Apabila kita dapat menyibakkan cabang-ranting harfiyah dari berbagai agama agar dapat menjangkau inti batang pohon yang tegak lurus menjulang ke langit, kita akan dipersatukan dengan seluruh pemeluk agama dalam akar tunjang yang menghunjam ke bumi kebajikan hidup yang sama dan menjunjung keluhuran langit spiritualitas yang sama.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, agama bagiku ibarat rumah tanda pertama tempat aku dilahirkan. Aku tidaklah terlahir di ruang vakum tanpa alas simbolisme. Begitu terlahir, aku langsung ditimang lantunan azan; bagi pemeluk agama lain, mungkin dengan doa dan ritual sejenis.
Sejak itu, agama menjadi bahasa ibu spiritualitas. Simbolisme pertama yang menuntunku untuk bisa mengenali tanda dan menafsir dunia; simbolisme yang memberiku pandangan dunia menyeluruh, menautkan yang nyata dan niskala; simbolisme yang memberiku seperangkat tata bahasa tentang tata laku yang baik; simbolisme yang membuatku merasa nyaman menjalin komunikasi dan saling pengertian dalam komunitas iman.
Betapapun, kusadari sepenuhnya, di luar sana ada banyak manusia yang terlahir dgn bahasa ibu berbeda. Untuk bisa saling bercakap membangun kesepahaman mewujudkan kebahagiaan bersama, aku harus bisa mengenali bahasa mereka, atau memerlukan bantuan lingua franca.
Agar bisa membangun lingua franca, masing-masing pemeluk agama harus dapat menyibakkan perbedaan kulit harfiyah, dengan kemampuan menangkap maksud dan substansi.
Apabila kita dapat menyibakkan cabang-ranting harfiyah dari berbagai agama agar dapat menjangkau inti batang pohon yang tegak lurus menjulang ke langit, kita akan dipersatukan dengan seluruh pemeluk agama dalam akar tunjang yang menghunjam ke bumi kebajikan hidup yang sama dan menjunjung keluhuran langit spiritualitas yang sama.
Untuk bisa menangkap inti persamaan, kita harus dapat meninggikan jangkauan visi kesadaran. Bila kita melihat lanskap realitas dari kerendahan penglihatan, yang terlihat hanyalah keragaman jenis pohon. Namun, dari ketinggian penglihatan elang, segala perbedaan pohon tampak sebagai kesatuan hutan. Cakrawala kehidupan tampak terhampar luas, rangkaian aksi-reaksi terdeteksi, ragam realitas tersambung.
Kematangan hidup memijarkan kesanggupan menghargai perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara memuliakannya dalam sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Bahwa beda itu (bhinna ika), sama itu (tunggal ika). Sejauh berjalan di atas jalan kebenaran dan kebaikan, akan selalu ada titik-temu; karena tak ada jalan darma kebajikan yang mendua dalam tujuan (tan hana dharma mangrwa). [ ]