Site icon Jernih.co

5 PUISI GUNOTO SAPARIE

KEPADA PRABOWO-GIBRAN

di halaman istana yang lengang dan senyap
angin membawa suara dari pelosok dusun
ada harapan yang belum sempat kalian tangkap
tersangkut di langit, menunggu perhitungan musim

kami tak meminta langit dibuatkan tangga
cukup sawah tak kering, dan harga tak naik
tapi kalian pernah berikrar di panggung negara
bahwa keadilan akan turun—tak hanya baik-baik

anak-anak menulis nama kalian di buku sekolah
ibu-ibu menyebut kalian di sela doa dan duka
tak usah gemilang, asal jangan gelap sejarah
tak usah sempurna, asal setia pada kata

presiden, wakil presiden—dua nama dalam gema
berjalanlah di antara janji dan kenyataan
jika kata-kata kalian dulu lahir dari cinta
biarlah kini ia tumbuh jadi keberanian

karena negeri ini terlalu lama memendam
dan terlalu sabar menghidupi kecewa
jadilah pemimpin yang tak hanya dalam diam
tapi juga tahu: janji bukan hanya suara

2025


CATATAN REDAKSIONAL

Janji yang Tertinggal di Langit

oleh IRZI Risfandi


Gunoto Saparie, penyair senior yang telah menulis sejak era 1970-an, kembali menyuarakan nurani rakyat kecil melalui puisi “Kepada Prabowo-Gibran”—sebuah catatan marhaenis yang berani tapi tetap santun, tajam tapi tidak menusuk, dan yang paling penting: politis dengan rasa cinta tanah air yang membumi. Di tengah arus politik yang makin gaduh dan performatif, puisi ini hadir bukan untuk menggugat dengan murka, tetapi untuk mengingatkan dengan elegansi. Nada puisinya mengalir pelan seperti air nira, tapi menyimpan fermentasi kritik yang bisa menghangatkan, atau justru membakar.


Sejak larik pertama, suasana “halaman istana yang lengang dan senyap” sudah menjadi simbol kejanggalan: betapa suara rakyat dari pelosok sering tak terdengar meski gedung kekuasaan tak pernah benar-benar penuh. Gunoto menulis dari ruang kesunyian rakyat yang terpinggir, suara mereka tersangkut di langit, menunggu musim yang belum tentu datang. Ini bukan keluhan, ini semacam doa dari para petani dan buruh harian yang tidak meminta tangga ke langit, cukup kalau harga cabe nggak naik setiap kali presiden ganti.

Gunoto menyisipkan ironi yang pahit tapi terasa sangat akrab: anak-anak menulis nama pemimpin di buku sekolah, ibu-ibu menyelipkan mereka dalam doa—bukan karena cinta berlebihan, tapi karena itulah satu-satunya harapan yang bisa digantungkan. Ia tidak meminta Prabowo-Gibran jadi superhero. Ia hanya meminta agar sejarah tidak gelap, agar janji tak sekadar jadi suara yang diucap kala kampanye. Ini puisi yang menuntut bukan dengan suara keras, tapi dengan suara yang sangat jelas: realitas rakyat tidak bisa ditunda dengan seremoni atau seremoni digital.


Sebagai penyair sekaligus mantan wartawan, dosen, hingga penyuluh agama, Gunoto tahu betul bagaimana kata-kata bisa menyembuhkan sekaligus membongkar luka. Baris “jadilah pemimpin yang tak hanya dalam diam” adalah bentuk tuntutan moral yang sangat khas marhaen—bukan sekadar karena rakyat kecewa, tapi karena rakyat sudah terlalu sabar menghidupi kecewa itu sendiri. Ia tahu, terlalu banyak pemimpin yang pandai bicara, tapi tak tahu bagaimana mewujudkan kata-kata. Maka puisi ini adalah pengingat: jika cinta yang dulu melahirkan janji, biarkan keberanian yang sekarang mewujudkannya.


Di usia yang tak muda lagi, Gunoto masih tegak berdiri sebagai penyair yang tidak kehilangan keberpihakan. Ia tidak menulis dari menara gading, tapi dari tanah tempat petani menanam harapan, dari gang sempit tempat ibu-ibu mencicil doa. “Kepada Prabowo-Gibran” bukan sekadar kritik politik, ini adalah surat terbuka dari rakyat yang masih percaya—walau nyaris patah—bahwa kata bisa menjadi jalan menuju keadilan. Selama para pemimpin masih bersedia membaca, puisi ini tetap hidup sebagai pengingat: janji itu bukan dekorasi, tapi utang yang mesti dibayar lunas.

2025


KEPADA SOEKARNO

kau berkata: “sekali merdeka, tetap merdeka”—
dan langit pun membuka lipatan subuhnya
tapi siapa bisa hidup dari kata-kata
jika perut rakyat masih menggali senyap di tanah luka?
kau memberi kami mimpi, kadang tanpa ranjangnya

di tiang bendera itu, merah tak sekadar warna
ia luka yang mekar dari sejarah dan getir
engkau mendirikannya dengan dada dan suara
namun kadang lupa: revolusi juga butuh berpikir
bukan hanya mimbar, tapi juga meja dan kerja

aku ingat tubuhmu gemetar dalam pidato
bukan karena takut, tapi terlalu cinta
namun cinta pada tanah air bisa buta jua
seperti api yang membakar jendela rumahnya
negara pun bisa jadi panggung, bukan cita

kami mencintaimu bukan karena kau suci
melainkan karena kau manusia yang mencari
kesalahanmu—seperti bayang-bayang pagi—
menempel erat pada puji yang ingin kami beri
tapi bukankah sejarah adalah luka yang ingin dimengerti?

kini, di jalan-jalan sunyi menuju tugu
kami berjalan dalam nama yang dulu kau teriakkan
tak seluruhnya mulia, tak seluruhnya kelabu
namun kami tahu, kau telah menanamkan harapan
di tanah yang dulu hanya hening dan debu

2025


KEPADA SOEHARTO

dari sawah yang lengang dan tubuh kemarau
kau datang dengan bau tanah di pundak
ibu menanak harap di tungku yang pilu
sementara langkahmu sunyi dan tegap
menuju kota, menuju negara yang retak

di matamu, tak ada syair, tak ada kitab
hanya musim yang hafal irama panen
engkau belajar diam, dan diam itu tajam
tajam seperti jenderal yang tahu kapan
rakyat bersorak, dan kapan takut menjawab

senyummu, o, senyum manis yang abadi
membelai layar kaca, menghipnotis waktu
kami lupa, bahwa dalam riuh harmoni
ada bunyi yang patah, disembunyikan debu
di antara puja, ada luka yang sunyi

kini, dari jarak yang tak bisa ditebak
kami membacamu seperti membaca puing
seorang anak desa—tapi negarawan juga
yang membangun jalan, lalu menyisakan
jejak sepatu di dada sejarah yang ringkih

apakah engkau pahlawan, atau sekadar bayang?
namamu diajukan, dibersihkan dari darah
namun sejarah, bung, tak pandai menghapus
ia hanya mencatat, kadang dengan getar
dan kadang pula hanya dengan sebutir bintang

2025


KEPADA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

di podium, kau bicara dengan tenang
kata-katamu seperti kabut yang rapi
namun setiap jeda terasa mengambang
seolah ada arus yang enggan kau titipi

langit pernah kau ukur dengan pikir
dan kau temukan badai di sela awan
kau bukan tak tahu arah, atau getir
kau hanya menghitung, terlalu pelan

negeri ini menunggu, seperti senja
yang ingin malam segera datang, gelap
tapi kau menoleh pada cahaya sisa
bertanya: adakah damai dalam tetap?

mungkin kau tak ingin menjadi keras
sebab sejarah terlalu penuh denting baja
namun diam pun bisa terasa membekas
bila rakyat tak tahu harus berharap pada siapa

kini engkau menulis lagu dan puisi
mungkin mencoba berkata lebih jujur
tapi kami masih ingat: presidensi
yang seperti air—jernih, tapi tak menyusur


2025

***

KEPADA JOKO WIDODO

ia berjalan pelan, sementara waktu berlari
fitnah menyalak dari jendela yang tak pernah henti
namamu ditarik-tarik di antara puji dan iri
namun kau tetap menggenggam palu dan peta
seolah yang kau jaga bukan nama, tapi cita

di wajahmu, kekuasaan tak punya banyak rupa
kadang hanya kemeja putih dan langkah yang tanpa suara
kau bukan orator, tapi waktu tahu siapa yang bekerja
dan meski langit sering retak oleh sumpah serapah
kau tetap menanam tiang di tanah yang resah

apa yang dibangun mungkin bukan kemewahan
melainkan jalan panjang menuju pengakuan
bahwa republik ini bukan milik satu golongan
kau diam saat riuh, tapi kerja tetap mengalir
seperti sungai yang tak menuntut siapa pun mengerti alir

di balik wajah tenang, mungkin kau lelah
tapi tak semua pemimpin harus bersabda atau marah
ada yang memilih jadi batu di tengah amarah
dan menunggu sejarah berbicara pelan
di luar sorak dan sorot yang cepat hilang

kelak jalan-jalan akan tetap berdiri
meski nama yang membangunnya disalahpahami
karena tak semua warisan butuh bukti di mimbar tinggi
ada yang cukup tumbuh di hati orang biasa
yang pernah dilalui, dan tak merasa dilupakan begitu saja

2025


BIODATA:


Gunoto Saparie, lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Selain menulis puisi, ia juga aktif mencipta cerita pendek dan esai sastra. Pendidikan formalnya ditempuh di Akademi Uang dan Bank Yogyakarta serta Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SMP Negeri Cepiring, Kendal, pada tahun 1971.


Pengalamannya luas di dunia media dan pendidikan, pernah menjadi wartawan di berbagai media massa, dosen, guru, konsultan, kontraktor, hingga penyuluh agama madya. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Melancholia (puisi, 1979), Solitaire (puisi, 1981), Islam dalam Kesusastraan Indonesia Modern (esai, 1986), Malam Pertama (puisi, 1996), Ki Ageng Pandanaran (cerita anak, 2003), Penyair Kamar (puisi, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (puisi, 2019), Bau (novel, 2020), Lirik (puisi, 2021), dan Kiri Islam dan Lain-Lain (esai, 2024).


Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Umum Satupena Jawa Tengah dan menetap di Jalan Taman Karonsih 654, Ngaliyan, Semarang.

Exit mobile version