Malam telah sekian lama menebarkan jubahnya. Sunyi mendetak-detik, satu-satu. Mungkin di luar gerimis telah jatuh. Kaca jendela telah basah. Atau mungkin karena embun, yang mulai tumbuh perlahan-lahan. Nani tidak tahu. Ia juga tidak peduli. Karena sesungguhnya ia sedih sekali. Sedih mengerkah hatinya. “Mila…” bisiknya. “Maafkan saya. Saya menyesal….aya tidak tahu…”
Oleh : Faisal Baraas*
JERNIH—Mila menatap Nani dengan tajam. “Adakah Anda tahu,” katanya. “Saya tak pernah merasa Anda cintai. Anda tidak pernah mengasihi saya. Anda tidak pernah menyayangi saya. Anda terlalu kejam, tak punya hati, tak punya perasaan. Anda menakutkan. Sering saya berpikir apakah benar Anda ibu saya?”
Mila menangis. Ia menangis berkepanjangan. Dadanya sesak. Hatinya bagaikan belukar. Wajahnya bagaiman malam yang pekat.
Sesungguhnya ia tak pernah mengucapkan kata-kata itu. Tak mampu ia berkata-kata. Semuanya terpendam dan menggelembung. Tak sebutir kata pun terlepas dari mulutnya yang mungil itu. Ia hanya terpaku dalam diam, dengan air mata yang menggulir di pipinya, ia menatap Nani dengan tajam. Nani, tampak hanya baying-bayang baur.
“Kau adalah anakku,”kata Nani. “Tapi mengapa kau menatapku dengan pandangan benci begitu?”
“Tidak! Saya tidak yakin apakah engkau memang benar ibuku.”
“Tapi saya yakin, kau adalah anakku.”
“Tetapi mengapa kau tidak mencintai diriku?”
Nani terdiam.
“Alangkah jauhnya jarak yang terbentang di antara kita selama ini. Kau bagaikan orang asing, yang tak punya rumah. Adakah kau begitu menyesal mengapa saya sampai lahir dari rahimmu?”
Nani terisak.
“Janganlah menangis, saya tak lagi mengerti artinya.”
Nani sekarang menangis.
“Saya memang anak yang telah hilang, saya tahu…”
Mila lalu keluar membanting pintu.
“Mila!…”suara Nani terbata. Ia terpaku menatapi daun pintu itu. Air matanya masih menggulir dengan derasnya. Hampir setiap malam Minggu. Sebab, hampir 10 tahun yang lalu, di sebuah malam Minggu, Mila terakhir membanting daun pintu. Lalu menghilang sampai malam ini. Dan Nani merasa dirundung malang. Ia merasa malang sekali.
“Mila…”suaranya sedih. “Mila, anakku…”
Malam telah sekian lama menebarkan jubahnya. Sunyi mendetak-detik, satu-satu. Mungkin di luar gerimis telah jatuh. Kaca jendela telah basah. Atau mungkin karena embun, yang mulai tumbuh perlahan-lahan. Nani tidak tahu. Ia juga tidak peduli. Karena sesungguhnya ia sedih sekali. Sedih mengerkah hatinya. “Mila…” bisiknya. “Maafkan saya. Saya menyesal…Saya tidak tahu…”
Nani menghapus air matanya. Perlahan-lahan ia baru menyadari bahwa ia keliru. Perlahan-lahan ia mengharapkan Mila kembali.
Mila—anak satu-satunya yang kini entah berada di mana. Mila—yang sejak lahir tak pernah dikasihinya dengan betul dan terbengkalai hidupnya. Sejak bayi ia merasa sunyi, waktu pertama kali belajar memahami sekitarnya lewat tubuhnya—ia bereaksi terhadap suhu, suara dan elusan-elusan yang menyentuhnya.
Dengan tubuhnya ia membedakan sesuatu: perasaan suka dan tidak suka, cinta dan benci, bahagia dan sedih…Ia merasakan bahwa ia ditimang tidak sepenuh hati. Bila ia menangis, ia dibiarkan begitu saja. Bahkan sering dicubit dan dimarahi. Ia dibiarkan kedinginan tanpa selimut.
Ia merasakan semua itu. Ibunya bukanlah orang yang bahagia, tapi hampir sepanjang hari dirundung kesedihan dan kemalangan.
Dengan cepat ia merasakan pula apa yang terjadi antara ayahnya dan ibunya. Dan is sedih sekali. Ia berkembang menjadi seorang gadis remaja yang lebih banyak mencari sendiri jalan hidupnya. Ia berusaha mengatasi kesedihannya seorang diri.
“Saya tidak tahu mengapa ibu begitu membenci saya. Ia tidak bersuka cita ketika melahirkan saya. Adakah saya salah? Saya toh tidak minta dilahirkan…”
Mila tahu kadang-kadang timbul pula kasih sayang ibunya. Tapi adakah itu sepenuh hati? Jauh di dasar hatinya, ia merasakan kepincangan kasih sayang, suatu keterpaksaan yang harus diterima karena kenyataan yang hadir tak bisa lagi dimungkiri. Tak ada yang tulus, tak ada. Tak ada di sini.
Semua itu berlalu, telah lama berlalu. Hanya tinggal kenangan bagi Mila. Terutama pada mala mini, sesaat setelah ia memeriksakan dirinya ke dokter. Dan hasilnya positif: ia hamil.
Betapa bahagianya Mila dan Toto mengetahui hal itu. Setelah perkawinan mereka berjalan hampir lima tahun, barulah hasilnya positif. Betapa lamanya mereka menanti. Betapa lamanya mereka bermimpi.
Mila menangis mengenang kelahirannya sendiri, sesuatu yang tidak akan diharapkannya terjadi pada calon anaknya: biarlah ia sendiri yang mengalaminya dan semua kisah itu kemudian akan ditutupnya baik-baik. Kisah itu akan menjadi cermin bagi hidupnya: bagaimana mempersiapkan diri untuk menerima kehadiran calon anak dengan sebaik-baiknya. Ia sudah mempersiapkan sepenuh harapan, dan sepenuh kasih sayang.
Tidak seperti ibunya ketika melahirkan dia, dan berkata,”Saya sebenarnya tidak menghendaki kelahirannya. Sudah KB, tapi kebobolan…” [ ]*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985