Para petani perlu berorganisasi untuk bekerjasama menyatukan langkah mengatur ritme tanam sekaligus memutus suplai makanan dan habitat hidup hama padi.
Penulis: Priyanto M. Joyosukarto
JERNIH-Seminggu mudik di kampung saya di Klaten dan di Kota Sragen, saya menemukan satu fenomena menarik, yaitu perbandingan njomplang antara hasil panen petani di Klaten dan Sragen. Ini terkait dengan keselamatan bertani.
Di Kabupaten Klaten, khususnya Kecamatan Juwiring, pinggiran Delanggu, daerah yang sejak jaman Belanda dikenal sebagai lumbung padi karena berkah keberlimpahan air alam dari lereng Gunung Merapi, nampaknya hasil panennya anjlok sebagaimana terlihat langsung dari panenan yang kurang baik, diserang berbagai hama sampai-sampai ada petani yang membiarkan padinya tidak dipanen karena biaya memanennya tidak sebanding dengan hasil panenannya.
Sawah-sawah, rumput ilalangnya dibiarkan tumbuh besar lebih tinggi dari tanaman padinya. Sawah saya satu patok yang musim tanam sebelumnya laku jual delapan juta kali ini hanya tiga juta rupiah. Faktor hujan memang ikut berpengaruh tapi itu faktor alam yang tidak perlu dipersalahkan.
Pemandangan yang sebaliknya terjadi di sawah-sawah Kabupaten Sragen yang jauh dari sumber air alam. Pengamatan saya lakukan di pinggiran selatan Kota Sragen.
Satu hal yang mencolok adalah kebersamaan mulai tanam antara kedua daerah tersebut. Di Sragen kelihatan rapi satu blok besar kawasan persawahan itu mulai tanamnya bareng dalam satu minggu atau bulan yang sama sementara di Klaten sebaliknya, bisa berbeda-beda hari, minggu, dan bulan.
Pola tanam yang tidak “rapi” di Klaten ini konon berdampak memelihara keberlangsungan hidup berbagai hama tanaman padi seperti tikus, wereng, dan walang sangit. Mereka berpindah-pindah dari petak sawah satu ke yang lainnya yang padinya akan/ sedang menguning.
baca juga: Pecinta Aspal: Pandemi Covid-19 Picu Pelanggaran Lalulintas?
Mereka para hama padi itu “panen raya” sepanjang waktu. Mereka betah tinggal dan makan enak-nyenyak di blok yang sama di petak-petak sawah bersebelahan dengan padi yang berurutan mulai menguning. Tanaman padipun pun rusak sehingga berkurang hasil panennya.
Itulah akibatnya bila petani generasi sekarang meninggalkan “wisdoms” leluhur: *kebersamaan waktu tanam.
Ini bagian dari “kumpul cucul ora kumpul ucul”. Mirip dengan “Bersatu teguh bercerai runtuh”. Pengertian “kumpul” dan “bersatu” di sini lebih dari sekedar secara fisik menjumlah satu per satu tetapi abstraksi menggabungkan potensi keseluruhan untuk bersinerji menyiasati dinamika waktu dalam kerangka meningkatkan produktivitas bersama, plus menyiasati hama dan perubahan cuaca.
baca juga: Pecinta Aspal: Kecelakaan dan Tanggungjawab Hukum di Dalamnya
Di tengah keterbatasan sumberdaya pada habitat yang sama di satu pihak, dan keberadaan “musuh bersama” berupa hama tanaman dan bencana alam di pihak lain, maka tidak ada cara lain bagi manusia untuk maju hidup selamat dan makmur kecuali bekerjasama.
Para petani perlu berorganisasi untuk bekerjasana menyatukan langkah mengatur ritme tanam sekaligus memutus suplai makanan dan habitat hidup hama padi.
Dalam bahasa masyarakat modern, mereka para petani itu perlu berkomunitas mirip dengan mereka yang sedang berkendara di jalan raya, tol maupun non tol. KOMNASTOL atau KOMTRASS.
Di jalan raya, bila para pengguna jalan berlaku sendiri-sendiri saling serobot dan saling mendahului adu cepat sampai tujuan maka hasilnya adalah ketidaktertiban dan kecelakaan salah-salah bisa saling berkelahi rebutan menang jalan duluan.
Bersama-sama menciptakan masalah tapi sendiri-sendiri menghadapinya, ujung-ujungnya membuat masalah baru. Lingkaran setan muncul di tengah, menjebak semuanya.
Para pengguna jalan perlu berkomunitas agar punya standar acuan dan pengendali perilaku yang sama (Kode Etik) agar bisa tertib disiplin meski tanpa atau minim kehadiran hukum dan penegak hukumnya sekalipun.
Komunitas-komunitas petani yang dulu pernah ada nampaknya perlahan menghilang paska reformasi. Juga pengaruh aparat desa mulai luntur kewibawaannya dalam mempengaruhi petani. (Keluhan punggawa desa yang saya temui di tengah daerah persawahan).
Padahal pada jaman saya kecil dulu, punggawa desa itu sangat disegani pengaruhnya dalam semua aspek kehidupan desa termasuk dalam urusan bertani. Masuknya kebebasan berekspresi ke wilayah pertanian nampaknya menimbulkan ketidakberuntungan rejeki petani karena mereka meninggalkan pakem leluhur.
Keberadaan penyuluh pertanian nampaknya juga makin jarang terlihat. Alhasil, para petani pada jalan sendiri-sendiri mengelola sawahnya tanpa disadari mereka saling bersinerji bergantian waktu “memelihara” hama padi untuk mencurangi rejeki hasil panen mereka. Apakah itu sudah menjadi bentuk akhir keseimbangan sosial pedesaan yang baru?
Soal keselamatan itu, dalam urusan apapun, di mana pun, dan untuk alasan apapun, termasuk dalam urusan bertani dan berkendara kuncinya adalah bersama-sama mematuhi hukum alam. Bila tidak, semua yang terlibat bisa celaka.
“Kumpul Cucul Ora Kumpul Ucul”. Terima kasih,Priyanto M. Joyosukarto, KOMTRASS & TSS Founder/Nuclear Engineer/Industrial Safety&Security Lecturer/Kyokushin Karate Instructor; Kyokushin Karateka 4-th Dan/ IKOK Reg. No. 73.236 (1989)/M-TSA Inspirator & Motivator/Road Traffic Observer