menggenggam erat,
tak perlu banyak kata,
karena adat sudah berbicara,
cinta ini telah sah,
oleh langit, oleh bumi, oleh darah.
Mereka tak sekadar menjadi pasangan,
tapi pelanjut cerita sebuah kebudayaan.
Cinta mereka kini tak sendiri,
ia berjalan bersama payung adat
menuju masa depan yang diberkahi.
Padang, Agustus 2025
LANGKAH MENUJU BINTANG
Aku tahu jalanku tak selalu mudah
Ada kerikil ada luka ada hari di mana aku nyaris menyerah
Tapi setiap langkah kecil tetap berarti
karena aku sedang menuju sesuatu yang lebih besar dari rasa takutku
Bintang itu jauh
tapi aku lebih takut hidup tanpa mencoba.
Lebih takut diam dan membiarkan waktu berlalu
tanpa pernah tahu apa yang bisa kuraih jika aku terus berjalan
Tak apa lambat
asal tidak berhenti
Tak apa jatuh
asal mau bangkit kembali
Semua orang pernah ragu
tapi yang bertahan akan menemukan jalannya
Hari ini aku mungkin belum sampai
tapi aku sedang dalam perjalanan
Dan itu cukup
karena aku percaya
setiap langkah adalah kemenangan
Padang, Agustus 2025
BIODATA
Era Nurza (nama pena dari Edrawati, M.Pd.) adalah penulis dan pendidik asal Padang, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Telah menerbitkan empat buku tunggal dan berkontribusi dalam lebih dari 40 antologi fiksi dan nonfiksi. Aktif di berbagai komunitas literasi, ia menulis sebagai bentuk perawatan makna, dokumentasi rasa, dan suara kegelisahan.
