BAYANG-BAYANG DI BERANDA SURAU
Aku membaca ulang sejarah
Dari halaman warisan tuanku hamzah al-fansuri
Duduk di beranda surau
Menggugurkan waktu lewat pantun
Daun yang tak pernah letih jatuh
Berdendang kaji lewat syair memukau
“pulanglah nafsu ke bayang-bayang
Jangan turut aku sedang bersembahyang
Sebelum badanku dikalang tanah
Menyatu ke dalam cahaya nan megah”
Lalu suara itu menjelma azan
Tersekap di dalam dada
Setiap katanya menumbuhkan langit
Kepada tubuhku retak berkalang dunia
Lampu-lampu tak lagi sekadar cahaya
Pertanyaan tak pernah padam
Siapa aku setelah nama dilucuti?
Di mana tuhan saat tubuhku jadi sunyi?
Wahai waktu dibungkus tubuh
Kubuka diriku satu per satu
Kitab yang lupa dibaca
Hingga maknanya tumbuh jadi doa
Aku mengeja hening
Mencari bayang-bayang dulu kupanggil “diri”
Kini menjadi asap
Melayang menuju sunyi paling terang
Bekasi, 13 Juni 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Surau, Sunyi, dan Suara yang Membelah Dada: Puisi Medikal-Mistik Khairani Piliang
Oleh : IRZI Risfandi
Ada semacam dengung sunyi yang terasa seperti gema stetoskop di ruang diagnosis ketika kita membaca puisi Bayang-Bayang di Beranda Surau karya Khairani Piliang. Bukan sekadar puisi yang menatap langit atau merenungi tubuh, tapi juga menelusup jauh ke dalam ruang-ruang spiritualitas, identitas, dan kesendirian eksistensial. Di antara estetika sufistik dan elegi tubuh yang terancam fana, puisi ini berhasil menghadirkan napas-napas kontemplatif yang lembut tapi menghunjam. “Siapa aku setelah nama dilucuti?”—adalah pertanyaan yang bukan cuma menggugah, tapi juga terasa sangat relevan bagi generasi yang terus bergulat antara makna, performa, dan keterasingan.
Khairani, yang sehari-harinya berprofesi sebagai tenaga kesehatan, tidak sedang bermain-main dalam puisinya. Ia meminjam lanskap sufistik ala Hamzah al-Fansuri, tetapi mengalirkannya lewat diksi yang personal dan nyaris klinis. Simbol-simbol seperti “dada”, “tubuh”, dan “lampu-lampu” dibawa ke medan spiritual, tapi tak kehilangan jejak biologisnya. Latar puisinya—beranda surau—adalah titik temu antara dunia kasatmata dan kasatasa, antara waktu dan tubuh, antara sejarah dan doa. Sebuah tempat yang seperti ruang tunggu antara diagnosis dan doa terakhir.
Nada centil dari puisi ini muncul bukan dari lelucon, melainkan dari keberanian. Ya, keberanian untuk mengolok-olok keterbatasan bahasa ketika mencoba menggambarkan Tuhan, tubuh, dan hening itu sendiri. “Kini menjadi asap / melayang menuju sunyi paling terang” adalah penutup yang nyastra banget tapi tetap grounding—kayak sepotong penjelasan post-mortem yang ditulis oleh mistikus digital. Bahkan, referensi langsung ke al-Fansuri pun digarap tanpa pretensius, justru terasa sebagai rujukan organik yang memperkaya pembacaan kita.
Sebagai penyair yang juga berkecimpung di dunia kesehatan, Khairani tahu betul bahwa tubuh punya rahasia yang tak semua bisa dibeberkan lewat hasil rontgen. Maka ia memanggil “kitab yang lupa dibaca” dan membuka “diri satu per satu”—semacam autopsi spiritual yang menyayat dengan pelan, sabar, dan puitik. Kehadiran pertanyaan-pertanyaan eksistensial bukan hanya menjadi hiasan, tapi benar-benar membawa kita kepada sebuah atmosfer dialog antara tubuh dan ruh, antara kebisuan dunia dan kerinduan pada cahaya.
Lewat puisi ini, Khairani Piliang menegaskan bahwa literasi tak hanya tugas kaum akademik, tapi juga wilayah para penjaga tubuh dan jiwa. Ia membuktikan bahwa surau dan rumah sakit bisa beririsan di tubuh manusia yang rapuh, dan bahwa spiritualitas bukan monopoli pujangga sufi, tapi juga milik siapa saja yang pernah merasa “dilucuti dari nama.” Dan bukankah, pada akhirnya, kita semua—dengan atau tanpa puisi—hanyalah bayang-bayang yang sedang menuju sunyi paling terang?
2025
SASTRA DI UJUNG LAYAR
Tepian selat melaka mendebur dendang ombak
Membaca kitab tak lekang zaman
Tentang riwayat leluhur mengalir di celah nyiur
Duduk di lantai surau kampung yang tenang
Layar terkembang
Halaman-halaman puisi ditulis
Dengan tinta rempah
Dari napas gunung ranai
Mengaji sastra dari huruf naskah kuno
Menjelma jantung melayu berdegup sejak hang nadim bermimpi
Hingga raja ali haji memahat hikmah
Di dinding waktu nyaris punah
Anak-anak kampung duduk bersila di bawah pohon ceremai
Mendengar kisah tersirat dalam pantun
Menjaga warisan tak tenggelam
Menahkodai kapal bugis di tengah badai
Memastikan benang-benang tradisi tak putus
Di atas panggung rakyat
Syair disyiar berbalut doa
Satu bait untuk tanah
Satu bait untuk marwah
Seribu bait untuk menyambung nadi bangsa
Kian hingar bingar di bising zaman
Pena jadi tombak tangan pujangga
Menulis ulang arah sejarah
Dengan aksara bersujud pada nurani
Sebab peradaban tak dibangun dari batu dan baja
Tapi dari cerita hidup dalam mulut leluhur
Dan jiwa menolak lupa
Kepulauan riau bertonggak matahari
Sastra bersandar di punggung peradaban
Untuk menopang negeri ini berdiri
Berkumandang sumpah hang tuah berbunyi
“tak melayu hilang di bumi”
Bekasi, 15 Juni 2025
DARI HULU KE HILIR; KATA MENGALIR MENJADI NEGERI
Di hulu batanghari
Menghilir kata-kata ke jantung hati
Kabut menyelimuti ladang
Seorang nenek menumbuk padi
Mendendangkan gurindam
Irama pengantar pagi
Warisan penyulam jati diri
Di bawah rumah panggung tua
Tersimpan naskah-naskah berbalut daun rumbia
Kisah para datuk perpatih nan sabatang dan datuk ketumanggungan
Sako dipegang moyang
Menanam tuah di tanah limpapeh rumah nan gadang
Minangkabau
Kata-kata mengalir tenang seirama danau singkarak
Ke hati yang haus petuah
Menghiasi adat budaya dalam tingkah dan langkah
Sastra hidup di randai dendang malam
Suara saluang lirih tubuh syair menari
Memetakan kearifan sejarah negeri
Emas tersimpan di lumbung bukit barisan
Sejatinya adalah kekayaan sako bundo
Dituliskan dalam tambo
Diceritakan dari surau ke surau
Anak-anak belajar dunia dari mamak
Mengenal jiwa bangsanya dari cerita
Pantun-pantun dilayarkan
Perahu kecil menepi
Ke tepian sungai musi dan kampar
Menyeberang hingga samudra terjauh
Ketika lidah tak lagi bisa jujur bicara
Sastra tetap bersaksi
Tentang tanah dilukai
Manusia lupa pulang ke akar diri
Sumatera, pulau harimau tidur
Sastra bukan hanya pusaka
Tapi sumsum peradaban
Yang menyambung tubuh bangsa
Sebagai tulang punggung peradaban
Jakarta, 19 Juni 2025
TANAH SERAMPAS DALAM GEMA PENA ARUS DIGITAL
Di tanah serampas, tirai kabut zaman perlahan tersingkap, hamparan sejarah tak lekang putaran waktu. Bukan lagi suara gempita perang mengukir takdir, melainkan bisikan aksara menancap jauh ke sanubari, merobohkan sekat-sekat kebisuan membangun jembatan peradaban. Leluhur kita, para visioner di masanya, tak bertahta istana batu megah atau benteng pertahanan tak tertembus. Mereka mendirikan piramida makna untaian kata, fondasi kebudayaan lebih kokoh dari beton bertulang.
Jemari purba cekatan menari di atas lontar, pada lembaran kulit kayu, atau pada bilah bambu. Mengukir denyut peradaban tak berhenti berdetak. Setiap guratnya, simbol anak panah waktu melesat menembus generasi, membawa pesan dari masa lalu untuk masa kini juga masa depan. Kekuatan sastra menjadi jangkar, menahan badai lupa di lautan sejarah yang luas. Komunikasi tak lagi bising suara melintas, berurat gelombang kebijaksanaan meresap ke dalam nadi, membentuk karakter jati diri.
Dulu, pantun gema desa paling riang, mengikat silaturahmi antara warga. Syair sebagai napas istana, merekam titah raja dan hikayat bangsawan, menjadi cermin budi pekerti. Kini ruh itu bermetamorfosis, beradaptasi dengan denyut zaman semakin cepat. Aksara bukan cuma hiasan estetik di bilah keris atau pada ukiran rumah adat, melainkan kode-kode kehidupan berseliweran di serat optik, membentuk jaring informasi tak terbatas. Dari hikayat raja-raja legendaris hingga narasi di layar sentuh gawai kita, benang merahnya tetap satu: dna budaya lestari, mengalir kalimat di tiap paragraf.
Tanah serampas bukan cuma sebidang wilayah geografis dibatasi peta, kanvas raksasa tempat aksara menarikan evolusinya, dari bentuk paling sederhana hingga kompleksitas. Kita mewarisi obor kebijaksanaan tak pernah padam, menerangi jalan di tengah kegelapan ketidaktahuan. Deru informasi kadang membingungkan, tapi pena sebagai mercusuar, memandu arah samudra digital yang dinamis. Aksara lentera abadi, terus bersinar menjadi napas peradaban di bumi melayu. Memastikan tiap jejak langkah selalu berakar pada kekayaan masa lalu dan bercabang menuju masa depan pembaharu.
Bekasi, 20 Juni 2025
SULTAN SYARIF KASIM II DAN DANAU GUNUNG TUJUH:
PERADABAN DI PUNCAK KEJAYAAN
Jantung melayu berdetak siak berbisik
Bangkitlah nakhoda sultan syarif kasim ii
Sebagai pewaris takhta arsitek zaman
Membangun peradaban di tengah badai kolonial mengancam
Pena diplomasi senjata tajam di tangan
Melawan hegemoni menjaga marwah negeri
Setiap titah bertaut benang emas merajut kedaulatan
Menjadikan siak mercusuar di selat malaka
Raja tak sembunyi di balik dinding kekuatan rakyat
Menyemai ilmu menegakkan hukum
Membawa denyut nadi keadilan
Mencetak sejarah pada lembar waktu tak terhapus
Jauh di pedalaman punggung sumatera
Tersembunyi danau gunung tujuh: cermin langit jernih
Genangan mata air hikayat
Tempat roh leluhur bersemayam mantra purba mengalir
Kabut pagi berselendang sutra memeluk
Pohonpohon berdiri saksi bisu kejayaan masa lalu
Riak jadi puisi alam tak pernah usai
Mencerminkan ketenangan menyimpan kekuatan
Simbol keabadian kearifan yang diwariskan
Oase spiritual tempat jiwa menemukan jeda
Peradaban tak hanya diukur dari istana megah
Tapi harmoni abadi antara manusia dan semesta
Dua entitas satu narasi kejayaan tak terpisahkan
Sultan syarif kasim ii membawa siak ke puncak keemasan
Dengan visi menembus batas
Dan danau gunung tujuh permata tersembunyi
Menyimpan memori kolektif kebesaran ilahi
Peradaban dibangun atas fondasi nilai semangat juang
Danau tenang dan dalam
Estuari kebijaksanaan sultan mengalir tak henti
Dari istana hingga puncak gunung yang memeluk danau
Menjadi epos kebanggaan negeri
Tak menyerah memimpin
Mengukir legenda abadi di hati bangsanya
Bekasi, 23 Juni 2025
BIODATA :
Khairani Piliang, berdarah Minang, lahir di Medan, besar di Rantau Prapat, dan kini berdomisili di Bekasi. Ia berprofesi sebagai tenaga kesehatan dan telah menulis sejak masa sekolah menengah pertama, serta mulai aktif menekuni dunia literasi sejak tahun 2014. Buku solo pertamanya berjudul Suatu Pagi di Dermaga terbit pada tahun 2017. Hingga kini, ia telah berkontribusi dalam sekitar 30 buku antologi bersama, baik cerpen maupun puisi, dan beberapa karyanya telah dimuat di media cetak dan daring.
Ia juga aktif dalam dunia kesenian, kerap meraih prestasi di panggung sastra dan literasi, serta dipercaya sebagai juri dalam berbagai lomba kepenulisan.
Media Sosial:
FB: Khairani Piliang IG: @khairanipiliang76