Site icon Jernih.co

Covaxin, Vaksin COVID-19 Buatan India, Dinilai Punya Efikasi Tinggi

Covaxin, vaksin COVID buatan Bharat Bhiotech

Meski dinilai efektif, dua peneliti Cina menyebutkan adanya keterbatasan dalam penelitian ini. Karena uji coba hanya dilakukan di India, kelompok studi yang diuji jadi kurang beragam secara etnis. Penelitian ini juga dilakukan antara November 2020 dan Januari 2021, sebelum varian Delta menyebar luas.

JERNIH–Vaksin Covid-19 yang dikembangkan di India, Covaxin, dinilai punya tingkat efikasi tinggi atau “sangat manjur” dan tidak menimbulkan masalah keamanan, berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Lancet.

Vaksin COVID-19 buatan Bharat Biotech itu memperoleh persetujuan darurat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu, dan telah diizinkan untuk digunakan di 17 negara. WHO menyebut Covaxin sebagai vaksin COVID-19 yang “sangat cocok untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah karena persyaratan penyimpanan yang mudah”.

Beberapa vaksin lain yang telah disetujui PBB harus disimpan pada suhu yang sangat rendah dan menimbulkan masalah logistik dan biaya.

Covaxin “sangat manjur terhadap penyakit COVID-19 bergejala yang dikonfirmasi laboratorium pada orang dewasa,” tulis Lancet. Vaksin itu juga “ditoleransi dengan baik tanpa menimbulkan keprihatinan akan masalah keamanan dalam analisis sementara ini.” WHO menilai Covaxin memiliki tingkat kemanjuran 78 persen setelah pemberian dua dosis selama sebulan.

Keterbatasan dalam riset

Bersama dengan vaksin anti-Covid lainnya yang diproduksi oleh Pfizer/BioNTech, Moderna, AstraZeneca, Johnson&Johnson, Sinopharm, dan Sinovac, Covaxin telah masuk dalam daftar yang disetujui WHO.

Peluncuran Covaxin dapat “meningkatkan kapasitas produksi global yang terbatas, dan meningkatkan pasokan vaksin yang tidak mencukupi yang secara tidak proporsional mempengaruhi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah”, kata peneliti Cina, Li Jingxin Li dan Zhu Fengcai, yang tidak ambil bagian dalam pengembangan vaksin.

Meski dinilai efektif, mereka menyebutkan adanya keterbatasan dalam penelitian ini. Karena uji coba hanya dilakukan di India, kelompok studi yang diuji jadi kurang beragam secara etnis. Penelitian ini juga dilakukan antara November 2020 dan Januari 2021, sebelum varian Delta menyebar luas.

Terlepas dari tanggal uji coba, para peneliti yang terlibat dapat mengidentifikasi pasien mana yang terinfeksi varian Delta. Untuk sub-kelompok ini penelitian menemukan bahwa Covaxin masih memberikan perlindungan terhadap COVID-19, tetapi agak kurang efektif.

Penggunaan Covaxin sejauh ini telah disetujui oleh 17 negara. Vietnam memperkirakan akan memiliki cukup dosis vaksin untuk seluruh populasinya pada akhir bulan ini setelah menyetujui Covaxin untuk penggunaan darurat, kata pejabat setempat. Selain Vietnam, Inggris juga akan menambahkan Covaxin dan Sinovac buatan Cina ke daftar vaksin yang disetujui.

Bharat Biotech mengatakan bahwa mereka tengah mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi menjadi 23 juta dosis per bulan. Perusahaan ini, yang memproduksi Covaxin bersama perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yakni Ocugen, juga berencana untuk mengajukan permintaan persetujuan untuk vaksinnya di AS.

Ocugen juga telah mengajukan permintaan agar vaksinnya dapat disuntikkan ke anak-anak berusia 2-18 tahun. Imunisasinya menggunakan teknologi virus yang tidak aktif, yang umum ditemukan pada vaksin anak-anak lainnya termasuk pada vaksinasi polio.

Permintaan persetujuan ini didasarkan pada hasil dari penelitian terhadap 526 anak-anak antara usia 2 dan 18 tahun yang menerima dua dosis Covaxin dengan selang waktu 28 hari. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan kelompok 25.800 orang dewasa di India, dan menyatakan adanya “perlindungan serupa pada anak-anak usia 2-18 dengan yang ditunjukkan pada orang dewasa di atas 18 tahun,” demikian pernyataan Ocugen.

Dalam uji klinis terhadap 526 anak, tidak ditemukan efek samping serius dan mesti menjalani rawat inap. Meski demikian ukuran sampel penelitian dianggap tidak cukup besar untuk mendeteksi kemungkinan munculnya efek samping yang jarang terjadi.

[AFP/Reuters]

Exit mobile version