Site icon Jernih.co

Adigung

Ilustrasi

Sejak dirinya dilantik, dia sudah berpikir untuk bisa dipilih kembali dalam jabatan kedua. Pada saat dilantik untuk periode ke-2, dirinya sudah menyiapkan sang istri untuk menggantikannya. Bahkan mulai menyiapkan anak kesayangannya untuk menjadi wali kota di masa depan.

Oleh   :  Entang Sastraatmadja

JERNIH– Adigung umumnya berkaitan dengan sifat seseorang yang suka mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepintarannya. Ungkapan ini biasanya dituju-kan pada orang yang sok. Sifat ini biasanya dibawa sejak lahir, sehingga berpengaruh terhadap kepribadiannya. Masalahnya akan menjadi rumit, tatkala yang bersangkutan terpilih untuk menjadi pejabat publik.

Entang Sastraatmadja

Adigung bukanlah sikap yang dipilih oleh para pemimpin dalam menjalankan manajemen kepemimpinannya. Sikap ini selayaknya ditendang jauh-jauh dari perilaku seorang pemimpin yang dipilih rakyat. Adigung bukanlah sikap yang harus dikembangkan oleh sang pemimpin. Sebab, adigung tidak senafas dengan nilai-nilai budaya bangsa.

Di negara yang memilih demokrasi sebagai sistem kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, siapa pun berhak untuk menjadi pemimpin selama dirinya mendapat dukungan rakyat. Mau jadi presiden, gubernur, bupati, wali kota atau wakil rakyat, bisa saja diraih oleh setiap anak bangsa, selama memenuhi syarat yang ditentukan.

Dalam sistem demokrasi semua serba memungkinkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Untuk jadi presiden misalnya, tidak harus berdarah ningrat. Tidak juga harus lahir dari keluarga profesor. Anak petani pun bisa saja meraihnya. Begitu pun untuk jadi gubernur, bupati atau walikota. Kata kuncinya memenuhi persyaratan dan memperoleh dukungan rakyat.

Sosok pemimpin publik, tetap harus bersahaja. Seorang gubernur misalnya, dia harus selalu menyesuaikan gaya kehidupannya dengan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Dirinya perlu menampilkan diri untuk selalu rendah hati. Sikap “someah“, sepatutnya tetap dijadikan bagian dari pola kepemimpinan yang dilakoninya.

Pemimpin itu harus dicintai rakyatnya. Bupati misalnya, dirinya tidak boleh dibenci oleh rakyatnya sendiri. Dirinya betul-betul perlu memahami apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Akibatnya wajar bila dirinya sering berkunjung ke lapangan dan bertegur-sapa dengan masyarakat. Sangat tidak bijak bila seorang pemimpin hanya duduk di belakang meja.

Dalam budaya politik kita, rakyat akan merasa berbahagia bila mereka dapat bincang-bincang dengan pemimpin. Di mata mereka, sosok Bupati adalah pemimpin yang wajib dihormati dan dikagumi. Bupati dianggap sebagai orang yang tahu setiap masalah dan mampu memecahkannya. Akibatnya lumrah, jika rakyat ketemu pemimpin, maka yang akan disampaikannya, lebih banyak permintaan dan keluhan.

Inilah salah satu risiko hidup di alam demokrasi. Di saat kampanye berlangsung, para calon pemimpin ramai-ramai berkunjung dan bertemu dengan rakyat. Mereka berusaha keras untuk mendapat simpati rakyat. Lalu, setelah dirinya terpilih, giliran rakyat yang ingin bertemu dengan sang pemimpin. Rakyat meminta dirinya untuk dapat menuntaskan masalah yang selama ini mereka hadapi.

Namun begitu, kita juga perlu menyadari, dunia idealisme seringkali berbeda dengan dunia realisme. Termasuk di dalamnya kiprah para pemimpin itu sendiri. Apa yang disampaikan ketika kampanye, lebih banyak yang “ditangguhkan” ketimbang diwujud-kan setelah terpilih menjadi pemimpin. Lebih gawat lagi, kalau sang pemimpin tersebut melupakan apa yang dikampanyekan, untuk selanjutnya menerapkan kebijakan sendiri.

Pemimpin itu harus merakyat. Salah besar bila pemimpin mengedepankan sikap arogan. Pemimpin tidak boleh pongah. Tidak disarankan juga untuk merasa pintar sendiri. Pemimpin harus sadar bahwa sesudah ada tanjakan pasti akan ada turunan. Begitu pun dengan pemimpin publik. Dirinya tidak akan selamanya tinggal di Gedung Negara. Suatu saat dirinya pun pasti akan kembali ke habitat asal.

Pemimpin tidak boleh serakah, baik kekuasaan atau pun harta. Pemimpin perlu untuk berbagi pemikiran dengan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap pemimpin merupakan modal dasar bagi pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan. Salah satu tugas dan tanggungjawab pemimpin adalah bagaimana kebijakan yang diambil mampu membahagiakan rakyat. Rakyat perlu memiliki kenyamanan dalam hidup mereka.

Pemimpin banyak yang terpeleset karena keserakahan ini. Mereka lupa bahwa di atas pundak masih ada kepala. Di atas kaki masih ada lutut. Sahabat baik saya terpilih untuk menjadi wali kota. Sejak dirinya dilantik, dia sudah berpikir untuk bisa dipilih kembali dalam jabatan kedua. Pada saat dilantik untuk periode ke-2, dirinya sudah menyiapkan sang istri untuk menggantikannya. Bahkan mulai menyiapkan anak kesayangannya untuk menjadi wali kota di masa depan.

Sayang, impiannya tidak kesampaian, karena ketika istrinya menjabat wali kota, dirinya terpaksa berurusan dengan aparat hukum. Karena ketamakan dan kerakusan, terpaksa ia berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Akibatnya berujung menjadi penghuni hotel prodeo di Sukamiskin. Sebuah bangunan bersejarah yang kini disulap menjadi “perumahan” koruptor kelas tinggi.

Ini hanya sebuah contoh bahwa kekuasaan itu penting untuk dijalankan secara amanah. Kekuasaan jangan dijadikan alat untuk menumpuk kekayaan. Tidak boleh juga diisi dengan memanfaatkan kepentingan diri sendiri. Kekuasaan yang digenggam suatu waktu pasti akan dilanjutkan oleh pengganti. Akan lebih terhormat jika pemimpin mampu mewariskan nilai-nilai positif ketimbang mewariskan hal-hal yang memalukan.

Ketika anak dan mantu presiden mencalonkan diri untuk menjadi wali kota, banyak tanggapan berseliweran. Ada yang mendukung, juga yang tidak. Namun apa hendak di kata bila dalam dunia demokrasi tidak ada satu aturan pun yang melarang anak seorang presiden menjadi pejabat publik. Boleh jadi, walau masih debatable, bila dilihat dari kepatutan, politik dinasti bukanlah pilihan terbaik untuk diterapkan. [ ]

*Ketua harian DPD HKTI Jawa Barat

Exit mobile version